Selasa, 28 April 2015

MENYIAPKAN GENERASI UNGGUL



Judul di atas diambil dari judul artikel di Kompas tanggal 27 April 2015 yang ditulis oleh Prof. Boediono, Wakil Presiden 2009-2014.  Sebagai orang yang menekuni pendidikan, saya mengagumi artikel tersebut.  Tulisan tersebut menunjukkan “kelas Pak Boediono” seorang ekonom yang ternyata memahami konsep pendidikan secara cukup dalam. Tulisan ini dimaksudkan menyebarluaskan sekaligus melengkapi tulisan yang sangat bagus itu.
Pak Boediono menjelasan bahwa ada dua temuan baru yang harus dipertimbangkan, yaitu (1) potensi pemanfaat teknologi, khususnya IT dalam proses pendidikan, (2) temuan-temuan baru, khususnya dalam bidang neuroscience. 
Tentang bagaimana mengoptimalkan IT untuk pembelajaran kini menjadi topik yang hangat.  Saya sering mengatakan ketika dunia cyber telah menjadi salah satu sumber informasi dan “mbah Google” telah menjadi tempat bertanya segala macam informasi, maka proses pendidikan yang selama ini berjalan perlu direnungkan kembali. Era digital telah menghasilkan e-journal, e-book, wikipedia dan sebagaianya.  Ketersediaan informasi tersebut membuat siapapun, termasuk siswa sangat mudah mendapatkan informasi.  Jika di masa lalu guru sebagai pemberi informasi kepada siswa, saat ini seringkali siswa seringkali lebih tahu suatu informasi dibanding gurunya.
Di samping informasi, era digital juga menghasilkan berbagai perangkat lunak yang dapat membantu orang belajar dan bekerja.  Praktikum Fisika dan Kimia yang dahulu dilakukan dengan berbagai percobaan di lab, kini beberapa aspek sudah dapat diekperimenkan secara “kering” di komputer.  Calon dokter kini sudah dapat mengawali belajar bedah dengan komputer.  Perhitungan rancangan gedung tinggi yang dahulu menghabiskan energi, sekarang dapat dilakukan dengan perangkat lunak.  Program ways kini sangat membantu pengemudi mana jalan yang macet dan mana yang tidak macet.
Dengan kondisi tersebut muncul pertanyaan, apakah pola pembelajaran seperti yang selama ini berjalan masih cocok.  Jika dianggap tidak lagi cocok, atau minimal sudah waktunya disempurnakan, maka pertanyaanya seperti apa “pola pembelajaran baru” yang kompatable dengan era cyber.
Tentang temuan penelitian dalam neuroscience sebenarnya juga pernah saya muat ketika baru saja mengikuti presentasi David Sousa di konferensi Asaihl di NTU Singapore Desember 2014.  Seperti temuan David Sousa, Pak Boediono menjelaskan kalau perkembangan otak bayi sudah dapat dideteksi sejak dalam kandungan.  Kondisi fisik dan psikologis ibu yang sedang mengandung ternyata berpengaruh terhadap perkembangan otak bayi.
Penelitian neuroscince juga menemukan kalau perkembangan otak anak (sesudah lahir) berjalan optimal sampai usia 5 tahun, khususnya 2 tahun pertama.  Pada usia lebih dari 5 tahun terjadi perapian dalam otak anak, sehingga menjadi lebih efektif dan efisien dalam berpikir.
Bertolak dari uraian itu Pak Boediono menganalogikan pendidikan dengan aliran sungai.  Jika ingin air sungai itu jernih, maka langkah yang paling efektif adalah mengupayakan agar sumber air di hulu bersih.  Sejalan dengan itu, Pak Boediono mengusulkan agar penyiapan generasi unggul dimulai ketika bayi masih dalam kandungan dan dilanjutkan saat anak-anak di TK dan SD.  Untuk itu perlu ada upaya memenuhi kebutuhan fisik maupun psikologis untuk ibu hamil.  Pendidikan di TK bahkan pra TK dan SD perlu mendapat perhatian.  Pak Boediono mengandaikan kalau kondisi ibu hamil dapat difasilitasi dengan baik dan jika pendidikan di PAUD, TK dan SD dapat dilaksanakan dengan baik, maka pada saatnya kita punya generasi yang unggul.
Kalau kita cermati dengan baik, memang  artikel Pak Boediono sangat bagus dan inspiratif. Namun Pak Boediono belum memasukkan kemana pendidikan itu diarahkan, seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi.  Ketika teknologi telah menyentuh semua aspek kehidupan dan hubungan antara pekerjaan dan latar belakang pendidikan semakin longgar, maka kita perlu bertanya: (1) apa kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan SD, SMK SMA/SMK, dan PT, sehingga dapat sukses setelah lulus, dan (2) lebih jauh dari itu, apakah struktur persekolahan seperti yang selama ini sudah ada masih relevan.  Semoga ada teman yang membahas 2 pertanyaan tersebut.   

Tidak ada komentar: