Senin, 20 Juni 2016

PRAKTISI DUDI MENJADI GURU SMK



Kemdikbud diwakili oleh Direktur Pembinaan SMK menyatakan Indonesia kekurangan guru SMK.  Konon jumlahnya 18.000 orang, terutama guru bidang produktif, yaitu guru pengajar praktek.   Mungkin itu akibat kebijakan Kemdikbud sejak era Prof Bambang Sudibyo yang ingin mengubah perbandingan SMA : SMK yang semula sekitar 60 : 40, menjadi 30 : 70.  Jadi secara sengaja jumlah SMK ditingkatkan sehingga memerlukan tambahan guru yang cukup banyak.

Kebijakan itu dilanjutkan periode Mendikbud Mohammad Nuh maupun Anies Baswedan sekarang ini.  Bahkan ketika Presiden Jokowi melawat ke Jerman, salah satu hasilnya adalah kerjasama dalam bidang pendidikan vokasi.  Jadi kebijakan perluasan SMK tampaknya didukung penuh oleh Presiden Jokowi.

Kekurangan guru SMK yang sangat banyak itu tampaknya berpengaruh terhadap mutu lulusan.  Studi Newhouse dan Suryadarma (2012) menyimpulkan penghargaan DUDI terhadap lulusan SMK menurun. Mungkin itu disebabkan mutu lulusan SMK menurun beberapa tahun terakhir.  Diduga kuat, perluasan SMK tidak dibarengi dengan ketersediaan guru maupun sarana praktek yang baik, sehingga mutu lulusan SMK yang baru tidak sebaik SMK yang lama.

Kekurangan guru SMK yang demikian banyak harus segera dicarikan jalan keluar.  Mengapa?  Karena berbagai studi menunjukkan kontribusi guru terhadap hasil belajar siswa lebih dari 50%.   Studi di Amerika Serikat menyebutkan guru berkontribusi 53% terhadap hasil belajar siswa (Barber & Mourshed, 2007), sementara di Indonesia kontribusi itu 54,5% (Pujiastuti, Raharjo dan Widodo, 2012).

Pertanyaan yang muncul, bagaimana memenuhi kebutuhan guru SMK sebanyak 18.000 orang itu. Saya membayangkan hal itu tidak mudah, karena guru yang diperlukan adalah guru matapelajaran produktif yang harus mengajar praktek.  Jumlah fakultas teknik di LPTK yang menyiapkan guru SMK jumlahnya tidak banyak dan banyak lulusannya lebih memilih bekerja di DUDI dibanding menjadi guru.  LPTK swasta tidak banyak yang membukan fakultas teknik, karena harus menyediakan laboratorium dan workshop yang mahal.

Belum lagi, pendidikan S1 lebih berorientasi ke aspek aspek akademik, sehingga lulusannya kurang tepat mengajar di SMK yang mementingkan keterampilan.  Prof Jemari Mardapi dari UNY menyebutkan lulusan S1 yang akan menjadi guru SMK memerlukan pelatihan tambahan khususnya untuk aspek keterampilan.  Lebih baik lagi jika mereka memiliki pengalaman kerja di industri.

Dari aspek bekal keterampilan, yang lebih cocok menjadi guru SMK adalah lulusan program Diploma atau politeknik, karena memang merupakan jalur vokasi yang menekankan pada aspek keterampilan.   Namun pada umumnya lulusan mereka lebih tertarik bekerja di dunia industri, di samping untuk menjadi guru mereka masih harus menempuh PPG (Pendidikan Profesi Guru).

Lantas bagaimana memenuhi kebutuhan guru SMK yang demikian besar itu?  Perlu dipikirkan mengembangkan jalur baru untuk menjadi guru SMK, misalnya menawarkan peluang kepada praktisi di DUDI  untuk menjadi guru SMK. Para praktisi yang sudah berusia menjelang 50 tahun tentu memiliki pengalaman kerja cukup kaya.  Pengalaman dan keterampilan di DUDI akan sangat bagus sebagai bekal mengajar di SMK.  Di samping itu secara psikologis ternyata mereka sudah matang, sehingga lebih baik ketika membimbing siswa.

Jalur PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) di Undang-undang ASN (Aparatur Sipil Negara) dapat dimanfaatakan karena memungkinkan orang berusia maksimal 50 tahun menjadi PPPK.  Praktisi DUDI yang telah memiliki pengalaman kerja dapat memperoleh jenjang kepegawaian tertentu sesuai dengan kompetensi dan pengalaman kerja yang dimiliki.  Mungkin saja ada PPPK langsung mendapatkan jenjang setara dengan IVA atau bahkan IVB, karena memiliki kompetensi bagus dan pengalaman kerja sangat banyak.

Bagaimana dengan bekal ilmu untuk mengajar?  Tentu mereka harus memenuhi persyaratan sebagaimana diminta UU Guru, yaitu minimal berpendidikan S1/D4 dan menempuh PPG.  Namun pengalaman  panjang di dunia industri dapat diperhitungan dengan menggunakan RPL (Rekognisi Pengalaman Lampau), sehingga lama pendidikan yang harus ditempuh tidak terlalu lama.  Pola RPL juga dapat diterapkan untuk ekivalensi jenjang kepangkatan.  Dengan demikian praktisi DUDI yang menjadi guru SMK tidak harus mulai jenjang kepangkatan III A seperti guru yang baru tamatan S1.

Apa praktisi DUDI tertarik menjadi guru SMK?  Walaupun tidak semua, saya menduga cukup banyak yang tertarik, khususnya mereka yang sudah jenuh bekerja di DUDI atau ingin bekerja dengan waktu lebih luwes.  Apalagi sekarang guru mendapat tunjangan profesi sebesar satu kali gaji, sehingga seperti bergaji dobel. 

Tidak ada komentar: