Selasa, 21 Juni 2016

SAENI DAN SOLIDARITAS SOSIAL



Masih ingat dengan Ibu Saeni, pemilik warung makanan yang mendapat uang 10 juta dari Presiden Jokowi?  Menurut berita di koran, Ibu Saeni adalah penjuat nasi semacam warteg di Serang.  Di bulan ramadhan beliau tetap buka, walaupun warungnya ditutup dengan semacam geber.  Nah, hari itu pukul 12.30an Ibu Saeni baru selesai masak yang dimulai sekitar pukul 10an.  Warungnya belum dibuka, namun mendadak petugas Satpol PP Kota Serang datang melakukan razia.  Ibu Saeni dianggap melanggar Perda Nomo2 2 Tahun 2010.

Di tayangan beberapa stasiun TV kita dapat melihat petugas Satpol PP seperti sudah siap melakukan razia warung makanan.  Mereka membawa kantong-kantong plastik untuk mewadahi makanan yang dirampas.  Mungkin maksudnya agar tempat makanan tidak ikut dirampas.  Namun ada yang berkomentar, makanan yang dirampas dibawa kemana dan untuk apa ya?  Konon Ibu Saeni hanya disisai timun dan telur asin, makanan lainnya dirampas semua.

Tulisan ini tidak ingin membahas aspek hukum, tetapi aspek sosial yang muncul.  Menurut koran, setelah kasus Ibu Saeni itu muncul di TV dan disebarluarkan melalui media sosial, solidaritas masyarakat tumbuh dengan pesat.  Apalagi Presiden Jokowi menaruh empati dengan mengutus staf kepercayaannya untuk memberi bantuan 10 juta kepada Ibu Saeni.  Konon dua hari setelah kejadian itu, akun Twiter @dwikaputra berhasil mengumpulkan sumbangan dari masyarakat sebanyak 265 juta rupiah dengan penyumbang sebanyak 2.427 orang.

Saya tidak tahu, mengapa razia warung makanan dapat diketahui dan disorot TV begitu jelas.  Apakah wartawan TV-nya yang canggih sehingga mengetahui akan ada kejadian yang “layak jual” atau satpol PP-nya yang pengin nampang saat bertugas atau memang ada skenario untuk itu.  Apalagi Presiden langsung memberi “bantuan biaya” 10 juta.  Hanya mereka yang terlibat langsung dengan kejadian itu yang dapat menjawab.  Atau biarlah sejarah yang akan menjawabnya suatu saat kelak.

Yang menarik adalah cepatnya respons Presiden Jokowi dan bantuan uang dari 2.427 orang.  Memang media sosial ternyata merupakan penyebar berita yang sangat cepat dan luas.  Namun cepatnya Presiden membantu dan banyaknya orang yang memberi sumbangan patut diperhatikan.  Dengan pikiran positif, fenomena itu menunjukkan solidaritas sosial kita sangat kuat.  Apakah itu yang dirazia karena Ibu Saeni, orang kecil yang terpaksa harus mencari nafkah dengan berjualan di bulan ramadhan, sehingga perlu dibantu atau karena karena rasa kasihan orag kecil teraniaya, hanya Presiden Jokowi dan para penyumbang yang dapat menjelaskan.

Kita juga pernah punya kejadian yang agak mirip.  Saya lupa namanya, kalau tidak salah Ibu Prita yang berurusan dengan rumah sakit.  Kalau tidak salah Ibu Prita dipersalahkan karena mengunggah keluhaan tentang layanan sebuah rumah sakit ke media sosial.  Rumah sakit itu menuntut dan Ibu Prita kena hukuman atau denda.  Nah kemudian munculkan solidaritas sosial lewat koin untuk Ibu Prita.  Seingat saya jumlahnya sangat besar, jauh lebih besar dibanding denda yang harus dibayar.

Ketika ada bencana, misalnya gunung meletus, gempa bumi, banjir dan sejenisnya, juga banyak stasiun TV, koran dan lembaga lain yang mengumpulkan sumbangan.  Ternyata banyak sumbangan yang terkumpul dan kadang-kadang diluar dugaan besarnya.  Di Jawa Timur, YDSF (Yayasan Dana Soaial Al Falah) berhasil mengumpulkan donasi dari masyarakat lebih 2 milyar rupiah sebulan.  Sekali lagi, fakta tadi menunjukkan rasa solidaritas sosial masyarakat kita sangat tinggi.

Apakah para penyumbang itu orang kaya?  Saya tidak tahu pasti.  Namun menurut informasi dari beberapa teman yang terlibat dalam kegiatan seperti itu, banyak masyarakat yang secara ekonomi tidak termasuk kaya juga ikut menyumbang.  Tentu besarnya sesuai dengan kemampuan yang bersangkutan.  Informasi itu sejalan dengan apa yang terlihat pada acara TOLOONG yang disiarkan oleh sebuah stasiun TV.

Semangat solidaritas sosial tersebut perlu dipupuk dan dikembangkan sebagai salah satu karakter bangsa.  Pendidikan dapat mengaitkan dengan “empati” yang menjadi salah satu aspek pendidikan karakter.  Bersamaan dengan itu, potensi “ekonomi-nya” juga layak diperhitungkan.  Mengacu ke YDSF yang berpusat di Surabaya mampu mengumpulkan donasi sebanyak lebih 2 milyar rupiah sebulan, dapat dibayangkan berapa potensi dana yang dapat dihimpun di seluruh Indonesia.

Tentu kita juga harus memikirkan akuntabilitas dana yang terkumpul, dengan memastikan pemanfaatan dana sesuai dengan tujuan dan dilakukan secara efektif dan efisien serta transparan.  Lebih dari itu akan lebih baik jika pemanfaatannya diarahkan ke hal-hal yang sifat produktif dan tidak konsumtif semata.   

Tidak ada komentar: