Rabu, 18 Oktober 2017

KELUHAN GURU IPS



Beberapa minggu lalu saya kedatangan beberapa rekan alumni Unesa.  Seperti biasanya kita ngobrol ngalor ngidul, melepas rindu sambil berkelakar tentang masa lalu.  Tiba-tiba seorang rekan yang termasuk agak yunior menyampaikan keluhan.  Yang bersangkutan berprofesi sebagai guru IPS di sekolah swasta yang favorit di Surabaya dan bercerita kalau kelabakan ditanya muridnya yang memang dikenal pandai dan kritis.

Kami semua mendengarkan, karena memang ceritanya menarik.  Konon siswanya baru mendengarkan talk show di televisi dan mendapatkan informasi bahwa untuk dapat menjadi bupati atau walikota diperlukan biaya minimal 50 milyar rupiah.  Yang memberi informasi itu seorang tokoh dan tokoh lain yang hadir di talk show itu mengamini biaya itu.  Nah siswanya mengajukan dua pertanyaan: (1) untuk apa biaya sebesar itu?, dan (2) apakah gaji dan pendapatan bupati/walikota cukup untuk mengembalikan dana 50 milyar itu?

Pertanyaan logis dan cerdas, karena tentu dana yang dikeluarkan ketika mencalonkan diri itu harus dapat kembali dari penghasilan saat yang bersangkutan menjabat.  Mungkinkah ada seseorang yang mencalonkan menjadi bupati/walikota/gubernur tanpa dapat pengembalian dana itu, dengan alasan itu sebuah perjuangan untuk rakyat?  Mungkin saja, tetapi rasanya tidak banyak orang seperti itu.  Toh kenyataannya banyak orang yang mencalonkan diri menjadi bupati/walikota dan konon tidak ada bupati/walikota yang menjadi melarat setelah selesai menjabat.

Mungkin karena yang datang adalah teman lama dan tujuan mereka ngumpul bukan untuk diskusi, maka keluhan itu tidak mendapatkan tanggapan serius.  Boro-boro diberi bantuan untuk menjawab, justru teman yang bertanya itu dibuli: “Pertanyaan gitu saja, guru IPS tidak dapat menjawab”. “Coba saya kepala sekolahnya, pasti besuknya sampeyan tak pensiun”.   Ada lagi teman yang memberi komentar miring: “Toh banyak yang ingin jadi bupati dan walikota, pastilah penghasilannya lebih banyak dibanding yang dikeluarkan”.

Ketika teman-teman pulang, saya jadi ingat pendapat Prof Djoko Santosa, dosen ITB yang waktu itu menjadi dirjen Pendidikan Tinggi.  Suatu saat Pak Djoko bercerita, biaya politik kita ini sangat tinggi.  Saya lupa angka pastinya, tetapi Pak Djoko menyebutkan untuk menjadi anggota DPR memerlukan biaya yang tinggi, untuk menjadi bupati/walikota.gubernur memerlukan biaya yang lebih tinggi. Nah, selama biaya politik yang tinggi itu terjadi, maka akan ada saja oknum bupati/walikota yang korupsi untuk dapat pengembalian dana yang dikeluarkan. Saya bertanya, mengapa seperti itu?  Kata Pak Djoko, berapa penghasilan resmi anggota DPR/bupati/ walikota/gubernur.  Apa cukup untuk mengembalikan uang yang dikeluarkan itu?  Apa ada orang yang mau jadi bupati/walikota/gubernur jika biaya saat mencalonkan diri tidak terkembalikan saat menjabat?

Saya mencoba menggandengkan keluhan teman guru IPS tadi dengan pendapat Pak Djoko Santosa.  Untuk menjadi bupati diperlukan biaya 50 milyar dan masa jabatan bupati itu selama 5 tahun.  Jika logika bahwa pengeluaran itu harus balik selama menjabat, maka dalam satu tahun bupati/walikota harus punya penghasilan 10 milyar.  Jika dihitung per bulan, berarti bupati/walikota harus memiliki penghasilan rata-rata 833 juta per bulan.

Saya tidak tahu berapa gaji bupati/walikota dan berapa penghasilan tambahan, misalnya tunjangan ini dan itu serta penghasilan lain.  Namun saya ragu apakah mencapai 830 juta rupiah dalam satu bulan.  Nah, jika perkiraan tersebut benar, maka apa yang dikatakan oleh Pak Djoko itu mungkin ada benarnya.  Jadi saya dapat mengerti jika teman guru IPS tadi kelabakan untuk menjawab pertanyaan muridnya.  Rasanya sulit untuk menjelaskan kepada siswa kalau penghasilan bupati itu lebih dari 833 juta per bulan.

Untuk apa dana 50 milyar itu?  Jujur saya tidak tahu.  Mungkin untuk biaya kampanye.  Tapi apa untuk kampanye perlu biaya sebesar itu?   Saya juga tidak tahu.  Namun yang saya pikirkan, seandainya uang sebesar itu didepositokan berapa keuntungan yang diperoleh.  Katakanlah menggunakan bank konvensional yang memberikan bunga 6% per tahun, berarti dari uang 50 milyar itu akan diperoleh bunga 3 milyar setahun atau 250 juta per bulan.  Pertanyaan yang muncul, untuk apa orang mengeluarkan uang sebanyak 50 milyar untuk menjadi bupati, pada hal kalau dana itu didepositokan akan mendapat penghasilan 250 juta per bulan atau 8,3 juta per hari.  Rasanya orang dapat hidup mewah dengan penghasilan 8,3 juta per hari.

Merenungkan angka-angka di atas, saya bingung sendiri.   Rasanya kok banyak yang tidak masuk akal ya.  Apakah akal saya yang tidak sampai atau memang dunia itu tidak selalu rasional. Untunglah saya tidak menjadi guru IPS sehingga tidak menghapi pertanyaan murid yang sulit dijawab.

Tidak ada komentar: