Selasa, 10 Oktober 2017

Prof. Djoko Santoso, dr., Sp.PD-KGH., Ph.D., FINASIM



Senin, 9 Oktober 2017 saya bersama isteri mengunjungi Prof Toho Cholik Mutohir yang sedang sakit di Graha Amerta dr. Sutomo.  Beliau senior, sahabat dan sekaligus tetangga.  Kebetulan di Pascasarjana Unesa kami ditempatkan dalam satu ruang kerja dan hanya disekat dengan dinding kaca yang tidak penuh.  Jadi begitu masuk ruang kerja saya pasti melihat ruang beliau.  Jum’at tanggal 6 Oktober, sewaktu masuk ke ruang kerja saya kaget, karena di ruang beliau ada tikar tebal yang tergelar dan kursi-kursi disingkirkan ke ruang kerja saya.  Pasti ada apa-apa ini, begitu simpulan saya.

Setelah bertanya kesana-kemari, saya mendapat informasi kalau kemarinnya, Kamis 5 Oktober, beliau kena vertigo sehingga harus berbaring.  Untunglah Bu Cholik (begitu kami memanggil), isteri Prof Toho segera menjemput dan membawa ke rumah sakit.  Mungkin karena Bu Cholik berlatarbelakang kesehatan dan putri bungsunya, Mbak Tika, sedang menempuh PPDS, mengambil Spesialis Jantung, sehingga mengambil keputusan dibawa ke rumah sakit Sutomo. Informasi yang saya peroleh, beliau tidak dirawat di rumah sakit dan diijikan pulang karena sudah membaik dan terkena vertigo karena kecapekan saja.  Oleh karena itu, ya sudah saya tenang.

Hari Minggu tanggal 8 Oktober saya dapat kabar dari Drs. Widodo, MKom, dosen senior di UNIPA dan kebetulan juga teman baik juga tetangga, kalau Pak Cholik, begitu kami biasa memanggil Prof Toho, kembali masuk rumah sakit karena tiba-tiba panas tinggi.  Saya berpikir pastilah itu pertimbangan yang paling tepat.  Toh Mbak Tika seorang dokter yang sedang PPDS dan Bu Cholik juga seorang Bidan.  Oleh karena itu, saya memberitahu isteri besuk kita menengok Pak Cholik.

Kami sampai di kamar perawatan sekitar puku; 17.10 sore.  Semula saya agak kaget karena muka beliau ditutupi kain basah seperti untuk menurunkan panas.  Namun setelah masuk, ngobrol saya gembira karena beliau tampak sudah sehat dan semangat seperti biasanya. Pak Cholik biasa memanggil saya “co”, artinya “konco” atau teman.  Malah sambil berkelakar beliau menasehati saya “sampeyan gak usah ngalami ngene, belajar neng aku ae”.   Jadilah kami gayeng ngobrol, berempat, Prof Toho bersama Ibu dan saya bersama isteri.  Mbak Tika hanya melihat sambil tersenyum mendengar obroan orangtua.

Ditengah kami ngobrol, dokter yang menangani beliau datang.  Prof Djoko Santoso, yang juga Wakil Rektor Bidang Akademik Unair.  Seingat saya, saya baru pertama bertemu dengan beliau.  Kalau toh sebelumnya pernah bertemu, mungkin dalam forum ramai-ramai sehingga tidak sempat saling mengenal dengan baik.  Sepertinya beliau juga merasa begitu.  Buktinya setelah diperkenalkan oleh Prof Toho, beliau mengira saya Prof Haris dengan menyebut sekarang saya menjabat di Jombang.  Namun begitu dijelaskan oleh Prof Toho da ngobrol tentang ini dan itu, sepertinya kami bertiga sudah saling mengenal.  Mungkin juga beliau ingat pernah ketemu di forum tertentu, misalnya pada saya ikut menguji di S3 Unaiar. Jadilah forum yang sebenarnya dokter visiate pasien itu menjadi obrolan santai.

Kesempatan itu saya gunakan untuk bertanya “prof sebenarnya Prof Toho ini sakit apa?  Lha sekaran sehat dan tetap semangat seperti biasanya?”.   Sungguh menarik beliau menjelaskan dengan detail, walaupun dengan istilah kedokteran saya dapat memahami.  Beliau juga menjelaskan sesuatu yang belum pernah saya dengan sebelumnya.  Menurut Prof Djoko, tubuh kita ini punya pasukan.  Jika ada musuh, misalnya virus, pasukan itu akan bekerja membunuh virus tersebut dengan segala cara.  Namun jika musuhnya banyak, maka pasukan akan panik dan menembaki muruh dengan membabi buta, sehingga juga merusah sel-sel tubuh itu sendiri.   Itulah yang terjadi pada saat Prof Toho datang dengan suhu tinggi.  Oleh karena itu langkah cepat yang dilakukan adalah memberi obat khusus untuk mengurangi jumlah musuh, sehingga pasukan tubuh tidak lagi panik.

Hal menarik lain adalah penjelasan Prof Djoko tentang cara dokter mengobati pasien.  Sambil menunjuk Mbak Tika, beliau menjelaskan kalau dokter umum dan PPDS mengobati pasien harus mengikuti SOP yang baku, karena belum berpengalaman.  Namun kalau sudah spesialis dan berpengalaman dokter akan menggunakan daya analisisnya sendiri.  Prof Toho menimpali berarti dokterpun pada tataran tertentu menggunakan art, saya menimpali kalau begitu jam terbang ikut menentukan.  Dan beliau mengatakan “ya begitulah”.  

Obrolan terus berlangsung sampai Mbak Tika mengingatkan, visitenya lama sekali.   Namun Prof Djoko menjawab, “lho ini bagian dari terapi.  Itu lihat Prof Toho sudah bersemangat lagi”.  Prof Toho menimpali “Ini kuiah singat yag mahal harganya”.  Prof Djoko baru meninggalkan ruang perawatan sekitar pukul 17.55.  Mungkin lebih 40 menit beliau di ruang itu.  Sungguh saya beruntung mendapat “kuliah singkat itu” dan sungguh beruntung Prof Toho mendapat dokter seperti Prof Djoko.  Semoga Prof Toho segera sembuh dan semoga banyak dokter seperti Prof Djoko.

Tidak ada komentar: