Senin, 03 Februari 2020

Umroh 2: Belajar Keberagaman

Delapan hari di Madinah dan Makah saya banyak belajar, khususnya tentang keberagaman.  Tahun 2015 (kalau tidak keliru) saya sudah menulis tentang ini, tetapi kali ini rasanya saya lebih banyak lagi belajar.  Mungkin pada tahun 2015 saya hanya 2 hari di Madinah dan 2 hari di Makah, sementara kali ini dua kali lipat, sehingga saya memiliki waktu lebih banyak untuk mengamati.  Atau mungkin usia yang semakin tua, sehingga lebih mudah memahami perbedaan.  Atau mungkin juga memang kondisi saat ini berbeda dengan tahun 2015.  Oleh karena itu, saya ingin berbagi dengan pembaca.

Ketika berada di dalam masjid, baik Masjid Nabawi maupun Masjidil Haram, dan bahkan ketika di halaman, saya memperhatikan jama’ah.  Dari postur tubuh, warna kulit, wajah, rambut dan pakaian sangat beragam.  Tentu saya tidak dapat mengenali dengan tepat, tetapi hanya mengira-ira berdasar informasi dan bacaan seadaanya. Mulai jama’ah katakankah ras Melayu, mungkin dari Indonesia, Malaysia, Brunai dan sekitarnya.  Secara fisik mungkin sama atau paling tidak sangat mirip. Postus tubuhnya tidak terlalu besar, berkulit sawo matang, mata oval dan hidung relatif kecil.  Cara berpakaian juga hampir sama.  Yang membedakan mungkin kopiah, karena hanya orang Indonesia yang memakai songkok hitam.  Itu tidak semua, karena juga banyak yang memakai kopiah putih. Yang membedakan biasanya tas dan tanda pengenal.

Jama’ah dari Asia Timur, misalnya dari Cina dan mungkin Jepang dan Korea, dengan postur sedang atau sedikit lebih besar dibanding oleh Melayu, raut muka lebih bulat, berkulit putih, mata sipit, rambut lurus dan yang laki-laki berjangut tipis dan lurus. Umumnya memahami celana kombor putih dan baju mirip baju koko juga berwarna putih. Ada yang memakai kopiah putih tetapi juga ada yang menggunakan kafiyeh yang diubelkan di kepada.  Pengamatan saya, jumlah jamaah dari Asian Timur tidak banyak. Yang relative agak banyak teman-teman dari Cina bagian Barat, mungkin yang sering disebut Uighur.

Jama’ah dari Asia Selatan, India, Pakistan dan Bangglades sangat banyak.  Jujur saya tidak dapat membedakan ketiganya, kecuali yang dari India-khususnya ibu-ibu karena memakai semacam giwang di hidung.  Posturnya lebih tinggi dan kurus, berkulit sawo matang dan sedikit lebih gelap dibanding jama’ah dari Melayu. Raut muka oval, cederung tirus.  Umumnya memelihara janggut panjang yang seringkali kurang rapi. Bercelana dengan panjang tengah-tengah antara lutut dan mata kaki dengan baju khasnya.  Lebih pendek dari gamis tetapi lebih panjang dibanding baju takwa. Di bagian samping krowak seperti baju lengan panjang kita.  Menggunakan ikat kepala semacam kafiyeh yang diubelkan.  Kadang-kadang kafiyehnya sangat besar, sehingga ubelan di kepalanya cukup besar dan kurang rapi.  Demikian juga pakaiannya.

Jama’ah dari Asia tengah, misalnya dari Afganistan, Kazakstan, Usbekisten, Tajikistan dan sekitarnya juga cukup banyak.  Posturnya besar seperti orang Eropa,  Raut wajahnya cenderung tirus, walaupun tidak setirus orang Eropa.  Mungkin tengah-tengah antara orang Asia Timur dengan orang Eropa.  Kulitnya putih dengan rambut hitam yang cenderung lurus.  Sebagian besar memelihara jangut tetapi pendek dan diatur rapi.  Bajunya mirip dengan jama’ah dari Asia Timur, hanya kainnya lebih tebal dan banyak yang bajunya bertuliskan negaranya.  Jadi mudah dikenali, oh ini teman dari Afganistan, ini dari Usbekitan dan seterusnya.  Umumnya mereka datang ke masjid secara kelompok.

Jama’ah dari Turki juga mudah dikenali. Posturnya seperti perpaduan Arab dan Eropa.  Berkulit kuning (bukan putih), rambut hitam, raut muka oval agak tirus, dengan rambut hitam.  Ibu-ibu, mohon maaf, umumnya gemuk.  Pakaian mereka mirip dengan jama’ah dari Asia Tengah, dengan celana kombor dan baju semacam gamis tetapi pendek. Yang membedakan hanya jam’ah Turki umumnya menggunakan kafiyeh yang diubetkan ke kepada dengan rapi.  Umumnya juga datang secara kelompok. 

Secara tidak sengaja di Masjidil Haram saya duduk berdekatan dengan sekelompok jama’ah yang memakai gamis berwarna putih gading, rapid an tampak bersih.  Mereka menggunakan kopiah putih dililit dengan kafiyek putih dengan sangat rapi. Semula saya mengira mereka dari daerah Yordan atau sekitarnya. Namun ketika berkenalan, ternyata mereka dari Turki.  Dalam kelompok itu sepertinya ada yang senior ada yang yunior.  Yang yunior sangat hormat kepada yang senior.  Bakan jama’ah Turki yang lain tampak juga hormat.  Saya tidak tahu, apakah mereka ini semacam tokoh atau kyai untuk istilah di Indonesia.  Yang pasti ternyata, di Turki cara berpakaian jama’ah juga tidak sama.

Jama’ah dari Saudi Arabia dan sekitarnya mudah dikenali, karena selalu memakai baju gamis putih dengan kafiyeh.  Wajahnya juga khas, berhidung mancung, mata hitam tajam, dengan rambut hitam ikal. Sementara yang wanita memakai abaya hitam. Jujur saya tidak dapat membedakan, maka yang warga negara Saudi, mana yang Uni Emirat Arab dan sebagainya.  Umumnya mereka datang individual, tidak berkelompok.  Mungkin karena “di kampung” sendiri, sehingga tidak perlu kuatir apa-apa.

Bagaimana tata cari sholat? Tentu secara global, mulai takbiratul ihram dan seterusnya sampai salam sama.  Namun detailnya, bagaimana melakukannya sangat beragam.  Misalnya bagaimana cara mengangkat tangan saat takbiratul ihram sangat beragam.  Ada yang diangkat sejajar telinga dan cukup lama.  Ada yang diangkat sejajar pundak dan juga ada yang setinggi dada dengan sangat cepat.

Saat membaca Alfatihah dan surat (mungkin karena saya tidak mendengar), ada yang bersedekap dan ada yang tangannya lurus (lepas kebawah).  Cara bersedekapnya juga sangat beragam.  Ada yang di tengah dada, ada yang miring ke kanan, ada yang agak ke bawah. Saat dalam posisi itu ada yang tampak serius, ada yang sambil mengelus janggut, ada yang bolak-balik membetulkan baju, ada yang sambil menata kafiyeh dan sebagainya.

Bagaimana cara rukuk?  Juga sangat beragam, khususnya pada “kedalaman” membungkuk dan itu sangat mungkin juga terkait dengan usia.  Ada jama’ah yang saat rukuk, membungkuk sangat dalam dan kepala seakan menjulur ke bawah.  Ada yang badannya datar dengan kepala sejajar dengan badan.  Ada juga yang hanya sedikit membungkuknya, yang mungkin dengan usia. Waktu membungkuk juga sangat beragam. Ada yang sebentar sekali, tetapi juga da yang sangat lama.

Posisi duduk tahiyat awal maupun akhir ternyata juga sangat beragam, khususnya posisi telapak kaki. Ada yang keduanya ditekuk ke tengah, seperti posisi orang dzikir.  Ada yang ujung telapak kaki kiri dimasukkan di bawah kaki kanan, sementara ujung jari kaki kanan diposisinya tegak.  Ada pula yang telapak kaki kanan diposisikan ke luar.  Bahkan ada yang kedua kakinya dipakai tumpuan duduk dengan ujung telapaknya ditegakkan.

Keberagaman di tas membuat saya semakin faham, walaupun Al Qur’an-nya satu, Hadits yang dibaca mungkin juga sama, tetapi implementasinya dalam sholat dan berpakaian berbeda-beda. Dengan demikian sangat mungkin implementasi dalam kehidupan keseharian juga berbeda-beda, walaupun semua mengatakan berlandaskan Al Qur’an dan Hadits Nabi.  Oleh karena itu saling menghormati perbedaan seperti itu merupakan keniscayaan yang harus kita terima dan amalkan. Semoga.

Tidak ada komentar: