Minggu, 16 Februari 2020

Umroh 3: Terawang dari Kacamata Pariwisata


Teman saya mengatakan orang ibadah umroh seperti wisatawan yang tidak rewel.  Bahkan Yuswohadi dalam buku Middle Class Muslim Marketing menyebut umroh kini banyak dikemas dikaitkan dengan wisata religi. Yang tentu niat ibadah kental dalam semua acaranya.  Mungkin saya juga termasuk yang seperti itu.  Ketika di Madinah maupun di Makah, jama’ah termasuk saya, akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk ibadah di masjid, seperti sholat, dzikir, baca Al Qur’an, thawaf dan sebagainya, sehingga tidak terlalu memikirkan layanan yang diberikan.  Apalagi pembimbing seringkali mengingatkan bahwa niatnya umroh itu untuk ibadah.

Ketika umroh kali ini, saya mengamati nuansa wisata memang kentara.  Saya tidak tahu alasannya, tetapi semua rombongan mesti diajak untuk kunjungan ke beberapa tempat, yang punya sejarah terkait dengan haji maupun perjuangan Rosul dalam menegakkan dan menyebarkan Islam.   Nah, ketika berkunjung ke masjid Quba, Jabal Tsur, Jabal Uhud, padang Arofah dan sebagainya pedagang ternyata sangat banyak.  Bahkan di Jabal Uhud banyak anak-anak usia sekitar 10-15 tahun dan berwajah Afganistan atau sekitarnya yang menawarkan dagangan sambil berlari-lari.  Kebun kurma yang selalu menjadi tempat berbelanja di Madinah juga telah menjelma menjadi semacam took besar.  Lantai dasar dan basement hotel tempat jamaáh menginap baik di Madinah dan di Makah merupakan mall atau pertokoan dan juga da supermarketnya.

Mengamati itu saya mencoba mereka-reka kalkulasi dari sisi pariwisata secara amatiran.  Daya tampung masjid Nabawi itu 600.000 orang dan dalam situasi tertentu dapat menampung 1.000.000 orang. Pada hal selama saya di Madinah masjid selalu penuh.  Anggaplah berisi 90%, berarti ada 540.000 jamaáh di Madinah.  Konon jama’ah di Makah lebih banyak.  Katakanlah di Makah 1,5 kalinya atau sekitar 750.000.  Berarti ada 1,25 juta jama’ah setiap hari di Makah dan Madinah.  Mereka memerlukan penginapan di sekitar masjid Nabawi dan Masjidil Haram, yang tentu tarifnya cukup tinggi.  Mereka juga makan di hotel, karena tidak mau memikirkan masak.  Mereka tentu juga berbelanja, paling tidak untuk oleh-oleh.

Menurut seorang teman yang mengurusi umroh, hotel di sekitar masjid Nabawi dan Masjidil Haram selalu penuh dan bahkan harus pesan jauh-jauh hari.  Mungkin itu betul. Hotel tempat saya menginap, baik di Madinah maupun di Makah penuh jama’ah umroh.  Umumnya dari Indonesia dan Malaysia.  Pada hal hotel ‘kelas menengah atas’ sehingga tentu cukup mahal.  Lokasi sekeliling masjid Nabawi dan Masjidil Haram konon telah habis untuk hotel dan itupun katanya selalu penuh.  Mungkin benar.  Jika ada 750.000 orang jama’ah secara Bersama-sama di Makah, anggap saja 80% atau 600.000 orang ingin menginap di dekat masjid, berapa hotel yang diperlukan.  

Data tentang jumlah jama’ah tersebut tentu dapat memberikan gambaran berapa besar uang yang perputas di daerah itu.  Sewa kamar, makan di hotel maupun restoran di sekitarnya, belanja oleh-oleh dan barang lainnya. Jika dibuat sederhana, setiap orang menghabiskan uang 1,5 juta perhari, untuk sewa kamar hotel, makan siang, akan malam dan keperluan lain, maka setiap hari ada uang 600.000 x 1,5 juta rupiah atau 900 milyar rupiah atau 0,9 trilyun rupiah uang jama’ah yang dibelanjakan di Makah.  Di Madinah mungkin sedikit lebih rendah.  Dengan asumsi jama’ah di Madinah 540.000 orang dan 80% menginap di hotel, dengan tarif yang sama, maka uang jama’ah yang dibelanjakan di Madinah 0,8 x 540 x 1,5 juta = 648 milyar rupiah.  Jadi kalau uang jama’ah yang dibelanjakan di Makah dan di Madinah akan 1.540 milyar ataa 1,5 trilyun rupiah.  Jumlah yang sangat besar, sehingga masuk akal jika kedua kota itu menjadi incaran pengusaha.  Apalagi jama’ah atau wisatan religion itu tidak rewel.

Ketika data di atas saya sampaikan kepada teman, yang bersangkutan langsung menyatakan itulah hasil do’an Nabi Ibrahim, yang termuat di Al Qur’an Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrahim: 37).  Saya menimpali, itulah salah satu miracle Al Qur’an.

Tulisan ini mohon tidak dimaknai saya mengatakan umrah sebagai sebuah aktivitas wisata.  Tetapi sebagai pencermatan pola pikir penyedia jasa wisata ketika mereka melihat meningkatkannya jama’ah umroh.  Sebagai sering dimuat di berbagai media, pengusaha  selalu mencermati fenomena di masyarakat dan kemudian mencari peluang bisnis yang dapat dimunculkan.

Tidak ada komentar: