Rabu, 19 Mei 2021

BACK TO THE FUTURE

Beberapa hari ini saya membaca buku berjudul Back to the Future: Legacies, Continuities ad Change in Education Policy, Practice and Research, yang merupakan kumpulan tulisan pada ahli pendidikan dan diedit oleh Maria Assuncao dkk, dan buku berjudul Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif yang ditulis oleh Yudi Latif. Tampaknya tulisan yang dimuat di buku pertama merupakan makalah atau sejenis itu yang disampaikan pada International Study Association on Teachers and Teaching (ISATT)  di Portugal pada tahun 2011.  Sesuai dengan namanya buku ini memuat pemikiran dan hasil penelitian tentang guru dan pembelajaran.  Buku kedua sudah banyak diulas di media masa.  Seperti pada karya tulis Yudi Latif yang lain, buku kedua ini merupakan pergulatan pemikiran penulis dalam merenungi pendidikan di negeri ini, eksplorasi sejarah, pemikiran Ki Hajar dan rekomendasi ke depan.

Setelah membaca sebagian besar tulisan di kedua buku tersebut (jujur belum semua tulisan dan bagian buku sudah saya baca), saya merasa judulnya kebalik.  Mungkin judul Back to the Future mungkin lebih tepat untuk buku kedua karya Yudi Latif.  Membaca Bagian Ketujuh buku tersebut dengan sub-judul Visi Pendidikan Era Baru, saya mendapat kesan bahwa Yudi Latif menyarankan pendidikan di era baru, era disrupsi, kita justru harus kembali ke konsep hakiki pendidikan, seperti yang diajukan oleh tokoh-tokoh dahulu, termasuk Ki Hajar Dewantara.  Memang dalam buku tersebut Yudi Latif mengeksplorasi pemikiran Ki Hajar termasuk dari mana inspirasi Ki Hajar diperoleh.

Dari kajian sejarah Yudi Latif menemukan bahwa bangsa Indonesia telah memiliki pola pendidikan yang justru relevan di era sekarang.  Pola pendidikan di pondok dan pawiyatan yang menekankan pada pencarian ilmu secara mandiri dimana kyai berperan sebagai pemandu dan pembimbing sangat relevan di era ini.  Menurut Yudi pola pendidikan klasikal yang didasarkan pada kelompok umur berasal dari era Prusia (Jerman dan sekitarnya) sebagai strategi untuk restorasi setelah kalah perang dengan Perancis.  Pendidikan yang pada era itu dimaksudkan sebagai awalan pendidikan kemiliteran.

Pendidikan di pondok yang menerapkan pola sorogan, wetonan menurut Yudi Latif mengelompokan santri berdasar minat dan kemajuan berlajar.  Bukan berdasarkan kelompok umur.  Setiap santri dapat melangkahkan kemajuan belajar sesuai dengan kemampuannya dan bahkan sesuai dengan minatnya.   Kemampuan belajar mandiri, menyampaikan simpulan apa yang telah dipelajari merupakan cara yang diterapkan di era itu. Pola seperti itu yang menurut Yudi Latif cocok di era disrupsi, sehingga setiap orang harus menjadi pembelajaran yang cepat (fast learner).

Ki Hajar Dewantara yang ternyata juga pernah mendapatkan pendidikan di Pesantren Kalasan dibawah asuhan K.H. Abdurrahman, sehingga mendapat kesempatan berinteraksi dengan rakyat kalangan santri.   Ki Hajar Dewantara mengibaratkan murid itu sebagai tanaman yang ditumbuhkembangkan oleh guru sebagai petaninya. Jagung akan tetap tumbuh menjadi jagung dan tugas petani adalah membuat agar jagung tumbuh subur dan berbuah bagus.  Petani haus faham karateristik jagung yang ditanam, sehingga tahu kapan harus menyiangi, kapan mengairi dan kapan memberi pupuk serta pupuk apa yang cocok.  Metaphora itu memandu kita, pendidikan seharus memperhatikan potensi setiap anak didik, karena potensi itulah yang harus dikembangkan.  Ki Hajar mengatakan setiap anak memiliki potensi semacam gambar remang-remang dan tugas pendidikan adalah menebalkan gambar reman-remang tersebut menjadi gambar yang bagus.  Tentu yang ditebali adalah gambar yang baik, sedangkan gambar yang kurang baik dibiarkan atau bahkan ditimpa dengan gambar yang baik.

Pola seperti itu yang disarankan Yudi Latif untuk pendidikan kita.  Mengacu pada multiple intelligence Gardner dan mengeplorasi IQ, EQ, SQ dan sebagainya disimpulkan bahwa setiap anak itu unik dan justru keunikan itulah yang dijadikan pangkal pengembangan.  Di samping kekurangan setiap anak tentu memiliki kelebihan dan kelebihan itu yang justru dipupuk untuk menjadi bekal masa depan anak.

Jadi menapaki era disrupsi yang sulit diprediksi bagaimana selanjutkan, Yudi Latif sampai pada kesimpulan pendidikan justru harus kembali ke pola yang diterapkan di negeri ini jauh sebelum masuknya era persekolahan yang mengelompokkan anak berdasarkan umur, menggunkan kurikulum standar untuk semua anak dan sebagaianya.  Semoga.     

Tidak ada komentar: