Minggu, 02 Mei 2021

REFLEKSI DI HARDIKNAS

 Di hari Pendidikan Nasional, rasanya sangat tepat bagi kalangan pendidik untuk melakukan refleksi diri.  Apakah pendidikan kita sudah tepat arah.  Apakah kita sudah mencurahkan enersi kita untuk mengarahkan pendidikan ke tujuan yang sebenarnya.  Apakah kita sudah melakukan dengan tulus tanpa pamrih.  Apakah kita sudah bergandengan tangan dengan sesama pendidik.

Untuk memulainya, ada baiknya kita bertanya “apa tujuan pendidikan itu”.  Untuk menjawabnya jangan kita mendasarkan pada undang-undang atau peraturan lain, tetapi kita renungkan sendiri. Bagi yang punya anak, kita perlu bertanya kepada diri sendiri “apa yang kita impikan ketika mendidik anak kita dan menyekolahkan anak kita”.  Ibarat orang bepergian, dipastikan dulu kota atau tempat yang dituju, baru setelah itu didiskusikan naik apa jam berapa dan sebagainya.

Saya pernah bertanya tentang hal di atas ke beberapa orang dan jawabannya mirip-mirip, pada hal profesi mereka berbeda-beda.  Jawaban yang muncul antara lain: (1) biar ibadahnya baik, (2) biar akhlaknya baik, (3) biar pandai, (4) biar punya pekerjaan yang bagus, (5) biar hidupkan sukses, (6) biar bisa hidup bahagia.  Anda juga bisa menambahkan di luar enam tersebut.

Seorang teman mengomentari cara berpikir di atas sebagai kehidupan sebagai individu, belum menggambarkan posisi manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai warga masyarakat serta warga negara.  Teman tersebut menambahkan dari kacamata beliau, anak dididik agar: (1) menjadi orang yang mandiri dan mampu menopang kehidupannya sendiri sehingga tidak menjadi beban orang lain, (2) menjadi warga masyarakat yang punya empati bahkan dengan tulus membantu orang lain, (3) menjadi orang yang peduli dan menjaga lingkungan, (4) menjadi warga masyarakat dan warga negara yang dapat berkontribusi terhadap kemajuan masyarakat dan negara dimana dia berada.

Walaupun menggunakan cara pandang yang berbeda, sebenarnya kedua jawaban di atas saling terkait dan saling melengkapi. Akhlak tertunya terkait dengan kuwajiban orang terhadap lingkungan, baik itu lingkungan sosial maupun lingkungan fisik dimana yang bersangkutan berada. Pandai tentu sebagai modal untuk dapat sukses dalam pekerjaannya.  Jika punya akhlak yang baik dan punya kemampuan yang baik pula, dapat diharapkan yang bersangkutan dapat berkontribuasi terhadap kemajuan masyarakat dan negara.

Orang Jawa seringkali berkata anak harus dididik agar punya bekal untuk berkehidupan dan punya bekal untuk mencari penghidupan.  Ungkapan itu mirip dengan education for life dan education for earning a living.  Belajar kehidupan artinya belajar tentang nilai-nilai, norma-norma yang berlaku dalam kehidupan dan menjadikannya pegangan hidup untuk berperilaku.  Sedangkan mencari penghidupan artinya memiliki pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.  Tentu saja nilai-nilai kehidupan tersebut menjadi ruh dan mengimplementasikan cara mencari penghidupan.

Ada beberapa catatan untuk memahami prinsip tersebut. Pertama, penumbuhkembangan nilai-nilai dan norma-norma tersebut tidak berhenti pada pengetahuan, tetapi harus sampai tindakan.  Menggunakan istilah Thomas Likcona, tidak berhenti pada knowing, tidak berhenti pada feeling tetapi harus sampai pada action.  Tahu saja tidak cukup, internalisasi saja tidak cukup, tetapi harus terwujud dalam perilaku sehari-hari. Karena masyarakat Indonesia sangat heterogen, tentu nilai-nilai dan norma-norma tersebut harus dikaitkan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat setempat.  Tentu juga memuat nilai-nilai universal yang berlaku di Indonesia.

Kedua, kondisi heterogenitas di Indonesia termasuk sumberdaya alam dan kemajuan teknologi.  Walaupun ada masyarakat Indonesia yang kata orang sudah menjadi digital society atau society 5.0 tetapi juga ada yang masih “di belakang”.  Sebaiknya penumbuhkembangan kemampuan mencari penghidupan dikaitkan dengan potensi daerah dan teknologi yang cocok untuk mengembangkannya, termasuk teknologi yang dapat dikuasai oleh masyarakat setempat. Bukan berarti orang tidak boleh belajar teknologi maju dan atau teknologi yang terkait dengan lain, tetapi pendidikan tentu juga dimaksudkan untuk memajukan daerah dimana orang berada.  Pendidikan yang mengabaikan prinsip tersebut akan mencerabut manusia dari lingkungannya dan mendorong terjadinya urbanisasi.

Ketiga, Perkembangan iptek yang sangat cepat berimplikasi tumpukan pengetahuan semakin banyak.  Hal itu harus disikapi dengan bijak.  Apakah semua itu harus dipelajari anak didik?  Menurut saya tidak.  Semua anak didik memang perlu belajar bagian-bagian basik, sedang selebihnya sesuai dengan bakat, minat dan kebutuhan hidup ke depannya.  Prinsip heutagogy bahwa anak hanya perlu belajar yang diperlukan dapat menjadi rujukan.

Tidak ada komentar: