Sabtu, 15 Mei 2021

RENUNGAN IDUL FITRI

Pagi ini saya mendapat forward wa dari seorang teman lama.  Berikut ini wa-nya:

 

Pada awal bulan Syawwal ini, tdk ada orang yg merasa benar, semua mengaku salah dan tanpa malu meminta maaf, betapa damainya negeri ini bila "roh" Idul Fitri selalu menjadi marwah dlm kehidupan sehari-hari baik di rumah maupun di lingkungan pergaulan bahkan pekerjaan, mari kita biasakan menjadi orang yg berani mengakui salah, bukan orang yg selalu merasa benar atau hebat.

 

Walaupun setiap Idul Fitri, kita meminta maaf kepada keluarga dan handai taulan, namun jujur saya terhenyak mendapat wa tersebut di atas.  Apa yang telah saya lakukan secara rutin setiap idul fitri, tampaknya tidak saya internalisasi dengan baik. Buktinya saya terhenyak dengan wa tersebut.  Yang saya (sekali lagi saya) ucapkan atau tuliskan itu tampaknya hanya berhenti di bibir atas guresan tulisan, tetapi tidak masuk ke hati apalagi dalam tindakan.  Meminjam istilah Lickona, apa yang saya lakukan tidak sampai pada moral feeling apalagi sampai moral action.

 

Merenungkan itu, saya jadi teringat kata-kata Pak Nuh (Prof Muhammad Nuh, mantan Mendikbud).  Sekian tahun lalu Pak Nuh mengatakan, jika kita jujur yang salah mengaku salah, maka pengadilan sangat efisien karena sidang tidak perlu lama-lama, bahkan tidak perlu sidang. Hukuman menjadi lebih ringan karena terdakwa mengakui kesalahannya dan seterusnya.  Mungkin Pak Nuh mengungkapkan itu karena melihat sidang pengadilan yang membuat kepala pusing, karena jaksa dan pengacara saling mengadu strategi.  Sampai kadang-kadang saya yang awam ini bingung, mana yang benar.

  

Mengapa ya, mengakui kesalahan itu tidak mudah?  Jujur saya tidak tahu jawabnya dan jujur saya sendiri juga melakukan.  Walaupun setelah merenung lama jadi sadar bahwa salah, tetapi saat awal tidak merasa salah.  Dan bahkan setelah sadarpun sulit untuk mengatakan secara terbuka bahwa salah.  Yang sering terjadi, justru mencari alibi mengapa kesalahan itu terjadi dan mencari orang lain yang dianggap menyebabkan.  Apakah ini yang dalam ungkapan disebut “semut di seberang lautan tampak, sedangkan gajah di pelupuk mata tidak tampak”?  Atau pepatah Jawa yang mengatakan “sing paling angel itu ndelok gitoke dewe (yang paling sulit itu melihat tengkuk sendiri)”.

 

Apakah itu budaya kita atau perilaku universal?  Apakah itu hasil pendidikan kita? Saya jadi teringat cerita teman yang membawa anaknya ketika melanjutkan kuliah di luar negeri.  Teman tadi mengatakan kebiasaan orang di negara tersebut kalau tabrakan atau mengalami kejadian bersama orang lain, akan selalu bertanya “are you ok?” atau dalam bahasa kita “kamu tidak apa-apa?”.  Dan ternyata itu diajarkan kepada anak-anak baik di rumah maupun di sekolah.  Cerita teman itu mengambarkan mendahulukan kepentingan orang lain yang sama-sama mengalami sesuatu dengan kita.  Teman tadi juga mengatakan dua kata paling sering diucapkan orang di negara itu adalah “sorry” dan “thank you” (maaf dan terima kasih), seakan menggambarkan mudahnya mengakui kesalahan dan mengucapkan terima kasih.

 

Atau karena kita merasa punya posisi “lebih tinggi” sehingga seharusnya selalu benar?  Mirip dengan guru/dosen yang sulit mengakui kalau pendapatkan keliru di depan murid.  Saya jadi teringat pengalaman beberapa tahun lalu. Ketika mengajar (tatap muka) ada mahasiswa yang sibuk melihat HP, pada hal saya sedang menjelaskan suatu teori yang menurut saya tidak mudah difahami.  Setengah ndongkol mahasiswa tersebut saya tegur dan secara mengejutkan dia mengatakan sedang membaca sanggahan terhadap teori yang sedang saya bahas.  Tulisan siapa dan di web mana, tanya saya yang mungkin ketus.  Dia menyebutkan link-nya dan saya cek di laptop link itu memang ada.  Akhirnya saya persilahkan mahasiswa tersebut meneruskan membaca dengan janji setelah selesai dapat menjelaskan di depan kelas.

 

Di akhir kuliah saya tanya mahasiswa tersebut apakah sudah selesai membacanya dan menjawab sudah tetapi masih perlu mendalami dan berjanji akan memaparkan pada kuliah berikutnya.  Selesai kuliah dan kembali ke ruang dosen, saya membuka link yang tadi ditunjukkan mahasiswa dan mencoba membacanya dengan cermat.  Diam-diam saya kagum pada mahasiswa tersebut, bagaimana menemukan link itu dan bagaimana dia berusaha memahami tulisan di dalamnya yang menurut saya sangat rumit.

 

Seperti dijanjikan, di awal kuliah minggu berikutnya saya minta mahasiswa menjelaskan apa yang dibacanya dan walaupun dengan terbata-bata dia dapat menjelaskan dengan lumayan baik.  Tentu dengan kesalahan-kesalahan kecil karena dia tidak membaca dalam konteks yang lebih luas.  Dalam hati saya memuji yang bersangkutan dan merasakan kalau seperti itu dia layak mendapat nilai A plus, karena melampaui target pemamahan yang saya harapkan.  Diam-diam saya berharap dia akan menjadi “jagoan di bidang itu”.  Toh saya tetap sulit untuk secara terbuka meminta maaf karena menegur dan juga sulit mengakui bahwa mahasiswa itu yang lebih benar pendapatnya.


Mungkin kita (paling tidak saya) masih harus belajar bagaimana mengakui kesalahan yang kita perbuat dan mengakui kalau orang lain pendapatnya lebih benar. Semoga. 

Tidak ada komentar: