Selasa, 11 Mei 2021

REKAM JEJAK VS HASIL TES

 Seingat saya, saya pernah nulis tentang head hunter di blog ini, hanya saya lupa kapan itu. Mungkin sudah 2 tahun lalu atau bahkan lebih.  Saya teringat itu karena beberapa hari ini medsos rame memuat tes yang dilakukan terhadap pegawai KPK.  Saya tidak ingin masuk ke wilayah itu, karena memang tidak tahu situasi yang sebenarnya.  Saya hanya ingin berbagi pengalaman.

Saya beberapa kali menjadi panitia seleksi (pansel), baik untuk eselon 1, eselon 2 dan bahkan untuk lembaga non kedinasan.  Biasanya pansel itu bekerja setelah para calon mengikuti serangkaian tes, dan kemudian pansel diminta mencermati hasil tes itu, melakukan wawancara dan penelaahan data lain untuk memilih beberapa calon yang diyakini paling baik.

Problem paling krusial saat menjadi pansel adalah ketidakcukupan data tentang rekam jejak (track record) calon.  Pada hal menurut saya rekam jejak itu sangat penting.  Saya pernah membandingkan kerja pansel dengan head hunter yang biasa diminta jasanya oleh perusahaan yang sedang menjadi pejabat tertentu.  Teman saya, mantan pejabat di beberapa perusahaan yang sekarang pensiun dan mendirikan head hunter bercerita bagaimana head hunter bekerja.  Mirip detektif.  Mereka mencermati pejabat selevel atau sedikit dibawah dari jabatan yang akan diisi.  Mereka tidak melakukan tes, tetapi mencermati kinerja mereka, termasuk perilaku kesehariannya.  Jika ketemu, yang bersangkutan akan dihubungi dan diajak ngobrol kemudian ditawari jabatan tersebut.

Mengapa tidak melakukan rekrutmen terbuka dan kemudian dites?  Menurut teman tadi, rekam jejak jauh lebih akurat dibanding tes.  Namun memang diperlukan enersi cukup untuk mendalami rekam jejak seseorang, apalahi jika orangnya juga masih dicari.  Akhirnya perusahaan lebih nyaman menyewa perusahaan yang secara mudah disebut head hunter tersebut.

Mengapa rekam jejak lebih akurat?  Teman-teman yang mendalami test and measurement pasti tahu jawabannya. Tes pada dasarnya merupakan prediksi.  Teste diberi stimulus, berupa soal atau pertanyaan atau sejenis itu, dan responsnya digunakan untuk memprediksi sesuatu. Tentu soal atau pertanyaan tersebut disusun dengan teori tertentu dan diyakini dapat memancing keluarnya respons yang sesuai dengan yang diharapkan.  Ketepatan soal atau pertanyaan dengan “apa yang ingin diukur” atau yang biasa disebut validitas menjadi penentu akurat tidaknya hasil tes.  Belum lagi kemungkinan bias akibat macam-macam.  Jika seseorang tahu kalau dites akan memberikan respons yang tidak natural, karena disesuaikan dengan harapan agar hasilnya baik.  Bias ini yang sering disebut hawthorne effect.

Rekam jejak yang diamati dalam waktu yang cukup lama dapat menggambarkan hal yang sebenarnya, sehingga dapat menghindari hawthorne effect tersebut.  Secara kelakar orang tidak mungkin dapat berpura-pura dalam waktu yang lama.  Namun memang tetap diperlukan catatan atau point-point apa yang harus diamati untuk menggambarkan perilaku dan atau kinerja tertentu.

Unit kerja yang menangani SDM mestinya punya instrument tersebut, karena secara periodik harus membuat laporan kinerja karyawan.  Catatan itulah yang biasanya dijadikan bukti rekam jejak seseorang dan dijadikan landasan apakah yang bersangkutan sudah waktunya promosi atau belum atau bahkan perlu demosi.

 Nah, pertanyaannya apakah selama ini KPK tidak memiliki catatan perilaku dan kinerja karyawan yang menjadi rekam jejak mereka?  Jika punya mengapa perlu melakukan tes ketika akan mengubah status mereka menjadi ASN? Rasanya aneh, jika unit kerja seperti PKP tidak punya catatan rekam jejak karyawannya. Apakah rekam jejak yang dimiliki dianggap belum cukup?  Itulah pertanyaan awam yang memang tidak tahu konteks utuhnya.

Tidak ada komentar: