Senin, 30 Juni 2014

BOM WAKTU LPTK TELAH DATANG?



Di block ini saya pernah memuat tulisan pendek dengan judul Bom Waktu LPTK.  Seingat saya tulisan itu saya buat setelah saya menghadiri undangan Bappenas untuk membahas RPJMN (Rencana Pembangua Jangka Menengah Nasional 2015-2019) pada bulan Januari 2014. Waktu itu saya risau dengan jumlah LPTK (Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan) yang naik secara signifikan.  Ketika guru mendapatkan tunjangan profesi, kemudian minat masuk ke LPTK meningkat tajam.  Berikutnya banyak orang mendirikan LPTK, sementara LPTK yang sudah ada meningkatkan jumlah mahasiswa baru.  Akibatnya mahasiswa LPTK meningkat tajam dan akan terjadi over supply calon guru. 

Bayangkan, Pak Abi Sujak-Sekretaris Badan yang secara khusus ditugasi mengurus guru, menjelaskan menurut data Kemdikbud saat itu jumlah LPTK 429 buah dengan mahasiswa sebanyak 1.440.770 orang, sehingga diperkirakan setiap tahun lulus 300.000 sarjana pendidikan baru.  Pada hal, menurut teman di Kemdikbud kebutuhan guru baru hanya 40.000an orang per tahun.  Berarti setiap tahun terjadi kelebihan suplai guru sebanyak 260.000 orang.  Bukankah itu potensi pengangguran yang sangat merisaukan.

Tanggal 28-29 Juni 2014 saya diundang oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) untuk mereview draft Standar Nasional Pendidikan Pendidik dan Tenaga Kependidikan.  Prof. Haris yang menjadi Ketua Tim Ad Hoc penyusun draft tersebut menjelaskan bahwa pada awalnya yang ingin disusun adalah standar kelembagaan LPTK untuk menjaga mutu lulusan.  Mudahnya, untuk menjaga mutu dan jumlah lulusan LPTK.  Namun dalam perkembangannya, yang disusun bergeser menjadi standar program.  Mungkin dengan standar program, nanti dapat ditentukan standar lembaga yang cocok (baca: mampu) untuk melaksanakan.

Tampaknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai khawatir dengan menjamurnya LPTK yang seakan tak terkendali.  Oleh karena itu disusun standar yang diharapkan dapat mengendalikannya.  Tentu maksudnya baik, agar tidak terjadi lulusan LPTK yang tidak memenuhi standar minimal dan juga agar tidak terjadi pengangguran lulusan LPTK secara massif akibat njompangnya supply-demand guru. Sebenarnya agak terlambat, tetapi lebih baik terlambat dari pada tidak dilakukan apa-apa. 

Menutup perguruan tinggi merupakan seuatu yang tidak mudah di Indonesia.  Seringkali keinginan seperti itu menjadi problem sosial bahkan menyerempet ke hal-hal yang berbau politis.   Sewaktu baru menjadi Direktur Ketenagaan, saya dihadapkan masalah STKIP di Kabupaten Alor.  STKIP itu sudah beroperasi dua tahun tetapi belum mendapatkan ijin program studinya.  Mahasiswa bergolak, takut kalau sampai saatnya lulus ijin belum keluar, sehingga tidak dapat lulus.

Data yang ada di Dikti menunjukkan bahwa persyaratan untuk pendirian prodi belum memenuhi syarat.  Terjadilah dilema, akan diberi ijin tidak memenuhi syarat.  Tidak diberi ijin mahasiswa berdemo dan menjadi problema sosial.  Akhirnya diputuskan, mahasiswa yang sudah terlanjur kuliah ditransfer ke Universitas Nusa Cendana, sementara SKIP tersebut dibekukan dan tidak boleh menerima mahasiswa baru, sampai ijin diperoleh.  Prof. Frans Umbu Data, Rektor Undana sungguh berjasa, karena mau menerina limpahan mahasiswa PGSD dari STKIP di Alor tersebut.  Seandainya Undana tidak dapat menerima limpahan mahasiswa tersebut mungkin masalah akan berkepanjangan.

Dalam tahap diskusi bersama antara BSNP, Tim Ad Hoc dan rivewer diinformasikan bahwa judl draft diubah menjadi Standar Nasional Pendidikan Guru (SNPG).  Dengan demikian arahnya sudah lebih jelas.  Karena LPTK sebagai lembaga penghasil guru juga merupakan perguruan tinggi, maka SNPG besuknya merupakan kelengkapan daru SNPT (Standar Nasional Pendidikan Tinggi) yang sudah menjadi Permendikbud.  Jadi hanya memuat hal-hal yang belum tercakup dalam SNPT.

Yang terbayang dibenak saya adalah bagaimana penerapan SNPG besuk.  Jika ada (dan dugaan saya banyak) LPTK yang tidak memenuhi SNPG apakah harus ditutup?   Sebaliknya jika banyak LPTK yang memenuhi SNPG sehingga terjadi over supply guru apa dibiarkan saja?  Itulah sebabnya dalam forum itu saya mengusulkan menganggap pendidikan guru sebagai bentuk pendidikan kedinasan.  Toh pendidikan guru dilaksanakan oleh Kemdikbud dan hasilnya digunakan oleh Kemdikbud. Jadi mirip dengan pendidikan di AMN yang dilaksanakan oleh TNI AD dan hasilnya digunakan oleh TNI AD.  Juga mirip dengan pendidikan di STPDN yang dilaksanakan oleh Kemdagri dan hasilnya digunakan oleh Kemdagri.

Menurut UU No. 14/2005, guru haruslah lulusan S1/D4 ditambah Pendidikan Profesi Guru (PPG). Nah kita perlu merumuskan, mana yang disebut pendidikan guru.  Apakah sejak dari S1/D4 sampai PPG atau hanya PPG-nya saja.  Menurut saya lebih bijak jika yang disebut pendidikan guru adalah PPG-nya.  Program akademik di S1 tidak termasuk di dalamnya.  Mengapa?  Pertama, program S1 adalah program akademik dan belum tentu semua pesertanya menjadi guru.  Sangat mungkin ada orang yang ingin belajar tentang pendidikan, tetapi tidak ingin menjadi guru.  Misalnya ibu-ibu muda yang ingin pandai mendidik anaknya.  Melarang mereka masuk LPTK dapat dimaknai melanggar hak asasi.

Apakah dengan pola itu, seakan-akan pendidikan guru harus konsekutif, program S1 dipisah dengan PPG?  Di negara maju, memang ada pola konkuren (S1 dan PPG menyatu), tetapi juga ada pola konsekutif.   Undang-undang No. 14/2005 menyebut bahwa pola yang digunakan di Indonesia adalah konskutif.  Bukan tidak mungkin mengembangkan pola konkuren, tetapi tentu hanya untuk program-program khusus.  Setahu saya, sekarang juga sudah ada inisiasi PPG Terintegrasi dengan pola konkuren untuk calon guru dari daerah terpencil.

Kedua, dengan pola ini yang perlu yang perlu dikendalikan dengan ketat adalah PPG, sedangkan S1 LPTK dapat lebih longgar.  Mengapa demikian?  Biarlah program S1 Kependidikan di LPTK berjalan sebagaimana biasanya, dengan pengertian lulusannya adalah sarjana pendidikan yang belum tentu menjadi guru.  Mirip lulusan S1 Farmasi yang belum tentu menjadi apoteker atau lulusan S1 Hukum yang belum tentu menjadi hakim, jaksa, notaris dan pengacara.

PPG yang harus dikendalikan , baik jumlah maupun mutunya agar mampu menghasilkan calon guru dalam jumlah, jenis dan mutu yang sesuai dengan kebutuhan.  Toh, UU no, 14.2005 mengamanatkan pemerintah mengembangkan pola pendidikan guru berikatan dinas dan berasrama untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan.  Jadi yang diasrama dan diberi ikatan dinas, hanya mahasiswa PPG karena mereka memang dididik untuk menjadi guru.

Dengan pola itu berarti hanya LPTK yang memenuhi syarat dan jumlah tertentu yang diberi ijin melaksanakan PPG, tetapi mereka tetap dapat melanjutkan program S1.  Tentu ada kemungkinan minat masuk ke LPTK yang tidak memiliki PPG akan menurun.  Pengelola LPTK mungkin akan risau karena sudah terlanjur memiliki dosen dan sarana lainnya.  Pada kasus seperti ini perlu dicarikan solusi, termasuk LPTK yang memiliki PPG tetapi harus mengurangi jumlah mahasiswa Kependidikan.  Salah satu cara adalah memberikan ijin prodi non Kependidikan yang senafas.  Misalnya memberikan ijin prodik Matematika (murni) bagi LPTK yang memiliki prodi Pendidikan Matematika.  Asumsinya lapangan lulusan S1 Matematika tidak menjadi guru.

Jika ijin prodi non Kependidikan itu diberikan, mahasiswa dapat didorong untuk menempuh program gelar ganda (double degree).  Misalnya menempuh S1 Pendidikan Akutansi dan S1 Akutansi (murni).  Setelah lulus mereka dapat memilih akan menjadi guru atau bekerja sebagai akuntan.  Untuk prodi Kependidikan yang tidak memiliki padanan murni, misalnya S1 PGSD dan sejenisnya perlu dicarikan prodi non Kependidikan yang terdekat.

Setelah SNPG final menjadi peraturan, sebaiknya disusun skenario implementasi termasuk kapan dimulai penerimaan guru baru harus lulusan PPG.  Jika skenario ditentukan dan disosialisasikan secara luas, diharakan semua LPTK da lembaga lain terkait dapat menyiapkan diri.  Semoga.

Tidak ada komentar: