Senin, 18 Mei 2015

PARADOKS KURIKULUM



Beberapa waktu lalu saya diundang oleh KNIU (Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco).  Dalam rapat selama 2 hari itu dibahas bagaimana memasukkan EsfD (Education for Sustainable Development) dalam pendidikan di Indonesia.   Sebenarnya ini bukan program baru, seingat saya pada tahun 2009an PR1 UGM yang kebetulan isteri Mendiknas (Prof Bambang Sudibyo) pernah menyampaikan dalam sebuah forum kajian di Jakarta.  Mungkin pelaksanaan EfSD dianggap kurang efektif, sehingga KNIU memikirkan bagaimana agar guru faham akan pentingnya EfSD dan bahkan merasa harus memasukannya dalam pembelajaran yang dia ampu.   Bahkan KNIU ingin agar LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/ penghasil guru) memasukkan EfSD dalam pendidikannya, sehingga setiap calon guru sudah faham tentang EfSD dan akan memasukan dalam pendidikan yang besuk dia bina.  Nah, dalam diskusi itu muncul pikiranagar EfSD menjadi matakuliah.

Mendengar usulan itu, saya teringat serangkaian diskusi saya dengan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana-saya lupa nama terbarunya) Jawa Timur sekitar 3 tahun lalu.  Saat itu Prof Fasli Jalal menjadi Kepala BKKBN Jakarta.  Saya diminta untuk membantu bagaimana “menghidupkan kembali” BKKBN yang “mati suri” dan untuk memudahkan operasional saya diminta berkomunikasi dengan BKKBN Jawa Timur.  Jadilah serangkaian diskusi dengan teman-teman di BKKBN Jawa Timur.  Nah, dalam diskusi itu muncul keinginan bagaimana caranya agar KB menjadi matakuliah atau bahkan menjadi program studi.  Juga diusulkan agar di Unesa ada UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) KB dan BKKBN Jawa Timur akan membantu pendanaan UKM KB tersebut.

Itulah salah satu gambaran paradoks kurikulum di Indonesia.  Di satu sisi banyak orang mengatakan kurikulum kita terlal berat, namun di pihak lain banyak pihak yang ingin “menitipkan” program atau konsep yang dianggap penting ke dalam pendidikan. Seingat saya tidak hanya EfSD dan KB yang ingin masuk ke kurikulum, tetapi juga tentang bahaya narkoba, lalu lintas, lingkungan hidup dan sebagainya.  Jadi jika ada program penting di tingkat nasional, pejabat yang bertanggung jawab terhadap program tersebut ingin programnya masuk dalam pendidikan.

Pada universitas bahkan lebih unik.  Jika ada dosen yang baru selesai menempuh program doktor dan penelitian disertasinya terkait dengan bidang ilmu baru, maka setelah pulang yang bersangkutan ingin bidang kajian tersebut menjadi matakuliah.  Alasannya bidang tersebut sangat penting dan akan berperan banyak di masa mendatang.   Oleh karena itu kita tidak perlu kaget jika seringkali di suatu program studi muncul matakuliah baru (biasanya matakuliah pilihan).

Bahwa program nasional atau bidang yang diteliti oleh calon doktor itu penting, rasanya kita dapat mengerti dan bahkan menyetujui.  Tidak mungkin menjadi program nasional dan tidak mungkin menjadi topik penelitian jika itu tidak penting.  Tetapi apakah itu harus masuk dalam kurikulum atau bahkan menjadi matapelajaran atau matakuliah.  Saya jadi teringat dialog antara Direktur The Napa New High School di California dengan tamunya Mr. Zheng dari China.  Mr Zheng bertanya dimana kreativitas dan inovasi diajarkan dalam kurikulum. Direktur sekolah tersebut (Mr. Paul) menjawab, bahwa hal itu tidak ada dalam kurikulum.  Tetapi kreativitas dan inovasi itu ada dalam udara yang dihirup dan air yang diminum.  Dengan kata lain kreativitas dan inovasi menjadi budaya sekolah yang diikuti dalam kehidupan sehari-hari oleh seluruh komponen sekolah.

Dengan demikian sebenarnya program penting pemerintah dan bidang ilmu penting tersebut tidak harus menjadi matapelajaran dan matakuliah, tetapi menjadi budaya sekolah.  Apa budaya sekolah itu bagian dari kurikulum?  Dapat ya, dapat tidak.  Jika kurikulum difahami sebagai daftar matapelajaran atay daftar matakuliah tentu tidak.  Tetapi jika kurikulum adalah skenario pendidikan dilaksanakan, mulai apa kompetensi yang ingin dihasilkan (biasa disebut dengan kompetesi lulusan, bagaimana kompetensi itu ditumbuhkembangkan (biasa disebut proses pendidikan), apa yang perlu dipelajari oleh anak-anak (biasa disebut matapelajaran/ makakuliah) dan bagaimana cara mengecek ketercapaian kompetensi yang diharapkan (biasa disebut evaluasi hasil), maka budaya sekolah termasuk kurikulum.

Bukankah proses belajar terjadi kapan saja dan dimana saja?  Bukankah anak-anak justru lebih belajar dari apa yang dilihat dan apa yang dirasakan?  Jika sekolah itu bersih dan tertib tentu siswa/mahasiswa baru akan terbawa untuk mengikutinya.  Jika guru/dosen banyak menulis tentu siswa/mahasiswa akan menyontohnya.  Jika setiap guru/dosen menyisipkan pemikiran EfSD dalam setiap aktivitasnya dan sekolah/universitas menerapka prinsip EfSD dalam setiap programnya, tentu siswa/mahasiswa mengiternalisasi EfSD walaupun tidak ada matakuliah EfSD.  Jadi yang penting bukan menjadi matapelajaran atau matakuliah, tetapi menjadi norma/prinsip kehidupan/budaya sekolah, sehingga setiap aktvivitas di sekolah/kampus selalu memperhatikan itu.  Lebih kerennya menjadi “ruh” setiap aktivitas warga sekolaj/warga kampus.  

Tidak ada komentar: