Kamis, 28 Mei 2015

BERSYUKUR DALAM PERJALANAN TEHERAN-ISFAHAN: Catatan mengikuti Konferensi Asaihl di Iran (1).



Tanggal 21-25 Mei 2015 untuk pertama kalinya saya berkunjung ke Iran.  Begitu mendapat informasi kalau konferensi internasional Asaihl dilaksanakan di Iran, saya berusaha untuk dapat berangkat.  Bukan karena konferensinya, tetapi sangat ingin tahu seperti apa negara Iran.  Negara yang diembargo dunia Barat tetapi tidak bergeming dan bahkan sekarang justru Amerika Serikat yang tampaknya ingin berbaik-baik dengan Iran.  Negara yang “tertutup” tetapi teknologinya cukup maju, sehingga ditakuti akan mampu mengembangkan senjata nuklir.  Negara yang sering disebut negara para mullah, tetapi sepanjang yang saya kenal melalui pertemuan di forum internasiona, orangnya sangat intelek.  Intinya saya sangat penasaran untuk ingin melihat negara Iran.

Oleh karena itu, saya berusaha mengirim makalah sebagai modal dapat berangkat ke Iran.  Alhamdulillah, makalah yang berjudul Local Wisdon as a Basis of Character Education diterima, sehingga saya dapat berangkat ke Iran. Makalah itu saya susun berdasarkan penelitian Pemetaan Karakter yang dilaksanakan pada tahun 2013 dengan biaya Balitbang Dikbud.  Jujur saya harus berterima kasih kepada Dr Yuni Sri Rahayu (sekarang sebagai PR 1 Unesa) dan Mas Haryanto, MS (pensiunan karyawan Unesa), karena sepanjang pengetahuan saya kedua orang itu yang paling banyak berkutat menyelesaikan penelitian tersebut.

Saya berangkat ke Iran bersama Pak Rektor Unesa (Prof Warsono) dan Pak PR 4 (Pak Djodjok), menggunakan penerbangan Emirat dan transit di Dubai.  Kami tiba di bandara Imam Komaini Teheran pukul 3.30 pagi. Betepatan dengan adzan subuh saat kami antre pengecekan paspor.  Pengecekan paspor dan pengambilan begasi lancar. 

Sambil antre pengecekan paspor saya mengamati penumpang yang antre di jalur Iranian yang berarti mereka itu warga negara Iran.  Pakaian mereka biasa saja, tidak seperti yang saya bayangkan.  Yang laki-laki pakai celana, kaos atau baju, jas atau jaket.  Yang perempuan memakai kerudung yang diubetkan sekenanya, sehingga sebagian rambutnya kelihatan.  Saat pesawat landing saya melihat, penumpang yang semula tidak berkerudung, mengambil kerudung dari tas dan mengenakan sekenanya saja.  Bahkan saat antre saya melihat seorang ibu yang ketika transit di Dubai mengenakan kaos oblong sekarang memakai jaket dengan kerudung sekenanya.  Saya hafal, karena dia mengajar 2 orang anaknya yang masih kecil-kecil dan selalu lari-lari.  Simpulan saya cara berpakaian orang Iran biasa saja, mirip orang Turki.  Cara berkerudung justru lebih “rapat atau rapi” orang Indonesia.  Di dalam bandara saya tidak bertemu dengan pria Iran yang memakai jubah dan baru ketemu ketika keluar dari bandara.

Panitia dari Islamic Azad University sangat baik.  Kami dijemput di bandara dan diminta istirahat di hotek Axis sambil sarapan pagi serta menunggu rombongan yang lain.  Karena belum sholat subuh, begitu masuk hotel saya bertanya kepada panitia dimana dapat sholat subuh. Setelah dikomunikasikan dengan front office, kami disediakan 1 kamar untuk sholat. Saya tidak tahu apakah hotel tidak punya mushola, sehingga kami diminita sholat di kamar.

Menu sarapan juga sama dengan hotel ditempat lain.  Ada roti, ada salat, ada buah, ada smacam bubur, ada craker dengan susu dan sebagainya.  Yang saya kaget ada daging tipis-tipis dan disebelahnya ada tulisan HAM. Saya tidak berani bertanya apakah itu dagung babi atau daging sapi.  Juga tidak tampak makanan gaya Arab, seperti nasi birani dan daging yang dimasak khas itu.  Apakah makanan Iran memang tidak seperti makanan Arab, saya tidak berani bertanya.  Namun dengan melihat cara berpakaian, cara berkomunikasi dan makanan, saya menduga memang budaya Iran tidak sama dengan budya Arab.

Sekitar pukul 7 waktu setempat kami berangkat ke Isafahan dengan naik bis yang disediakan oleh panitia.  Bisnya cukup bagus, dengan 3 kursi dalam satu baris.  Satu kursi di bagian kiri dan 2 kursi dibagian kanan.  Kursi juga dapat dicondongkan ke belakang dan punya sandaran kaki.  Pokoknya bus ekskutif, walaupun tidak baru kondisinya.  Ada 2 orang panitia yang ikut di bus. Keduanya masih muda dan mungkin mahasiswa.  Satu laki-laki mengenakan jas tanpa dasi seperti gaya orang Iran.  Satu wanita mengenakan celama jin, baju hitam berbunga-bunga dengan kerudung yang separug rambut bagian depan kelihatan.  Keduanya tampan dan cantik.

Sepanjang perjalanan saya dibuat heran.  Kiri-kana jalan raya berupa tanah kosong mirip padang pasir.  Sangat jarang ada tumbuhan.  Sedikit keluar kota kiri kanan jalan berupa gurung pasir yang menampaknya tanda kalau hujan tidak banyak.  Memang kadang-kadang ada petak tanah yang ada tumbuhan, mirip padi tetapi sangat sedikit dan saya melihat ada pipa di sekitarnya.  Mungkin itu selang/pipa untuk menyiram tumbuhan tadi.  Memang ada lokasi yang ditanami cemara setinggi kira-kira 3 meter dan tampaknya untuk daerah wisata.  Buktinya banyak orang yang duduk-duduk di bawah pohon cemara itu dan ada yang menggelar semacam tikar untuk duduk.

Melihta kondisi itu saya jadi teringat tanah air yang selalu tampak hijau penuh dengan tumbuhan. Rasa syukur segera muncul, karena dengan karunia hujan dan tanah yang subur itu perjuangan hidup tidak harus sekeras orang Iran.  Ketika itu saya sampaikan kepadi rekan dari Medan, beliau nyeletuk, namun dengan kondisi itu orang kita jadi pemalas dan tidak punya jiwa kerja keras.  Betul juga ya.  Pertanyaannya, bagaimana menumbuhkan semangat kerja keras agar kita mampu mengiola sumberdaya alam yang melimpah di tanah air.  Mungkin tugas penting kita semua.  Kondiri keterpaksaan semu mungkin perlu diciptakan untuk mnumbuhkan daya juang tersebut.

Tidak ada komentar: