Senin, 18 Mei 2015

PENDIDIKAN HARUS BERANGKAT DARI PRINSIP SALING PERCAYA



Suatu saat saya ditanya siapa yang seharusnya memutuskan kurikulum mana yang digunakan di suatu sekolah.  Saat itu memang sedang ada indikasi “pembangkangan” sekolah-sekolah di Propinsi Jawa Timur terhadap kebijakan Mendikbud.  Mendikbud memutuskan sekolah yang baru satu semeser melaksanakan K-13 agar kembali ke K-2004 (atau K-2006), sedangkan yang sudah melaksanakan selama 3 sementer, diminta melanjutkan K-13.  Saya tidak tahu bagaimana prosesnya, tetapi koran memuat berita kalau Diknas Propinsi Jawa Timur bersama-sama Diknas Kabupaten/Kota se Jawa Timur memutuskan kalau sekolah di Jawa Timur akan melanjutkan K-13.

Setelah itu ada berita kalau Mendikbud menyilahkan sekolah yang baru melaksanakan K-13 selama 1 semester dan ingin melanjutkannya, agar mengajukan permohonan kepada Kemdikbud.  Nanti Kemdikbud akan memverifikasi apakah memang sekolah tersebut siap melaksanakan K-13.  Saya tidak tahu apakah ada sekolah yang mengajukan atau tidak.  Jika ada apakah ada verfikasi yang sungguh-sungguh atau tidak.  Yang saya baca di koran, semua sekolah di Jawa Timur yang baru melaksanakan K-13 selama 1 semester kembali ke K-2004.

Nah, beberapa waktu setelah itu saya bertemu dengan mantan Kepala SMA Swasta yang sangat terkenal di Jawa Timur yang sekarang menjadi pengurus yayasannya. Bersama beliau ada rombogan dan dua diantaranya “bule”.   Nah”bule” yang pandai bahasa Indonesia itu bertanya di Indonesia, siapa yang menentukan kurikulum mana yang harus diterapkan di sebuah sekolah.  Yang bersangkutan melanjutkan pertanyaan, apakah betul Menteri yang menentukan?

Ternyata tidak mudah menjawab pertanyaan itu.  Secara substansial sebenarnya perbedaan K-13 dengan kurikulum sebelumnya tidak terlalu banyak.  Saya sering mengatakan bahwa K-13 itu pada pasarnya pelurusan dan penguatan kurikulum sebelumnya.  Pelurusan itu tampak dari penekanan K-13 kepada sikap yang dimuat dalam kompetensi ini (KI), KI-1 terkait dengan sikap spiritual dan KI-2 terkait dengan sikap sosial.  Saya sebut pelurusan, karena pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan bahwa tujuan pendidikan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.  Bukankah dari delapan aspek tersebut, lima diantaranya merupakan sikap spiritual dan sikap sosial.
Saya sebut penguatan, karena K-13 mengamanatkan agar pembelajaran di SD menggunakan tematik dan proses pembelajaran untuk semua jenjang mengggunakan pendekatan ilmiah.  Pada K-2006 pemerintah sudah mengintroduksi pola tematik pada SD Kelas 1 sampai Kelas 3. Jadi kalau pada K-13 dilanjutkan sampau Kelas 6 tentu sudah didasarkan atas evaluasi implementasi yang di Kelas 1 s.d 3.  Saya termasuk yang mendukung pola tematik di jenjang SD, karena berdasar pengalaman ikut merintis SAIMS (Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya) yang sejak berdiri (tahun 2000) menerapkan pola tematik, ternyata pola itu sangat bagus.
Pendekatan ilmiah yang dikenal dengan 5 M (mengamati- menalar-mempertanyakan- mencoba-mengkomuniasikan) sebenarnya hanyalah istilah baru dari Pendekatan Keterampilan Proses (PKP) yang sudah diamanatkan sejak Kurikulum 1975.  PKP yang isinya (observasi – klasifikasi – inferensi – prediksi – mempertanyakan - merumuskan hipotesis-melaksa-nakan percobaan - menggunakan alat - menerapkan konsep - berkomunikasi).  Kalau kita bandingkan pendekatan ilmiah dan PKP identik.  Jadi penerapan pendekatan ilmiah pada K-13 sebenarya hanya penguatan dari PKP yang telah diamanatkan ole kurikulum sebelumnya sejak 1975.
Nah, jika secara substansi K-13 tidak berbeda dengan K-2006 mengapa ada keharusan menerapkan K-2013 bagi sekolah tertentu dan K-2006 bagi sekolah yang lain?  Itulah yang justru saya pikirkan.  Kalau toh memang K-13 disebut sebagai penyempurnaan K-2006, bukankah sekolah, khususnya para guru yang lebih dapat merasakan.  Jika untuk melaksanakan K-13 diperlukan kemampuan atau persyaratan tertentu, bukankah sekolah dan pada guru yang lebih mengetahui kesiapan itu.
Tampaknya Kemdikbud belum dapat mempercayai sekolah dan guru untuk menentukan kurikulum mana yang paling baik atau paling siap dilaksanakan.  Oleh karena itu Kemdikbudlah yang menentukan.
Saya jadi teringat tulisan Ibtisan Abu-Duhou (1999) yang mengatakan peningakatan hasil belajar siswa banyak ditentukan oleh inovasi pembelajaran yang dilakukan guru.  Dan guru baru dapat melakukan inovasi jika diberi kepercayaan oleh atasanya.  Bukankah pengakuan guru sebagai profesi mengandung arti guru memiliki kemandirian bagaimana melaksanakan tugasnya dalam mengelola pembelajaran.
Bukankah dalam pendidikan harus ditumbuhkan mempercayai siswa, karena dengan diberi kepercayaan siswa akan bekerja dengan penuh percaya diri, mengembangkan kreativitas dan pada ujungnya menumbuhkan kedewasaan dalam mengambil keputusan.  Tampaknya kita harus segera menumbuhkan saling percaya antara pemerintah (pusat-propinsi-kab/kota) dengan sekolah, antara kepada sekolah dengan guru, dan antara guru dengan murid.  Tanpa adanya saling percaya yang terjadi adalah mengerdilkan sekolah menjadi “lembaga tukang”, artinya sekolah/guru hanya sekedar mengerjakan sesuatu yang ditentukan bahkan dituntut dari atas.  Dan jika itu terus terjadi, dapat difahami jika proses pedidikan tidak berjalan secara kreatif.

Tidak ada komentar: