Rabu, 20 Mei 2015

YANG SULIT BUKAN MEMULAI TETAPI MENGAKHIRI



Pagi tanggal 20 Mei 2015 saya menonton wawancara Pak Hatta Radjasa, mantan Ketua Umum PAN dan mantan Sekneg, di TV Kompas.  Saya tidak dapat menonton secara utuh, karena harus mandi dan lain-lainnya.  Bagian yang paling menarik adalah saat Pak Hatta ditanya apa kiatnya dapat menjalani aktivitas sebagai politisi dan birokrat yang panjang tanpa masalah yang berarti.  Jawabannya sungguh menarik, filosofis dan penuh makna: “sebagai politisi dan birokrat itu yang sulit bukan memulai tetapi mengakhiri dengan hati damai”.

Mendengar itu, saya teringat pertanyaan para mahasiswa S3 Prodi Manajemen Pendidikan di Unesa, bagaimana caranya agar tidak post power sindrom saat lengser dari jabatan.  Memang sebagian besar mahasiswa S2 Prodi MP adalah pejabat, misalnya kepala dinas, kepala sekolah, rektor PTS dan pembantu direktur politeknik dan sebagainya.  Saya juga pernah mengatakan dengan kelakar, seharusnya setelah besuk lulus S3 mereka promosi karena kemampuannya naik, yang kepala sekolah menjadi kepala dinas, yang kepala dinas menjadi sekda, yang pembantu direktur menjadi direktur.  Namun juga saya ingatkan jabatan itu tidak pernah kekal, sehingga pada saatnya harus mengakhiri.

Moga-moga banyak pejabat, termasuk mahasiswa S3 Prodi MP Unesa, melihat wawancara Pak Hatta sehingga dapat belajar bagaimana dapat mengakhiri jabatannya.  Saya menangkap uraian Pak Hatta sangat baik dan perlu dijadikan panduan bagi mereka.  Ibarat orang naik bis, tentu tidak perlu semua menjadi sopir. Yang lebih penting bukan siapa yang menjadi sopir adalah bis sampai pada tujuan dengan selamat.  Oleh karena itu, baik sopir maupun penumpang harus memerankan diri sesuai dengan posisinya.  Yang menyopir harus konsentrasi mengemudikan bis, sedangkan yang menjadi penumpang harus tenang dan tidak mengrecoki sopir.

Mungkin filosofi pendidikan dari Ki Hajar Dewantara “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” tampaknya cocok juga sebagai pegangan.  Artinya orang harus menyesuaikan dengan posisinya, ketika di depan (mungkin sebagai pemimpin) haruslah menjadi teladan, ketika ditengah-tengah (sebagai anggota/masyarakat biasa) harus mampu menumbuhkan kemauan, dan jika di belakang (sebagai senior yang sudah selesai menjadi pimpinan) harus mampu mendorong dan memotivasi orang lain.   Berarti setelah lengser dari jabatannya, pemimpin harus menempatkan diri pendamping dan pemotivasi yuniornya yang sedang memimpin maupun yang sebagai anggota/masyarakat biasa.

Jabatan apapun pada saatnya akan kita estafetkan pada pengganti.  Bukan karena adanya aturan yang membatasi masa jabatan, seperti presiden selama 5 tahun dan maksimal 2 kali masa jabatan, tetapi juga karena kondisi kita yang semakin tua.  Direktur perusahaan sendiripun pada saatnya harus mengestafetkan kepada orang lain, karena ketika usia semaki tua tentu kita kita lagi cocok memegang jabatan itu.

Ketika seseorang tidak lagi memegang jabatan tentu tidak akan mendapatkan fasilitas dan “penghormatan” seperti ketika masih menjabat.  Inilah yang konon berat untuk diterima mantan pejabat.  Ketika masih menjadi pejabat, setiap datang akan dijemput oleh satpam, pintu mobil dibukakan, tas dibawakan dan seterusnya.  Ketika sudah lengser, saat datang tidak lagi dilayani lagi.  Bahkan sangat mungkin staf yang baru tidak mengenal dan tidak menyapanya.  Inilah yang harus diterima secara ikhlas karena memang harus begitu secara alamiah dan kitapun pernah melakukan kepada pejabat yang lebih senior.

Bagaimana menyiapkan perasaan itu?  Mungkin inilah yang tidak terungkap dalam wawancara Pak Hatta.   Namun rasanya dapat dipikirkan bagaimana menyiasatinya.  Salah satu cara adalah menyadari dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari bahwa jabatan itu terkait dengan tugas/pekerjaan, sementara sebagai manusia kita sama dengan yang lainnya.  Oleh karena itu sedapat mungkin, walaupun sedang menjabat tetap berinteraksi dengan staf dan teman di luar jabatan/pekerjaan.  Di kampung kita dapat berinteraksi dengan tetangga sebagai sesama warga kampung.  Di kantor kita dapat ikut olahraga sebagai sesama warga kantor, perlu makan bersama-sama dengan warga kantor tanpa membawa jabatan, dan sebagainya.  Dengan begitu selama menjabat, kita memiliki kesempatan membiasakan diri berinteraksi dengan teman sebagai manusia biasa.

Memang budaya Indonesia (atau mungkin Jawa) penghargaan atau penghormatan kepada pejabat agak berlebihan.  Ketika makan bersama, pejabat seringkali dilayani.  Demikian pula ketika ada akivitas keseharian lainnya.  Itulah yang perlu disiasati oleh pejabat itu sendiri.  Misalnya saat makan jangan mau dilayani dan mencari duduk membahur dengan staf biasa lainnya.  Saat olahraga maupun kegiatan lainnya juga membaur dengan staf lainnya.  Dengan begitu setelah lengser, kita dapat mengakhiri dengan hati damai karena toh dalam keseharian kita juga sering bergaul dengan teman sebagai manusia biasa.

Tidak ada komentar: