Senin, 09 November 2015

EMAS TIDAK SELALU 24 KARAT



Ketika membelikan anting-anting cucu, saya mendapat penjelasan tentang emas dari penjual di tokonya.  Ternyata ada emas 24 karat, 22 karat dan bahkan sampai 18 karat.  Konon emas 24 karat itu artinya emas murni, sedangkan jika besaran karatnya menurut berarti emas tersebut dicampur dengan logam lain (seingat saya tembaga).  Semakin kecil besaran karat berart semakin kecil prosentase emas dan semakin besar prosentase campurannya.

Jadi perhiasan emas yang kita beli atau dipakai oleh orang itu tida selalu 24 karat dan walaupun demikian tetap kita menyebutnya perhiasan emas.  Kondisi itu rasanya cocok sebagai analogi pejuang.  Jika pejuang dimaknai sebagai orang rela berkorban dengan membela negara, membela kepentingan publik tanpa pamrih, maka perkataan tanpa pamrih itu ibarat karat dalam emas.  Ada pejuang yang betul-betul 100% tanpa pamrih, ada yang dimuati pamrih 10%, 20% dan seterusnya.  Tentu jika muatan pamrihnya demikian besar, yang bersangkutan tidak lagi cocok disebut pejuang.  Seperti emas, jika karatnya demikan kecil yang artinya campurannya demikian banyak, maka tidak pantas lagi disebut emas.

Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai “excuse”, tetapi ingin mengajak kita semua untuk “turun ke bumi” memahami realita kehidupan yang seringkali tidak sama dengan dunia angan-angan.  Kita semua ini manusia biasa, yang pada umumnya memiliki kebutuhan, karier, keluarga dan seterusnya.  Dengan demikian secara kelaziman tentu memiliki naluri untuk memenuhi kebutuhan duniawi tersebut.   Tengok saja teori kebutuhan dari Maslow, kita akan menemukan berbagai jenis dan tingkatan kebutuhan itu.

Memang ada orang yang mampu melepaskan diri dari kebutuhan duniawi, yang betul-betul 100% ingin mengabdi untuk kepentingan masyarakat, kepentingan negara, agama dan sebagainya.  Tetapi saya duga jumlahnya tidak banyak. Bahkan seorang kawan pernah berkelakar, jangan-jangan dia berbuat seperti itu biar dipuji, biar dianggap sebagai pahlawan, atau bahkan biar masuk sorga.  Apakah motivasi seperti itu mengurangi kadar ketulusan, sehingga ibarat eman tidak lagi 24 karat?  Jujur saya tidak tahu dan merasa tidak memiliki kapasitas untuk menjawab.

Nah, kalau kita dapat menerima pemikiran bahwa emas tidak harus atau tidak selalu 24 karat, maka mungkin terlalu berlebihan jika kita menuntut semua pejuang 100% tidak punya muatan kepentingan dalam berbuat sesuatu.  Katakanlah jika ada guru yang rela mengajar di desa terpencil, mungkin saja ada muatan karena yang bersangkutan PNS atau yang bersangkutan sulit mendapatkan pekerjaan lain dan sebagainya.  Katakanlah ada pengusaha yang memberi beasiswa kepada anak-anak di sekitar pabriknya, mungkin saja ada motivasi agar pabriknya dijaga oleh masyarakat sekitar.  Katakanlah, ada dokter yang menggratiskan pasien kurang mampu atau bahkan rela bertugas di daerah terpencil yang tidak mendatang keuntungan finansial, mungkin saja ada muatan ingin terkenal.  Dan sebagainya.

Saya berpendapat mereka itu tetap dapat disebut pejuang, walaupun mungkin bukan pejuang yang 24 karat.  Dengan begitu lahan berjuang menjadi semakin terbuka untuk siapa saja, kapan saja, dimana saja dan apapun pekerjaan atau profesinya.  Walaupun kita tidak dapat 100% melepaskan kepetingan diri, karena kita juga harus punya karier, harus menghidupi keluarga, harus menjaga kesehatan dan sebagainya.  Yang penting, niat untuk membantu masyarakat banyak, membantu bangsa dan negara kita tanamkan sekuat-kuatnya.  Yang penting kita berusaha meningkatkan kadar karatnya.  Mari kita mulai dan yang kecil, yang berada di hadapan kita dan kita mulai sekarang juga.  Dirgahayu Hari Pahlawan.

Tidak ada komentar: