Minggu, 29 November 2015

PERKULIAHAN BILINGUAL DI PTN



Pagi tanggal 29 Nopember 2015 Radio Suara Surabaya (SS) menyiarkan berita kalau Menteri Ristek dan Dikti meminta PTN, mulai tahun depan menerapkan perkuliahan dalam dua bahasa atau yang biasa disebut bilingual.  Tidak disebutkan kapan dan dimana Pak Menteri menyampaikan itu.  Mungkin saja di Unair atau di Unesa, karena Sabtu tanggal 28 Nepember 2015  beliau memang di Surabaya dan kalau tidak keliru mengunjungi Unair dan Unesa.

Tanggapan terhadap berita itu bermunculan, baik di Radio SS atau dalam obrolan teman-teman.  Seperti biasanya pro dan kontra terjadi, dengan alasan masing-masing.  Mendengar itu saya langsung teringat saat memberi kuliah Kamis lalu, mahasiswa S2 saya sedang mendiskusikan masalah sulitnya anak-anak S1 memenuhi skor TOEFL.  Seperti diketahui setiap PTN dan beberapa PTS sekarang menerapkan aturan skor TOEFL minimal yang harus dicapai mahasiswa sebelum dinyatakan lulus. Konon banyak mahasiswa terhambat lulus karena itu. Semua matakuliah sudah lulus, skripsi sudah lulus tetapi skor TOEFL belum mencapai batas minimal yang dipersyaratkan.

Nah dalam diskusi dengan topik Analisis Kebijakan Pendidikan itu, sekeompok mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan mengangkat masalah tersebut.  Mereka mencoba menelaah urgensi kebijakan tersebut, masalah yang timbul dan alternatif pemecahannya.  Seperti biasanya diskusi berjalan seru, karena masing-masing mahasiswa punya pandangan berbeda.  Pengalaman dan bahan bacaan tampaknya sangat mempengaruhi pandangan mereka.

Saya juga teringat, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang dikembangkan Kemdikbud, salah satu alasannya adalah ketidaksetujuan MK adalah RSBI menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pembelajaran.  Nah, sekarang Pak Menteri Ristek Dikti ingin menerapkan itu pada jenjang perguruan tinggi tentu ada alasan yang kuat.

Betulkan bahasa Inggris itu penting?  Dan apakah belajar bahasa Inggris itu mendesak?  Dua pertanyaan itu perlu didiskusinya.  Secara pribadi saya berpendapat belajar bahasa inggris, sebagai bahasa internasional itu sangat penting.  Ketika era global telah datang dan interkasi dalam bekerja maupun kehidupan sehari-hari mengglobal, maka kita akan dituntut untuk mampu berkomunikasi dengan bangsa lain.  Dan bahasa yang paling lazim digunakan adalah bahasa Inggris.

Dengan mampu berbahasa Inggris kita juga akan lebih percaya diri dan mampu mengekpresikan pikiran kita dalam forum-forum internasional.  Walaupun kita pandai dan punya pemikiran yang cemerlang, tetapi kalau tidak dapat menyampaikan dengan baik, tentu orang lain tidak lahu dan akhirnya pemikiran yang bagus itu tidak bermanfaat bagi orang banyak.

Ketika memberi kuliah kepada mahasiswa S2 dan lebih khusus S3, selalu saya sampaikan kalau bahasa Inggris itu mutlak.  Bayangkan kalau kita sudah lulus S3 dan menjadi doktor, kemudian bertemu dengan doktor lain dari luar negeri yang bidangnya sama, kemudian kita tidak dapat berdiskusi tentu tidak nyaman.  Dari pengalaman, biasanya dalam konteks seperti itu orang akan minggir dan tidak ingin malu.  Pada hal dari pergaulan semacam itulah, kita akan berkembang.

Apakah dengan sekolah atau kuliah dengan pengantar bahasa Inggris akan mengikis rasa nasionalisme kita?  Saya tidak yakin itu.  Rasanya juga belum ada penelitian tentang itu.  Pak Habibie, Gus Dur dan banyak tokoh lain bahkan kuliah mulai S1 di luar negeri dan tentu tidak menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia.  Pondok Modern seperti Pondok Gontor juga mewajibkan santrinya mampu berbahasa Inggris dan Arab.  Setahu saya banyak anak-anak pejabat kita yang berkuliah dan bahwa sejak SMA di luar negeri.  Setahu saya Azrul Ananda putra Pak Dahlan Iskan sejak SMA juga di Amerika.

Ketika MK membatalkan pasal di UU Sisdiknas sehingga RSBI berhenti, saya termasuk menyesalkan.  Buktinya saat ini banyak sekolah swasta yang tetap melaksanakan pola RSBI dengan berbaha nama.  Sekolah seperti itu juga tetap menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.  Hanya saja, karena sekolah swasta dan biasanya mahal yang dapat masuk adalah anak-anak dari keluarga kaya.  Tentu tidak hanya anak keluarga kaya yang harus mampu berbahasa Inggris.

Mudah-mudahan dengan gagasan Pak Menteri Ristek dan Dikti itu, anak-anak muda cemerlang yang mendapat beasiswa Bidik Misi dan berkuliah di PTN segera dapat mengejar kemampuan berbahasa Inggris, sehingga pada saatnya mampu setara dengan teman-temannya dari keluarga kaya dan dulu bersekolah di sekolah-sekolah swasta dengan pengantar bahasa Inggris.

Apakah penerapan perkuliahan bilingual itu mendesak untuk segera diterapkan?  Menurut saya, ya dan bahkan sudah terlambat.  Coba kita lihat formulir saat kita menabung di bank.  Hampir pasti menggunakan dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Coba kita lihat iklan lowongan pekerjaan.  Sebagian besar menyaratkan bahasa Inggris.  Artinya saat ini saja, bahasa Inggris telah menjadi kebutuhan untuk bekerja dan berinterkasi sosial kemasyarakatan.  Jadi mestinya penerapakan perkuliahan bilingual itu sudah diterapkan sepuluh tahun lalu.

Ada pertanyaan, apa tidak terlalu tergesa-gesa, sementara dosen dan mahasiswa belum siap.  Kalau itu mungkin saja, tetapi harus dimulai segera dan segala keperluan untuk mendukung harus segera pula dikuatkan.  Kalau di Unesa, dosen-dosen muda katakanlah di bawah 35 tahun pada umumnya sudah lumayan bahasa Inggrisnya.  Jika mereka itu diberi pelatihan khusus saya yakin akan segera dapat memulai perkuliahan bilingual.  Yang pokok berani memuluai dengan kerja keras dan konsisten demi masa depan anak-anak kita.  Semoga.

Tidak ada komentar: