Rabu, 04 Mei 2016

IMPIAN PETANI KAMPUNG: Renungan di Hari Pendidikan Nasional



Dihimpit kehidupan yang serba sulit seorang petani kecil sepertinya setengah putus asa.  Kala itu kehidupan petani memang sangat sulit, apalagi petani kecil dengan luasan sawah yang sangat terbatas.  Hama tikus yang merusak tanaman padi seakan memutus asanya.  Tempat tinggalnya yang jauh di pelosok desa juga membuat dia sulit untuk mencari alternatif pekerjaan untuk mencari tambahan nafkar bagi keluarganya.  Dengan pendidikan Ongko Loro, sekolah desa jaman Belanda yang hanya dua tahun, tentulah pengetahuannya juga sangat terbatas, sehingga satu-satunya pekerjaan yang difahami hanyalah bertani, menanam ini dan itu di sawah dan tegalannya yang serba sedikit itu.

Ketika musim kemarau datang, irigasi dibuat bergilir.  Setiap desa mendapatkan jatah aliran air satu hari dalam seminggu.  Saluran tersier yang ada di dekat tegalan petani itu mendapat aliran dua kali dalam satu minggu, karena merupakan saluran tersier untuk dua desa.  Memanfaatkan sisa air yang ada di kedungan kecil dekat tegalannya petani kecil itu mencoba menanam cabe, dengan harapan dapat menjual ketika sudah berbuah.  Menggunakan ebor, yaitu semacam timba dari anyaman tapas kelapa yang diberi tangkai batang bambu, air di kedungan itu digunakan untuk menyirami tanaman cabe yang hanya sekitar 120 batang.

Peng-ebor-an dilakukan setiap sore.  Suatu saat anak laki-lakinya yang masih duduk di kelas 4 SD diajak untuk membantu mengebori sambil menyiangi tanaman cabe yang mulai berbunga.  Sepertinya petani itu melihat anaknya kecapaian, sehingga mengajaknya duduk berteduh di bawah pohon trembesi.  Sambil menepuk pundak anaknya, tercucap kalimat “Mbesuk kowe sekolaho sing duwur ben uripmu gak susah ngene iki” (Besuk kami sekolah yang tinggi agar hidupmu tidak susah seperti ini).  Tidak jelas apa masuknya, apalagi anaknya masih duduk di kelas 4 SD yang tentu tidak faham dengan kalimat itu.

Keinginan petani itu untuk anak-anaknya tampaknya sangat kuat.  Setelah itu beberapa kali nasehat atau harapan itu diucapkan.  Tidak hanya diucapkan, tetapi juga diupayakan dengan segala cara.  Sewaktu anak-anaknya masih di SD dan ekonomi keluarga sangat terbatas, yang dapat dilakukan hanyalah membantu anaknya ketika belajar sore hari.  Tidak punya meja belajar dan tidak punya lampu petromaks, apalagi listrik.  Namun setiap sore, sehabis isya petani itu menata dampar, meja kecil dan pendek yang biasa untuk mengaji, dan menyalakan sentir untuk anak-anaknya belajar.  Menyadari tidak dapat membantu mengajari, ketika anak-anaknya belajar, dia duduk agak jauh sambil merokok atau memintal tali atau mengerjakan pekerjaan lainnya.  Setelah anak-anaknya selesai belajar, dampar dipinggirkan dan sentir dimatikan.  Itulah rutinitas petani itu membantu belajar anak-anaknya.  Hanya itu, karena memang hanya itu yang dapat dilakukan.

Ketika anaknya kelas 6 SD dan petani itu ingin sekali anaknya melanjutkan ke SMP, yang dilakukan adalah mengajak anaknya sowan ke kerabat yang menjadi guru SMP.  Karena kerabat itu tinggal di kota dan mengajarkan di kota lain, dia sowan pas liburan sekolah.  Anaknya diminta membawa tanda lulus SD kemudian dibonceng sepeda ke kota untuk sowan. Kerabat itu sangat baik, bahkan tampak sekali memperlakukan petani kampung itu sebagai saudara. “Kang, putrane ini bijine sae dilebeke SMP 1 mesti ketampi”. (Mas, nilai anak ini baik didaftarkan ke SMP 1 pasti diterima).  Memang betul akhirnya anak laki-lakinya itu diterima di SMP 1 yang letaknya di kota.

Tampaknya petani itu risau ketika anaknya harus naik sepeda karena jarak rumahnya ke kota sekitar 8 km.  Apalagi rumahnya terletak sekitar 2 km dari jalan besar, melalui jalan desa yang berlumpur waktu musin penghujan. Dengan berbagai cari petani itu membuat jalur sepeda dengan urugan gragal dan pasir sungai sepanjang jalan desa, sehingga dapat dilewati sepeda anaknya sewaktu musim hujan.   Tidak cukup itu, menjelang mulai masuk sekolah, anaknya dibonceng sepeda ke kota dan setiap ada tukang reparasi/tambal ban sepeda, petani itu mampir dan pesan kepada tukang reparasi “Kang ini anak kulo, nek sak wanci-wanci sepedae gembos sampeyan tembel nggih” (Mas, ini anak saya kalau sewaktu-waktu sepedanya bocor tolong ditambal ya).

Sampai tamat SMP tampaknya tidak ada persoalan berarti dan anak-anaknya mulai mengerti apa arti nasehat bapaknya.  Masalah muncul ketika anak laki-lakinya tamat SMP dengan nilai baik.  Kembali petani itu berkeingan keras agar anaknya melanjutkan.  Namun dia juga menyadari kemampuan ekonominya sangat pas-pasan. “Piye le, bapak pengin kowe neruske sekolah nanging sing iso ndang golek gaweyan yo”. (Gimana nak, bapak ingin kamu melanjutkan sekolah tetapi yang nanti segera dapat pekerjaan ya).  Anak laki-lakinya tampak menyadari keadaan keluarganya, sehingga tanpa banyak bertanya mendaftarlah ke STM.  Dalam pikirannya, STM masuk siang sehingga pagi hari masih dapat membantu bapak ke sawah atau membantu ibunya berjualan ini dan itu.

Tiga tahun berlalu keadaan ekonomi petani itu sedikit membaik, karena dapat sambilan membuat sandal dari ban mobil.  Anak laki-lakinya yang bertugas mengantar sandal buatannya ke pedagang sandal, sekaligus membeli ban bekas di kota.  Sekolah anaknya juga berjalan lancar.  Persoalan baru muncul, ketika anaknya tamat STM.  Seperti pesan bapaknya dulu, si anak ingin segera bekerja, namun petani itu justru berubah pendapat dan ingin anaknya kuliah.

Karena keduanya tidak punya gambaran, bagaimana kuliah dan bagaimana membayarnya, maka kembali petani mencoba mencari kerabat yang dapat dimintai nasehat.  Berangkatkah bapak-anak itu ke kota besar menemui kerabatnya.  Keberuntunga kembali berpihak kepada mereka.  Kerabat yang disowani tidak hanya memberi nasehat yang menyejukan tetapi mau menampung anaknya untuk kuliah dan sambil mencari pekerjaan.

Jadilah anak petani ini nderek kerabat yang sungguh sangat baik, kuliah sambil bekerja.  Saking baiknya kerabat itu, sampai dewasa anak petani itu tidak dapat lupa bantuan yang diterima.  “Tanpa bantuan Pak Lik-Bu Lik saya akan tetap jadi petani di kampung”. Itu ungkapan yang sering terucap. 

Ketika kuliah sambil bekerja dan akhirnya “menjadi orang” yang terpikir oleh anak kampung itu “betapa besar pengorbanan bapakku dan keluargaku sehingga saya seperti ini”.  “Walaupun bapak-ibuku orang kampung dengan pendidikan sangat rendah ternyata justru beliaulah pahlawan pendidikan yang sebenarnya”.


Tidak ada komentar: