Sabtu, 21 Mei 2016

RENUNGAN KETIMPANGAN ALA BIMBO



Pagi-pagi 22 Mei 2016 seperti biasanya saya membuka email. Salah satunya yang di Yahoo.  Sebelum masuk ke email, mau-mau tidak mau kita harus membaca berita di webb Yahoo.  Pagi itu ada berita dengan judul “Kisah Sam Bimbo soal Pemilik Ferari Dikawal untuk Merokok” yang tentu menarik untuk dibaca.  Tentu saya tertarik untuk membacanya.  Berikut ini saya kutipkan potongan berita itu.
“Suatu waktu saya berada di sebuat hotel di Jakarta. Di lobi hotel, ada mobil Ferrari parkir, di depannya ada motor patroli pengawal (patwal)," kata Sam Bimbo memulai ceritanya. Melihat mobil super mewah itu, Sam penasaran. Ia lalu bertanya kepada petugas keamanan hotel siapa pemilik Ferrari itu. "Sekuriti mengatakan itu milik bos hotel," ujarnya. "Saya tanya lagi, untuk apa bos Anda ke hotel? Sekuriti bilang bosnya ke hotel hanya untuk merokok.  Rokoknya cerutu, harganya satu juta per batang. Minumnya wine, harga sepuluh juta per botol. Ya, Allah, hanya untuk merokok pemilik mobil Ferrari dikawal polisi," kata Sam. 
Di tempat lain, vokalis Trio Bimbo itu melihat seorang pria mengais-ngais sampah. Si pria mendorong gerobak yang dipakai untuk menampung sampah yang dipungut. "Sampah yang terkumpul kemudian dipilih dan dijual, dapat uang hanya cukup untuk makan sehari," ujarnya.  Tanpa sepengetahuan sang istri, kata Sam, si pria terus menyusuri jalan untuk mencari sampah. Ketika lelah, gerobak itu pula menjadi rumah untuk beristirahat. "Melihat itu saya merenung, mau ke mana Indonesia?". 
Membaca itu mungkin juga dapat merenung.  Seringkali kita makan dengan hidangan yang berlebih.  Misalnya ketika ada acara di kantor atau hotel.  Sementara itu, tidak jauh dari tempat itu, sangat mungkin ada orang yang kesulitan mendapatkan makanan, walaupun hanya untuk sekali sehari.  Bahkan di kantor juga ada petugas yang harus makan seadanya karena gaji/honornya hanya sedikit.  Saya juga baru dapat info pegawai hotel tidak boleh ikut makanan yang dihidangkan kepada tamu.  Para pegawai rendahan hotel konon harus makan di kaki lima sekitar hotel, karena juga harus berhemat dari gaji yang tidak besar.  Mungkin itu kode etik hotel, namun saya bertanya betapa jauh “kelas” makanan yang mereka hidangkan kepada tamu dengan makanan yang mampu dia beli.
Mengapa hal itu dapat terjadi?  Apakah beda penghasilan masyarakat kita yang begitu timpang?  Apakah hidangan acara kantor kita yang terlalu mewah untuk orang kebanyakan?  Apakah pendapat terendah masyarakat kita terlalu kecil sehingga tidak dapat membeli makanan yang cukup baik?  Apakah fenomena seperti itu sehat secara sosial?  Apakah tidak menumbuhkan kecemburuan?  Apakah tidak menjadi benih-benih dendam? Atau fenomena seperti itu memang alami dan terjadi di semua daerah di dunia?  Atau justru menumbuhkan semangat juang untuk mencapai status seperti orang-orang lapis atas yang sering mereka lihat? Saya merasa tidak punya kompetensi untuk menjelaskan. 
Namun seingat saya dalam bidang ekonomi ada istilah gini ratio yang kalau tidak salah perbandingan penghasilan yang terbesar dan yang terkecil, atau kira-kira seperti itu. (Mohon maaf saya tidak begitu faham).  Yang pernah saya baca, gini ratio yang terlalu besar itu tidak baik.  Artinya penghasilkan yang terlalu nyomplang di masyarakat tidak baik.
Lantas bagaimana jika kita ingin mengurangi kesenjangan itu?  Siapa yang harus melakukan?  Saya teringat diskusi di awal munculnya Bidik Misi.  Waktu itu ada pikiran bagaimana mengangkat kelompok masyarakat bawah secara elegan dan sustain.  Bantuan Tunai Langsung (BTL) mungkin membantu untuk mengatasi kesulitan ekonomi tetapi sifatnya sementara.  Muncul pikiran, kalau salah satu anak keluarga miskin itu memperoleh pendidikan sampai S1 dengan kualitas baik, pada saatnya yang bersangkutan akan menarik adik-adiknya, keponakannya atau kerabat yang lain.  Pak Nuh yang waktu itu menjadi Mendikbud sering berkelakar “wong sampeyan yo nate miskin ngono”.  Maksudnya kita diminta mengingat, dahulu juga miskin.  Kita menjadi seperti sekarang ini karena sempat kuliah S1.
Berangkat dari pemikiran itulah, dirancang bagaimana membantu agar anak-anak keluarga kurang mampu dapat kuliah dan menyelesaikan S1.  Membebaskan SPP saja tida cukup, sehingga harus diberikan biaya untuk hidup.  Jadilah perhitungan beasiswa 12 juta/thn, dengan rincian SPP selama dua semester sebesar 4,8  juta dan biaya hidup 600 ribu/bulan atau 7,2 juta/tahun.  Jika diasumsikan mereka dapat lulus selama 4 tahun, berarti diperlukan beasiswa 48 juta/per orang untuk meng-S1-kan anak dari keluarga miskin.
Apakah sada cara lain?   Semoga muncul ide lain untuk menambah alternatif mengurangi kesenjangan penghasilan di masyarakat.

Tidak ada komentar: