Minggu, 08 Mei 2016

MENUJU FLEKSIBILITAS PENDIDIKAN: Renungan Hari Pendidikan Nasional (3)



Mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan Unesa Tahun Angkatan 2014 termasuk istimewa.  Banyak diantara mereka pejabat yang sudah mapan.  Ada dua orang letnan kolonel yang konon kariernya sedang menanjak, ada empat orang pimpinan puncak PTS, bahkan konon yang dua orang sebagai “pemiliknya”, ada seorang pemangku pondok, ada seorang pejabat ke Diknas Pendidikan Surabaya, dan ada beberapa kepala sekolah.

Saya merasa beruntung memberi kuliah kelas itu dan menerapkan pola perkuliahan semacam case study. Mereka saya ajak membedah kasus-kasus yang ada dalam jurnal atau buku untuk dianalisis dan dicari alternatif pemecahannya. Tentu disesuaikan dengan bidang studi yang sedang dipelajari dan bahkan setiap mahasiswa saya minta mengaitkan dengan konteks instansi dimana mereka bekerja.

Suatu saat saya mengajukan pertanyaan kepada mereka sebagai berikut. Instansi Anda memerlukan tenaga baru untuk membangun hubungan luar negeri. Ada dua pelamar yang lolos seleksi awal.  Satu orang lulusan S1 Sastra Inggris PTN ternama, dengan skol TOEFL 550 dan satunya lagi lulusan S1 Matematika PTS dengan skor TOEFL 650. Semua kemampuan yang lain sama, Anda memilih yang mana?  Tolong berikan argumentasi mengapa Anda memilih dia.

Hampir semua mengatakan pilih yang lulusan S1 Matematika dengan skor TOEFL 650.  Argumen yang diajukan bervariasi, namun sebagian besar mengatakan skor TOEFL 650 lebih “menjamin” kemampuan berbahasa Inggris dibanding lulusan S1 Sastra Inggris.  Seorang lulusan S1 Matematika tetapi  memiliki skor TOEFL 650 menunjukkan yang bersangkutan punya semangat belajar bagus dan sangat mungkin belajar mandiri.  Oleh karena itu yang bersangkutan berpotensi untuk belajar cepat dalam melaksanakan tugas barunya.

Setelah semua mengajukan argumentasi, saya mengajukan pertanyaan berikutnya sebagai berikut. Ada tes semacam TOEFL untuk Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Ekonomi, Sejarah dan bidang lain. Perguruan tinggi Anda sedang melaksanakan program talent scouting untuk mendapatkan mahasiswa baru yang unggul.  Setiap calon diwajibkan mengikuti tes “ala TOEFL” untuk beberapa matapelajaran pokok.  Ada beberapa calon lulusan SMA Swasta tidak bermutu tetapi memiliki skor “ala TOEFL” yang sangat bagus.  Sementara beberapa lulusan SMA Unggulan sedikit dibawah mereka.  Mana yang akan Anda pilih?  Berikan argumentasinya.

Sama dengan pertanyaan pertama, hampir semua peserta memilih calon lulusan SMA kurang bermutu tetapi memiliki skor “ala TOEFL” yang tinggi dibanding lulusan SMA Unggulan tetapi skor “ala TOEFL-nya” lebih rendah.   Argumentasinya skor “ala TOEFL” itu lebih dapat dipercaya, walaupun tidak menggambarkan proses belajar.  Yang pokok kan kemampuannnya tidak penting dari mana mereka belajar.

Diskusi berlanjut, mungkinkah besuk orang dapat belajar di mana saja dengan cara apa saja, tetapi jika dapat skot baik dari TOEFL atau “ala TOEFL”, berarti diakui kemampuannya?  Apalagi kita punya Perpres Nomer 82 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang intinya mengakui kemampuan seseorang yang diperoleh melalui kursus atau pengalaman kerja dapat disetarakan dengan pendidikan formal.  Bukan tidak mungkin pada saatnya orang seperti Ki Mantep disetarakan dengan S2 atau bahkan S3 untuk mendalang.

Kalau begitu kita harus mulai berpikir fleksiblitas pendidikan kita. Pemisahan pendidikan formal, non formal dan informal yang kaku selama ini a harus dipikirkan kembali.  Kotak-kotak antara persekolahan, kursus atau bahkan dunia kerja “diberi pintu butulan” atau paling tidak “jendela” untuk saling berhubungan.  Konsep MEME (multi entry multi exit) yang pernah digagas pada tahun 1990an relevan untuk dibuka kembali.  Konsep RPL (rekognisi pembelajaran lampau/recognition prior learning) relevan untuk diketengahkan.

Tidak ada komentar: