Rabu, 25 Mei 2016

TEKNOLOGI PEMBENIHAN



Senin tanggal 23 Mei 2016 Mas Kemi, Ir Sukemi-mantan staf khusus Mendikbud era Pak Nuh, bercerita kalau benih kangkung dan bayam diproduksi oleh perusahaan Amerika Serikat.  Ungkapan itu muncul saat kami ngobrol dan sampai pada cerita petani kota yang menanam sayur sawi, bayem dan kangkung.   Kedua jenis sayuran itu sudah dapat dipanen dalam waktu 2 minggu dan hasilnya juga cukup menjanjikan. Menurut seorang petani, bertani bayam dan kangkung lebih menguntungkan dibanding padi atau jagung.

Berbeda dengan tanaman bayem dan kangkung di desa yang memanennya dengan memotong daun atau ujung batang yang muda, petani bayam dan kangkung di kota memanem tanamannya dengan cara dicabut.  Dengan demikian tidak ada sisa pangkal atau batang yang akan tumbuh lagi daun dan cabangnya seperti kangkung dan bayam di desa.  Nah  karena itu petani harus menanam kembali setelah panen.

Dari mana petani mendapat benih?  Kalau di desa bayam ditanam dengan cara mengambil tukulan yang tumbuh secara liar dari biji buah bayem yang rontok alamiah.  Kangkung ditanam dari  potongan batang kangkung yang distek.  Bahkan sayur kangkung kebayankan diambil dari kangkung liar yang tumbuh di sawah atau tegal.  Sepanjang yang saya tahu, tidak ada petani desa yang menyiapkan biji bayem dan kangkung.

Bagaimana dengan petani sayur di kota?  Menurut Mas Kemi, mereka menanam dari biji  yang dibeli dari toko penjual benih pertanian.  Lantas siapa yang memproduksi biji bayam dan kangkung tersebut?  Ternyata perusahaan dari Amerika Serikat?  Biji bayem dan kangkung ternyata diproduksi oleh perusahaan pertanian di Amerika Serikat dan orang Indonesia membelinya.  Pada hal kedua tanaman itu biasanya tumbuh liar di pedesaan dan sejak jaman dahulu telah menjadi sayuran sehari-hari di masyarakat.

Apakah juga seperti itu yang terjadi pada padi, jagung dan kedele?  Dahulu petani menyiapkan benih padi dan jagung sendiri. Benih padi dipilih dari buah padi yang bagus.  Biasanya petani memetiknya menjelang panen dan kemudian diikat dan diletakkan di atas tempat masak di dapur agar kena asap dan tidak dimakan nonor, yaitu binatang kecil yang seringkali membuah biji jagung dalamnya kopong.

Sekarang petani juga membeli benih padi, jagung dan kedele ke toko pertanian, dengan nama macam-macam.  Menurut Mas Adriono, mantan wartawan koran dan TV, jagung dan padi hasil panen dengan biji dari toko itu tidak dapat digunakan sebagai benih.  Kalau dipakai sebagai benih hasilnya jauh menurun.  Oleh karena itu petani lebih senang membeli benih dari toko pertanian dan konon selalu saja muncul jenis baru yang diberi label “lebih baik dibandung yang terdahulu”.

Cerita itu mengingatkan kita tentang sapi.  Australia tidak mau menjual indukan sapi yang masih potensial.  Yang dijual ke Indonesia adalah anakan sapi jantan (sapi kecil) dan peternak di Indonesia membesarkannya.  Sperma sapi dijual juga ke Indonesia, namun kalau kita tidak punya indukan sapi yang bagus, kita akan dapat anak sapi yang tidak maksimal.  Konon kalau ada yang berhasil mendapatkan indukan sapi dari Australia, pastilah itu indukan yang sudah tidak produktif atau indukan sapi yang tidak baik.

Kompas tanggal 25 Mei 2016 memuat berita penguasaan teknologi pertanian oleh negara lain tinggal menunggu waktu.  Menurut berita itu banyak tanaman asli Indonesia yang diteliti dengan serius di negara lain, dan kemudian ditawarkan kembali ditanam di Indonesia sebagai varietas baru yang lebih unggul.  Nah, kalau varietas baru itu kemudian tidak dapat digandakan seperti kasus padi dan jagung, besuk petani kita akan bergantung kepada benih dari negara lain.  Teknologi pembenihan tampaknya menjadi komoditas dagang.

Apakah kita belum mampu melakukan itu?  Saya tidak punya kapasitas menjawab.  Yang saya tahun ada pepaya kalifornia yang konon dikembangkan oleh IPB.  Ada edamame, kedele yang ditanam di Jember.  Konon kebun pisang ........ ada di Lampung.  Tidak tahu, benih pepaya, kedele dan pisang itu dikembangkan di Indonesia atau di negara lain dan kita hanya menjadi tempat menanamnya.

Kita sudah kenal atau paling tidak mendengar istilah ayam bangkok, jambu bangkok, durian montong dari bangkok dan mangga unggul dari bangkok.  Belakangan muncul sapi onggole, kucing persia, anjing doberman dan sebagainya.  Kenapa semua bernama “asing”? Bukankah kita punya IPB, UGM dan PT lain yang ungguk dalam bidang pertanian?  Semoga pada saatnya, kita mampu menghasilkan bibit unggul, baik untuk pertanian maupun peternakan.  Lembaga penelitian di perguruan tinggi dan Litbang lembaga lain menjadi tumpuan harapan itu. Kita do’akan.

Tidak ada komentar: