Sabtu, 07 Januari 2017

KERANGKA PIKIR KITA LEMAH?



Beberapa hari lalu, saya dengan beberapa teman yang kebetulan pengajar di beberapa perguruan tinggi terlibat dalam sebuah obrolan ringan.  Saat itu ada tamu dari Jakarta dan kami berkumpul untuk menemuinya.  Sambil menunggu tamu kami ngombrol atau lebih tepatnya saling menyampaikan keluhan tentang mahasiswa bimbingan masing-masing.  Aneh bin ajaib, walupun bidang kami berbeda-beda, ada yang dari teknologi, ada dari sosial politik, ada yang dari pendidikan, namun ujung-ujungnya sepakat kalau kerangka berpikir mahasiswa kita kurang baik.

Teman dari bidang sosial politik bercerita proposal disertasi yang diajukan oleh mahasiswa bimbingannya tidak nyambung antara pertanyaan penelitian dan teori yang digunakan.  Sesuatu yang ingin ditemukan dan tampak dari rumusan pertanyaannya “A”. Tetapi teori yang digunakan “B”. Ketika hal itu ditanyakan, jawabannya muter-muter yang menunjukkan “logika berpikirnya tidak jalan”.   Bahkan, menurut profesor ilmu politik itu, pemahaman mahasiswa terhadap masalah yang diteliti juga masih rancu.

Teman dari bidang teknologi menceritakan kasus yang mirip.  Beliau bercerita, seringkali ketika membangun model teori yang akan digunakan untuk merancang penelitian, logika mahasiswa rancu.  Menurut profesor elektro alumni Jepang itu, kerangka berpikir mahasiswa tidak tertata dengan baik. Ketika harus menyusun kausalitas mahasiswa seringkali kesulitan menemukan kaitan antara berbagai faktor yang terlibat dalam masalah yang diteliti. Akibatnya yang bersangkutan kesulitan ketika harus membangun model teoritiknya.

Teman dari bidang pendidikan mengatakan seringkali mahasiswa “blank” ketika dikejar teori apa yang digunakan untuk landasan penelitian disertasinya.  Menurut teman yang dikenal memiliki jam terbang tinggi itu, mahasiswa S3-pun tampak sekali bacaannya sangat kurang.  Nalarnya juga tampak kurang terasah, sehingga kurang peka dalam melihat data.  Ketika menemukan data yang aneh, seringkali mahasiswa tidak “aware” dan data anek itu diterima begitu saja.

Sebagai orang yang menekuni bidang pendidikan, saya mencoba menelusuri mengapa “kelemahan” itu terjadi dan itu di perguruan tinggi “besar”, yang mestinya punya mahasiswa yang relatif pilihan.  Kalau mahasiswa S3 masih seperti itu, seperti apa mahasiswa S1 kita.  Kalau fenomena seperti itu diterjadi di banyak universitas, apalagi universitas besar, rasanya ada yang salah salah pendidikan kita.  Bagaimana pola pembalajaran kita sampai mahasiswa jenjang tertinggipun masih rancu kerangka pikirnya.

Belum lagi mendapat jawaban, saya mendapat keluhan serupa dari rekan yang sekarang menjadi dosen di sebuah universitas cukup bergengsi di Amerika Serikat.  Teman tadi pernah menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta terkenal di Surabaya, sebelum melanjutkan studi S3 di Amerika dan akhirnya menetap sebagai associate professor di sana.  Beliau bercerita saat masih menjadi dosen di Surabaya, seringkali menghadapi mahasiswa yang menyodorkan laporan praktikum dengan data yang aneh.  Ketika ditanya apakah data itu sudah dicek kebenaranya dan ditelaah secara teori.  Mahasiswa menjawab sudah.  Pada hal datanya aneh, sehingga pasti ada yang tidak beres pada praktikum yang dilaksanakan.

Tampaknya ada yang kurang pas dalam pendidikan kita.  Saya jadi teringat ketika mengunjungi sebuah SD di Nagoya Jepang.  Waktu itu gurunya sedang menerapkan lesson study.  Siswa kelas 5 diberi pertanyaan kurang lebih sebagai berikut.  Jepang itu tidak punya tentara, yang dipunyai pasukan bela diri.  Itu sesuai undang-undang yang dibuat dengan tekanan Sekutu, saat Jepang kalah perang dalam Perang Dunia Kedua.  Dengan demikian Pasukan Bela Diri hanya boleh “beperang” jika Jepang diserang musuh.  Nah, akhir-akhir ini Jepang diminta NATO mengirimkan tentaranya bergabung dengan pasukan NATO di Afganistan dan pemerintah Jepang mau.  Nah siswa diminta berdiskusi dan mencari berbagai referensi untuk menjawab “keputusan Pemerintah Jepang mengirim tentara berbagung dengan NATO iti benar atau salah”.

Saat itu saya kepada supervisor lesson study (dosen Aichi University of Education Nagoya), apa jawaban yang benar.  Pemerintah Jepang benar atau salah.  Ternyata, yang dipentingkan bukan jawaban benar atau salah pemerintah Jepang, tetapi argumentasi mengapa siswa mengatakan benar atau mengatakan salah.   Yang dipentingkan nalarnya.

Saya juga jadi teringat ketika menyaksikan santri di suatu pondok berlatih berdebat.  Ketika itu saya tanyakan kepada ustad yang mendampinginya, apa pentingnya santri berlatih berdekat.  Jawabanya sungguh mengagetkan.  Santri dilatih berdebat bukan untuk sekedar berdebat, tetapi belajar menata nalar dengan menyusun argumen yang logis ketika mempertahankan pendapatnya atau mematahkan pendapat lawan berdebat.

Apakah contoh di Jepang dan pondok itu memang cocok untuk mengembangkan nalar dan kerangka berpikir?  Apakah di sekolah dan universitas kita kurang mengembangkan itu?  Mari kita melakukan instrospeksi diri.  Jangan-jangan fenomena yang kita hadapi, seperti keluhan profesor ilmu politik, profesor teknik elektro dan profesor pendidikan itu justru merupakan cermin kegagalan beliau-beliau sendiri dan juga kegagalan kita semua dalam mendidik anak, siswa dan mahasiswa kita.

Tidak ada komentar: