Rabu, 18 Januari 2017

THE POWER OF KEPEPET



Kemarin sore sekitar pukul 20 saya kedatangan tamu istimewa, yaitu Pak Bagiono Djokosumbogo, Mbak Evi-putrinya yang bekerja sebagai International Collaboration Office Universitas Podomoro, dan Mas Anto-suami Mbak Evi yang berprofesi sebagai chef handal.  Sebenarnya saya diminta untuk ikut bergabung dengan Tim Pak Bagiono untuk menghadap Mendikbud pukul 16.00.  Namun, acara saya dengan USAID Prioritas baru selesai pukul 17, sehingga melalui WA saya mohon maaf tidak dapat bergabung.  Istimewanya, ketika pukul 19an saya sampai di hotel Century untuk menginap, Pak Bag sms kalau akan nyusul ke hotel Century.

Semula saya mengira kalau ada sesuatu yang penting, sehingga Pak Bag mampir ke hotel Century.  Ternyata beliau datang bersama putri dan menantu, sehingga kami ngobrol saja, ngalor ngidul sebagaimana kebiasaan kami sebagai teman lama.  Pada awalnya Mbak Evi yang bercerita bagaimana Universitas Podomoro mengembangkan kemampuan kewirausahaan (entrepreneurship) mahasiswanya.  Intinya mahasiswa diceburkan dalam kegiatan praktis yang membuat mereka “megap-megap”.  Setelah itu, mahasiswa diajak mendiskusikan mengapa itu terjadi dan didorong mengeluarkan ide bagaimana mengatasinya.  Setelah itu Pak Bagiono bercerita tentang seorang anak teman beliau dan menjadi pengusaha sukses di Batam. Pengusaha itu seorang insinyur tetapi karena sesuatu hal merantau ke Batam dengan berbekal pakaian yang dikenakan saja.  Untuk bisa hidup yag bersangkutan berkerja serabutan di warung padang.  Berikutnya pindah ke sebuah perusahaan dan setahap demi setahap kariernya meningkat sampai menjadi purchasing manager.

Setelah merasa memiliki pengalaman cukup, yang bersangkutan mulai merintis usaha sendiri dan sekarang telah menjadi pengusaha sukses.  Terdorong untuk berbagi pengalaman, pengusaha sukses itu menulis buku dengan judul “The Power of Kepepet”.  “Kepepet” itu bahasa Jawa yang sulit dicari padanan yang pas dalam bahasa Indonesia.  Mirip dengan “terjepit” dalam bahasa Indonesia, tetapi tidak tepat sama.  Menurut Pak Bag, buku itu menceritakan pengalaman pengusaha itu yang “kepepet” hidup di rantau, sehingga harus bekerja keras dan memutar otak agar bisa hidup dengan baik.  Dari situlah muncul berbagai ide dan kemampuan mencari peluang dalam setiap kejadian yang dihadapi.

Mendengarkan cerita Pak Bag, saya mencoba mengingat diskusi saya dengan beberapa teman, mengapa pendatang biasanya lebih sukses dibanding dengan penduduk asli.  Orang Jawa yang sering dicirikan dengan lamban dalam bertindak dan bahkan cenderung malas, menjadi orang sukses ketika merantau di luar Jawa.  Kalau kita ke Kalimantan dan di NTT, sebagian besar pemilik warung/restoran/toko adalah perantau dari Jawa.  Orang Banjar yang kita kenal banyak menjadi pengusaha sukses di Jawa, ternyata juga “malas” ketika tinggal di daerah asalnya di Kalimantan.

Apakah itu terkait dengan konsep zona nyaman (comfort zone)?  Menurut konsep itu, ketika sampai pada zona nyaman, orang cenderung malas dan tidak mau bekerja keras, bekerja rutin dan tidak berinovasi.  Oleh karena itu kinerja orang yang berada pada zona nyaman pada umumnya stagnan dan bahkan menurun.  Apalagi jika banyak pesaing yang lebih inovatif.  Nah, apakah untuk keluar dari zona nyaman seseorang harus mengalami situasi “kepepet”?  Jujur saya merasa tidak memiliki punya kompetensi untuk menjawab itu.

Saya juga teringat kembali, pertanyaan mengapa Pak Putra Sampurna yang menjual 100% saham pabrik rokoknya kepada Phillip Moris.  Pada hal saat itu industri rokok sedang bagus perkembangannya.  Apakah penjualan itu agar anak-anaknya tidak terjebab zona nyaman, karea pabrik rokok Sampurna “sudah jadi”?  Apakah dengan menjual pabrik rokok dan memulai jenis usaha baru, dimaksudkan agar anak-anak Pak Putra Sampurna mengalami situai “kepepet”?  Jujur saya juga tidak memiliki kompetensi untuk menjawab itu.

Saya juga teringat kata-kata bijak “nahkoda hebat berasal dari lautan bergelombang besar”, “pohon yang tumbuh di lahan gersang akan berakar kuat sehingga tidak mudah roboh”, “pemimpin yang handal akan muncul dari situasi yang bergejolak”.  Apakah kata-kata bijak itu seirama dengan isi buku “The Power of Kepepet”?  Apakah itu yang membuat Pak Putra Sampurna menjual 100% sahamnya di pabrik rokok Sampurna?  Jika itu benar, bagaimana pendidikan dapat menggunakan untuk menumbuhkembangkan kemampuan kewirausahaan kepada anak-anak. Mari kita renungkan.

Tidak ada komentar: