Sabtu, 14 Januari 2017

RATUSAN PELAJAR KENA TILANG



Judul di atas diambil dari judul berita di Metropolis (Jawa Pos Group) tanggal 14 Januari 2017.  Kejadiannya di Sidoarjo.  Menurut Metropolis selama 3 hari Polsek Kota Sidoarjo menggelar razia pengendara speda motor dan hasilnya ratus pelajar ditilang.  Pada berita itu disertakan juga seorang siswa berseragam pramuka yang ditilang.  Juga ada cerita anak SMP Kelas VII (tahun pertama di SMP) yang terkena tilang dan ternyata menyadarkan speda motorpun belum pandai.  Mungkin masih sangat kecil sehingga kesulitan menyandarkan sepeda motor.

Sebenarya kita sudah sering menyaksikan fenomena itu.  Setahu saya anak-anak SMP itu belum waktunya punya SIM, karena usianya belum mencukupi.  Seingat saya, anak saya dahulu baru mendapatkan SIM ketika SMA kelas 2 (sekarang kelas 11).  Namun di Jl Jemursari, dekat tempat tinggal saya, sangat banyak anak SMP yang naik motor.  Saya tidak tahu apakah itu seijin orangtuanya dan apakah para guru tahu kalau ada siswanya naik motor ke sekolah.  Atau mungkin karena fenomena itu banyak terjadi, kita semua (termasuk saya) menganggap itu hal yang biasa atau dengan kata lain dianggap wajar.  Bukankah, hal yang salah tetapi terjadi berulang-ulang, lama-lama dianggap sebagai kewajaran.

Membaca berita itu, saya segera ingat Prof Taat (Prof Dr. Suhartono Taat Putra), dosen Fakultas Kedokteran Unair, yang sangat konsern pada pendidikan karakter.  Beliau pernah bercerita kalau sering mengingatkan orang yang mengantar anaknya naik sepeda motor tetapi tidak taat aturan.  Misalnya tidak memakai helm, melewati jalur yang dilarang dan sebagainya.  Beliau faham itu mungkin karena tergesa-gesa, namun itu akan menjadi proses pembelajaran untuk karakter yang tidak baik.  Dengan cara itu, si orang tua seakan mengajari anaknya bahwa naik sepeda motor tanpa helm itu boleh, mengajari anaknya melewati jalan terlarang itu boleh.  Pokoknya mengajar anaknya bahwa tidak taat pada aturan lalu lintas itu tidak apa-apa.

Saya jadi khawatir, jangan-jangan apa yang saat ini banyak dikeluhkan terkait dengan perilaku anak-anak kita sebenarnya “hasil dari pendidikan yang kita lakukan, baik sengaja maupun tidak”.  Ketika saat makan kita sering lupa cuci tangan, lantas anak kita menganggap makan tanpa cuci tangan itu tidak apa-apa.  Ketika kita sering berangkat kerja dengan tergesa-gesa, oleh anak kita cara itu dianggap baik.  Pokoknya apapun yang kita sering kita lakukan dan apapun yang sering dilakukan anak terus kita diamkan, dianggap hal itu benar.  Bukankah anak itu “peniru yang baik” dari apa yang dilakukan oleh orang di sekitarnya.

Saya yakin kita semua, orangtua, guru, pejabat, pengusaha dan apapun profesi kita ingin masyarakat (termasuk kita di dalamnya) berperilaku baik, taat pada aturan, taat pada norma masyarakat dimana kita tinggal.  Konon diantara pencuripun ingin saling jujur ketika membagi hasil curian.  Konon koruptor juga tidak ingin ketika hartanya dikorupsi anak buah.  Konon penzinapun tidak ingin ketika keluarganya dizinai orang.  Nah, kalau begitu jika kita ingin masyarakat berperilaku yang baik, anak-anak kita berkarakter yang baik, kuncinya adalah kita, kuncinya adalah perilaku kita.

Memikirkan itu, saya jadi teringat sebuah tulisan yang konon terpahat di sebuah makam di Westminster Abbey Inggris. Berikut saya kutipkan.
“Ketika aku muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi ingin mengubah Dunia. Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah. Maka cita-cita itupun agak kupersempit, lalu kuputuskan untuk hanya mengubah Negeriku. Namun tampaknya hasrat itupun tiada hasilnya. Ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah Keluargaku - orang-orang yang paling dekat denganku. Tapi celakanya merekapun tidak mau diubah! Dan kini sementara aku berbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari: Andaikan yang pertama kuubah adalah Diriku, maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan, mungkin aku bisa mengubah Keluargaku. Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi akupun mampu memperbaiki Negeriku; kemudian siapa tahu, akupun bisa mengubah Dunia."

Walaupun tidak tepat sama, makna kutipan di atas sangat mirip dengan hasil penelitian singkat yang dilakukan teman-teman Kemdikbud saat menyusun Rencana Induk Pendidikan Karakter pada tahun 2010.  Seingat saya, hasil observasi ke lembaga pendidikan yang sukses melaksanakan pendidikan karakter adalah teladan dari pimpinan dan guru. Semoga menjadi renungan kita semua

Tidak ada komentar: