Minggu, 19 Mei 2013

DESENTRALISASI PENDIDIKAN: PERLU PEMBAGIAN TUGAS YANG JELAS


Seperti yang disebutkan pada tulisan tentang Diskusi di SBO TV, salah satu masalah yang mengganjal pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia adalah pembagian tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang kurang jelas.  Bahkan pengertian desentralisasi pendidikan yang diterapkan juga belum dirumuskan dengan jelas.  Akibatnya setiap orang menafsirkan sendiri-sendiri dan ketika mereka itu dalam posisi yang dapat menentukan kebijakan, akan menentukan kebijakan sesuai dengan tafsirnya.  Demikian pula yang dalam posisi melaksanakan, akan melakasanakan desentralisasi sesuai dengan tafsirnya.

Pada awal era reformasi, ketika Indonesia memutuskan untuk melakukan desentralisasi berbagai urusan, pendidikan termasuk urusan yang didesentralisasikan.  Saat itu banyak orang, termasuk saya, membayangkan Depdiknas akan menjadi semacam “Badan Litbang + Inspektorat”, yang tugasnya merumuskan kebijakan, membuat standar, melakukan inovasi dan melakukan pemantauan untuk memastikan bahwa pendidikan berjalan sesuai yang diharapkan.  Sedangkan pelaksanaan pendidikan diserahkan pada lembaga di bawahnya.   Pemikiran itu didasarkan pada pengalaman negara maju yang sudah lebih dahulu melakukan desentralisasi pendidikan.

Oleh karena itu, waktu itu mulai mucul kasak-kusuk seperti apa bentuk organisasi Depdiknas dan berapa staf yang diperlukan.  Mulai banyak staf Depdiknas yang mikir-mikir pindah kemana.  Dan benar, pada tahun 2000 ada beberapa staf Depdiknas yang meminta pindah ke Dinas Pendidikan Propinsi atau Kab/Kota.  Bahkan kemudian beberapa diantara mereka menjadi Kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

Ketika PP No 25 Tahun 2000 terbit, ternyata dugaan tadi tidak jauh meleset.  Dalam PP 25/200, pasal 2 ayat (3) butir 11, disebutkan kewenangan pemerintah pusat adalah: (1) penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, (2) penetapan standar materi pelajaran pokok, (3) penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik, (4) penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, (5) penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa, (6) penetapan persyaratan pemintakatan/zoning, pencarian, pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya serta persyaratan penelitian arkeologi, (7) pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemnfaatan naskah sumber arsip, dan monumen yang diakui secara internasional, (8) penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah dan luar biasa, (9) pengaturan dan pengembangan pendidikann tinggi, pendidikan jarak jauh serta pengaturan sekolah internasional, dan (10) pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia. 

Kewengan propinsi dimuat pada pasal 3 ayat (5) butir 10 yaitu: (1) penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan atau tidak mampu, (2) penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul pendidikan untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan luar sekolah, (3) mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi dan pengangkatan tenaga akademis, (4) pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi, (5) penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan atau penataran guru, dan (6) penyelenggaraan museum propinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai tradisional serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.

Apa tugas dan kewenngan kabupaten/kota?  Dalam PP No 25/2000 tidak disebutkan.  Namun kita dapat memaknai, semua tugas dan kewenangan yang tidak tercakup di pemerintah pusat dan propinsi tentunya menjadi tugas dan kewenangan kabupaten/kota.  Itulah yang mengokohkan pendapat bahwa desentralisasi pendidikan di letakkan di kabupaten/kota.  Dan itulah salah satu yang mengagetkan banyak ahli pendidikan, karena pada umumnya desentralisasi pendidikan diletakkan di negara bagian atau setingkat propinsi.  Tampaknya di Indonesia, disamakan dengan urusan lain yang diletakkan di kabupaten/kota.

Kalau kita cermati isi PP 25/2000, sebenarnya tugas dan kewenangan pemerintah pusat “hanya menetapkan standar”, kewenangan poprinsi “membantu pemerintah pusat”, sedangkan pelaksanaan urusan pendidikan sepenuhnya dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.  Namun, mengapa sampai sekarang sepertinya pemerintah pusat begitu dominan dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan?   Gedung sekolah rusak pemerintah pusat yang sibuk.  Pelatihan guru pemerintah pusat yang sibuk.  Dan sebagainya.

Dugaan saya itu semua disebabkan kurang jelasnya pembagian tugas antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Deskripsi yang dimuat dalam PP 25/2000 tampaknya belum jelas bagi ketiga level pemerintahan kita.  Tumpang tindih kegiatan juga sering terjadi, misalnya dalam pelatihan guru.  Pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota sama-sama melakukan pelatihan yang kadang-kadang isinya hampir sama.

Mengapa begitu?  Tampaknya pemerintah pusat belum siap untuk melepaskan tugas pelaksanaan pendidikan. Hal itu disebabkan sudah menjadi kebiasaan, sehingga sulit diubah dan juga belum percaya kepada aparat pada level propinsi/kabupaten/kota.  Sementara itu, aparat di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota juga belum punya pengalaman untuk melaksanakan tugas yang begitu besar, sehingga sering kedodoran.

Akibat dari situasi tersebut struktur organisasi Depdiknas (sekarang menjadi Kemdibud) yang dahulu dibayangkan akan “menyusut” tidak terjadi dan bahkan membesar.  Demikian pula struktur Dinas Pendidikan di Propinsi yang secara Undang-undang “hanya” bertugas membantu pemerintah pusat juga tidak berubah strukturnya.  Sementara itu struktur Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota membesar.  Saya belum punya data, tetapi dapat diduga jumlah pegawai yang mengurusi pendidikan, kini meningkat dibanding sebelum era desentralisasi.

Mungkin kita bertanya, bagaimana untuk mengatasi situasi tersebut?  Rasanya pembagian tugas perlu dilihat kembali.  Pembagian tugas sebaiknya lebih jelas dan mudah dilihat, sehingga masyarakat mudah memahami.  Kita juga perlu melihat substansi persekolahan agar pembagian tugas/kewenangan tidak menimbulkan masalah di lapangan.

Terkait dengan hal di atas, sebaiknya pembagian tugas dalam pembinaan persekolahan dibagi dalam jenjang.  Pendidikan dasar (SD dan SMP) menjadi tugas dan kewenangan kabupaten/kota, Pendidikan menengah (SMA dan SMK) menjadi tugas dan kewenangan propinsi, sedangkan perguruan tinggi menjadi tugas dan kewenangan pemerintah pusat.  Tentu pemerintah pusat masih punya tugas menentukan kebijakan umum, standar, mengembangan inovasi dan melakukan pemantauan.

Dengan cara itu setiap level pemerintahan punya tugas/kewenangan yang distingtif dan mudah dilihat oleh masyarakat.  Jika ada permasalah dengan SD dan SMP tidak menunjuk pemerintah kabupaten/kota dan propinsi serta pemerintah pusat tidak perlu ikut-ikut.  Jika ada permasalahan dengan SMA dan SMK tinggal menunjuk pemerintah propinsi, sehingga kabupayen/kota dan pemerintah pusat tidak perlu ikut-ikut. Jika ada permasalah perguruan tinggi tinggal menunjuk pemerintah pusat, sehingga pemerintah propinsi dan kabupaten/kota tidak perlu ikut-ikut. Semoga.

Tidak ada komentar: