Senin, 13 Mei 2013

LULUS 1 LANGSUNG KE S2 ATAU BEKERJA DULU?


Beberapa hari lalu saya ditanya seorang saudara yang anaknya baru lulus S1.  Beliau orang yang terdidik dan ekonomi keluarganya sangat baik.  Seorang anaknya baru saja wisuda S1 dari perguruan tinggi ternama.  Usia anak tersebut sekitar 22 tahun dan menurut ibunya masih sangat muda.

Mendapat pertanyaan itu, saya jadi teringat pengalaman tahun 2007an.  Saat itu saya ditanya oleh Pak Nuh (waktu itu menjabat Menteri Kominfo), Reza saat ini dimana?  Anak saya, Reza memang mahasiswa dan bimbingan Pak Nuh saat beliau menjadi Direktur PENS (Politeknik Elektronika Negeri Surabaya).  Saya jawab, sudah lulus dan bekerja.  Mendengar jawaban itu, Pak Nuh berkomentas yang menurut saya ganjil.  Kurang lebih komentarnya begini: “Gak sak-aken tak rek, arek cilik kongkon njambut gawe” (Apa tidak kasihan, akan kecil disuruh bekerja).

Apa hubungan antara pertanyaan teman di awal tulisan ini dengan komentar Pak Nuh terhadap anak saya?   Mengingat komentar Pak Nuh, saya jadi ragu-ragu memberi saran atau jawaban terhadap pertanyaan teman tadi.  Saya kawatir jangan-jangan komentar Pak Nuh tersebut benar, walaupun sebenarnya saya tidak sependapat.  Itu sebabnya saya ragu-ragu, menjawab sesuai dengan nalar saya atau mengajukan pemikiran Pak Nuh tadi.

Walaupun dari usia Pak Nuh lebih muda dibanding saya, seringkali pemikiran Pak Nuh melampaui usianya.  Saya kenal beliau sejak tahun 1990an, ketika sama-sama aktif di ICMI Jawa Timur.  Kami sering terlibat dalam berbagai kegiatan.  Apalagi kemudian, beberapa teman termasuk di dalamnya Pak Nuh dan saya membentuk Nara Qualita Ahsana, sehingga kami sering ketemu dan berdiskusi. Dan sejak itu saya menangkap pemikiran beliau, yang kadang-kadang “beyond” rasional saya.

Karena ragu, akhirnya saya bercerita saja pendapat saya dan komentar Pak Nuh yang tidak sama dengan pemikiran saya.  Silahkan teman tadi yangmengambil kesimpulan.  Saya sampaikan bahwa menurut saya anak yang lulus S1 perlu segera mendapat pengalaman menerapkan ilmunya dalam kehidupan di dunia kerja dan di masyarakat.  Situasi pendidikan di sekolah/universitas berbeda dengan situasi di masyarakat.  Di sekolah/universitas, semua serba disederhanakan agar siswa/mahasiswa mudah memahami masalah.  Semua serba dibatasi agar masalah tidak terlalu kompleks. Bahkan seringkali, bidang ilmu “memisahkan diri” seakan-akan berdiri sendiri dan tidak terkait dengan bidang lainnya.  Sementara itu, dalam kehidupan nyata di masyarakat, termasuk di pekerjaan, masalah selalu kait mengakit dengan lainnya.  Kemampuan memahami kerterkaitan masalah yang satu dengan lainnya seringkali menentukan apa tindakan atau langkah pemecahannya.

Cara kerja yang biasa dilakukan di sekolah/universitas juga sangat berbeda dengan kehidupan nyata di masyarakat.  Kerja sendirian biasa dilakukan di sekolah/universitas, baik dalam mengerjakan tugas-tugas maupun ujian.  Sementara itu hampir setiap pekerjaan di masyarakat dikerjakan oleh tim.  Oleh karena itu kemampuan bekerjasama menjadi sangat penting.
Itulah sebabnya saya meyakini sebaiknya anak yang lulus S1 segera bekerja.  Bekerja dalam arti luas.  Tidak harus bekerja di kantor atau perusahaan.  Dapat saja bekerja di lembaga sosial atau bahkan berdiri sendiri merintis usaha mandiri.  Yang penting mendapat kesempatan untuk mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan berkerja dan bermasyarakat.

Saya mengajukan bukti empiris, bahwa banyak orang sukses ternyata sudah nyambi bekerja atau aktivitas sosial kemasyarakatan ketika sekolah/kuliah.  Mengapa?  Karena saat kuliah sudah dapat memadukan teori yang diperoleh di kuliah dengan praktek di dunia kerja atau kegiatan sosial.  Dengan demikian, saat lulus yang bersangkutan telah punya pengalaman lengkap untuk melaju di kehidupan bermasyarakat.

Lantas bagaimana dengan komentar Pak Nuh?  Demikian kira-kira pertanyaan lanjutan teman tadi.   Sejujurnya saya menjawab tidak tahu.  Saya hanya menduga Pak Nuh berpendapat tantangan kehidupan ke depan lebih berat, sehingga bekal S1 dianggap belum cukup.  Dan perkembangan seperti itu memang wajar. Seperti zaman dahulu bekal SMA sudah dianggap sudah bagus, tetapi kemudian sesuai dengan perkembangan tidak lagi memadai dan memerlukan bekal S1.  Pada masa lalu untuk menjadi guru SD cukup berpendidikan SGB yang “hanya” setingkat SMP.  Kemudian ditingkatkan menjadi SGA, setingkat SMA.  Berikutnya ditingkatkan lagi menjadi D2 dan sekarang harus S1.  Bahkan sesuai dengan Undang-undang tetang Guru dan Dosen, S1 masih harus ditambah dengan Pendidikan Profesi Guru (PPG).  Jadi komentar Pak Nuh juga ada dasarnya.

Saya menambahkan jika dugaan tersebut benar, saya menyarankan kalau anaknya yang sudah lulus S1 akan langsung melanjutkan ke S2, sebaiknya juga didorong untuk nyambi bekerja.  Dengan begitu akan menjadi jalan tengah antara pentingnya pengalaman kerja dan penting penambahan bekal pendidikan.  Mendapatkan bekal (teoritis) tambahan tetapi juga memperoleh pengalaman menerapkan dalam kehidupan.  Semoga.

Tidak ada komentar: