Jumat, 17 Mei 2013

DISKUSI DI SBO TV (2): PERLUKAH STANDAR DALAM PENDIDIKAN?


Seperti saya sebutkan di tulisan terdahulu, diskusi di SBO TV melebar kemana-mana.  Sebenarnya topik yang ingin dibahas adalah desentralisasi pendidikan.  Namun peserta mengajukan pemikiran sesuai apa yang dia inginkan. Nah, salah satu isu yang diajukan oleh salah seorang peserta dan mendapat respon adalah standar pendidikan.  Seorang peserta dengan bersemangat menyatakan di era sekarang apalagi ke depan, tidak lagi diperlukan standar pendidikan.  Alasan yang diajukan, standar pendidikan diperlukan ketika pendidikan dimaknai dengan mass production.  Menurut beliau, ke depan eranya adalah era customized production, sehingga tidak lagi diperlukan standar pendidikan.

Saat diskusi saya tidak menanggapi pendapat teman tersebut, karena menurut saya itu terlepas dari topik diskusi yaitu desentralisasi.  Standar pendidikan termasuk wilayah isi pendidikan, sedangkan desentralisasi termasuk wilayah manajemen pendidikan.  Banyak negara yang memiliki standar pendidikan dan menerapkan desentralisasi dan juga banyak negara yang tidak menerapkan desentralisasi.  Artinya antara standar pendidikan dan desentralisasi pendidikan tidak ada hubungan langsungnya.

Nah, diluar acara di SBO TV rasanya perlu didiskusikan perlu tidaknya standar dalam dunia pendidikan.  Untuk itu kita dapat mulai menelaah bentuk dan isi pendidikan di awal peradaban.  Berbagai referensi menyebutkan bahwa pada masa itu belum ada sekolah.  Anak belajar kepada orangtuanya, kakaknya atau orang-orang yang lebih dewasa yang ada di sekitarnya.  Apa yang dipelajari? Yaitu proses kehidupan keseharian, berburu, bertani dan seterusnya. 

Ketika peradaban mulai maju dan nilai-nilai serta norma kehidupan mulai berkembang, mulai muncul orang-orang yang dianggap “pandai dan bijak”.  Pada saat itu anak-anak belajar kepada orang pandai dan bijak tersebut.  Apa yang dipelajari?  Nilai-nilai kehidupan, sedangkan untuk keterampilan hidup, anak-anak tetap belajar kepada orangtuanya dan orang-orang dewasa di sekitarnya.

Dalam tahap selanjutnya pendidikan di tempat tinggal orang pandai dan bijak itu berkembang menjadi embrio padepokan.  Dan orang-orang pandai dan bijak itu berkembang menjadi tokoh dengan berbagai sebutan.  Mudahnya semacam “pandito” dalam dunia perwayangan. Dan yang diajarkan juga mulai merambah ke hal-hal yang terkait dengan pengetahuan. 

Padepokan itulah embrio dari “sekolah” atau mungkin untuk saat ini lebih tepat disebut sebagai sanggar belajar dan pendidikan non formal.  Pada saat itu setiap padepokan punya kurikulum masing-masing.  Dan seriring dengan kemajuan peradaban apa yang dipelajari di padepokan juga terus berkembang.  Muatan pengetahuan juga terus berkembang.  Dan itulah embrio ilmu pengetahuan yang kita kenal saat ini.

Ketika mobilitas orang semakin tinggi dan interaksi antar kelompok masyarakat semakin intens,maka komunalitas masyarakat semakin luas. Mulailah masyarakat membandingkan apa yang diajarkan pada satu padepokan dan padepokan lainnya.  Mulailah dirasakan perlunya saling “penyamaan” dalam beberapa bagian “kurikulum” pendidikan di padepokan.

Berbarengan dengan perkembangan itu, mulai muncul tata hidup kemasyarakatan, yang selanjutnya menjadi embrio “pemerintahan”.  Mulailah ada orang atau beberapa orang yang dipercaya untuk mengatur tata kehidupan pada kelompok masyarakat. Struktur perangkat itupun berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.  Nah, pada saat itu “perangkat pemerintah” mulai menjangkau dunia pendidikan.  Dan itulah yang kemudian mendorong munculnya “sekolah”  yang memerlukan kurikulum yang “sama” antara beberapa sekolah. 

Uraian di atas menunjukkan bahwa standar pendidikan itu pada awalnya tidak ada.  Munculnya standar karena keperluan masyarakat yang ingin anak-anak yang belajar di satu sekolah dan sekolah lain menerima ajaran yang kurang lebih sama.  Tentu tidak semuanya.

Apakah di era kedepan, ketika dengan google anak dapat memperoleh pengetahuan, tidak lagi diperlukan standar pendidikan?  Menurut saya tergantung sudut padang yang digunakan.  Kalau digunakan sudut pandang bahwa orang punya kebebasan untuk belajar seperti yang diinginkan atau seperti yang diperlukan untuk menghadapi kehidupannya dan kehidupan setiap orang berbeda, mungkin kita dapat mengatakan tidak diperlukan standar pendidikan. 

Namun jika digunakan sudut pandang bahwa sekolah itu berjenjang dan orang dapat pindah dari satu sekolah ke sekolah lainnnya, baik dalam jenjang yang sama (pindah) atau naik jenjang, maka standar tetap diperlukan. Jika kita percaya bahwa dunia semakin menggobal dan pekerjaan tidak lagi bersifat lokal, maka standar pekerjaan tetap diperlukan. Dan konskwensinya diperlukan juga standar pendidikan. 

Tentu harus dikatakan bahwa standar pendidikan itu berbeda dengan kurikulum.  Amerika Serikat tidak memiliki kurikulum nasional, karena setiap disktrik bahkan setiap sekolah boleh mengembangkan kurikulum sendiri.  Tetapi Amerika Serikat punya standar pendidikan ayng disebut National Education Standard.  Project “gila” yang dilaksanakan oleh Partnership for 21st Centuy Skills (P21) ternyata juga menghasilkan standar pendidikan.  Bagi yang ingin membaca dapat mengakses ke http://www.21centuryskills.org.  

Tidak ada komentar: