Selasa, 01 September 2015

HOW NOT TO BE WRONG



Itu nama buku, dengan nama lengkapnya “Wow not to be Wrong: The Hidden Maths of Everyday Life” tulisan Jordan Ellenberg.  Saya membeli buku itu dengan beberapa alasan.  Pertama, judulnya sangat menarik, yaitu bagaimana tidak salah. Apalagi ditambahi anak judul, matematika tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari.  Dalam hati, apakah ini tentang Matematika Realistik yang dikembangan di Amerika.

Kedua, setelah saya buka pengarangnya, Jordan Ellenberg adalah profesor Matematika di University of Wisconsin dan buku itu merupakan Sunday Times Bestseller.  Menurut keterangannya Jordan Ellenberg pernah shortlisted di NYPL Young Lions Award dan menjadi penulis reguler di New York Times dan Washington Post.

Ketiga, setelah saya buka-buka (kebiasaan membaca dulu sekilas sebelum membeli), di halaman 16 saya menemukan kalimat menarik: “I dedicated myself to number theory, what Gauss called the queen of mathematics, the purest of the pure subjects, the sealed garden at the center of the convent, where we contemplated  the sama questions about numbers and equations that troubled the greeks and have gotten hardly less vexing in the twenty-five hundred years since”. 

Membaca kalimat itu, saya langsung teringat dua orang juragan matematika di Unesa, yaitu almarhum Prof Soedjadi dan Prof Ketut Budayasa.  Seingat saya, ketika menguji tesis S2 Pendidikan Matematika, Pak Jadi (begitu saya memanggil) selalu menanyakan tentang bilangan. Saya sendiri tidak begitu faham, lha wong angka kok dipersoalkan.  Biasanya saya terus berpikir, biarlah itu menjadi urusan orang Matematika mempersoalkan sesuatu yang sudah jelas.

Begitu juga Pak Ketut.  Ketika bersama saya dan Bu Kisyani ke Groningern University dan bertemu dengan profesor matematika di sana (saya lupa namanya), Pak Ketut mengajukan pertanyaan: “what is number”.  Dalam hati saya berguman, wah ini Pak Jadi yunior.  Mereka, Pak Ketut dan profesor Groninger terlibat dalam diskusi serius.  Saya dan Bu Kis yang jadi pennton, lha tidak faham apa yang didiskusikan.


 


 
Pada halaman 17, saya menemukan kalimat yang lebih menarik lagi, “But something funny happened.  The more abstract and distant from lived experince my research got, the more I strated to notice how much mtah was going on the world outside the walls.  Not Galois represeantation or comology. But ideas that were simpler. Older and just as depp-the north west quadrant of the conceptual foursquare.”   Lho ini kan aneh.  Pak Jadi dan Pak Ketut, sering mendiskusikan hal-hal yang menurut saya ada di angan-angan, misalnya bilangan, tetapi Jordan Ellenberg, mengatakan semakin dalam risetnya malah semakin dekat dengan kehidupan.

Karena saya tidah faham maksudnya, tetapi saya yakin isinya bagus, buku itu saya beli dan sengaja akan saya berikan Pak Ketut, karena Pak Jadi sudah almarhum.  Biar nanti menjadi bahan diskusi bagi teman-teman Matematika dan saya yang jadi penonton.  Namun sampai di rumah Kiki saya terdorong untuk membaca, walaupun tentu saya sulit memahami isinya.  Nah, beberapa yang saya baca dan sedikit fahami itu yang ingin saya bagi dengan pembaca.

Buku itu banyak menceritakan bagaimana matematika dapat memecahkan problema kehdupan sehari-hari, mulai dari yang simple sampai pada yang kompleks.  Juga diberikan contoh-contoh mendasar, logika matematika untuk terhindar dari kesalahan kesimpulan.  Dan itulah tampaknya (sekali lagi ini dugaan dari orang yang tidah faham matematika).

Diceritakan bagaimana Abtaham Wald, matematikanwan yang tidak punya pengalaman perang meluruskan simpulan para ahli peperangan, ketika melakukan analisis pesawat terbang agar terhindar dari tembakan.  Para ahli pesawat menyajikan data lubang bekas tembakan pada pesawat yang selesai perang, yang diambil secara acak sbb:

Section of plane
Bullet holes per sq foot
Engine
1.11
Fuselage
1.73
Fule system
1.55
Rest of the plane
1.8

Para ahli perang udara menyimpulkan seharusnya bagian pesawat yang dipekuat adalah yang mendapat banyak tembakan.  Tetapi Wald justru membatah, seharusnya yang diperkuat adalah bagian engine.  Mengapa?  Karena pesawat yang bagian mesin kena lebiih 1.11 lubang jatuh, sehingga tidak bisa pulang.  Wald menjelaskan, asumsi sampling yang digunakan oleh para ahli perang udara itu tidak tepat.  Mestinya populasi semua pesawat yang berangkat perang, bukan yang dapat kembali.  Justru yang tidak kembali itu yang punya kelemahan.

Contoh kedua yang diceritakan dalam buku itu adalah perdebatan terhadap kebijakan Predisen Obama.  Banyak lawan politik Obama mempertanyakan, mengapa Obama mendorong Amerika seperti Swedia, sementara orang Swedia sendiri ingin berubah tidak seperti Swedia sekarang.  Mengapa terjadi perbedaan pandangan antara Obama bersama timnya dengan para penentangnya?

 



Menurut Jordan Elleberg, karena kedua pihak berangkat dari asumsi yang berbeda.  Penentang Obama mendasarkan diri pada kurva linier, sedangkan Obama beserta timnya mendasarkan pada kurva non linier.   Dengan asumsi kurva linier (gambar kiri), semakin mendekati model Swedia kesejahteraan masyarakat akan menurun, sementara dengan asumsi non liner (gambar kanan), dapat dicari posisi dengan kesejahteraan maksimal dan itu ternyata lebih dekat dengan model Swedia dibanding model Amerika.
 

Apa betul begitu?  Jujur saya tidak faham benar.  Biarlah Pak Ketut Budayasa bersama teman jurusan Ekonomi yang mendiskusikan dan kita menunggu saja penjelasan hasil diskusi.  Atau jika pembaca tertarik atau bahkan penasaran dapat membaca sendiri bukunya.  Cukup menarik dengan 468 halaman dan ditutup dengan bab berjudul How to be Right.  Semoga.


Tidak ada komentar: