Rabu, 09 September 2015

JATUH DARI PAGER DI EDINBRUGH



Ini cerita ringan dari Edinbrugh. Tanggal 24 s.d 31 Agustus dan tanggal 5 s.d 6 September 2015 saya dan isteri menghabiskan waktu di Edinbrugh.  Mumpung mendapat undangan ke University Bremen Jerman dan mumpung agenda di kampus maupun lainnya tidak terlalu padat.  Jadi sengaja kami mengunjungi anak sulung (Kiki) yang sejak Juni tahun lalu pindah ke rumah baru.  Jika sebelumnya anak dan menantu tinggal di apartmen di Nicholson Street, tengah kota Edinbrugh, sekarang pindah ke Carrick Knowe, pinggiran kota Edinbrugh.

Sejak mereka mencari rumah baru, saya dan isteri sudah dimintai pertimbangan ini dan itu dan kami tentu senang sekali.  Senang karena mereka (anak dan menantu) akan punya rumah sendiri dan tentu punya halaman cukup, kedua karena mereka minta pertimbangan kami sebagai orangtua yang punya pengalaman mengatur rumah.  Nah, akhirnya mereka mendapatkan rumah di kompleks Carrick Knowe, di ujung jalan sehingga memiliki halaman belakang cukup luas.  Halaman belakangnya berbatasan dengan jalan kereta api, sehingga dari ruang makan dan dapur kami dapat melihat kereta api dan trem yang lewat.

Seperti lazimnya rumah di Edinbrugh, satu bangunan kopel dua lantai dimiliki atau dihuni 4 keluarga.  Anak saya kebagian lantai atas bagian kanan, dengan dua kamar tidur cukup besar, ruang keluarga/tv, ruang makan, dapaur dan kamar mandi.  Di samping itu, kebagian halaman samping sampai ke belakang berbentuk segitiga.  Berbentuk segitiga karena berbagi denga rumah di sebelah yang posisinya pas tusuk sate.  Panjang ke belakang, saya perkirakan sekitar 25 m dan alas segitiga di belakang sekitar 20 meter.  Itu masih ditambah dengan halaman as dibelakang rumah yang dipakai bersama dengan tetangga lantai untuk menjemur pakaian, sekitar 8 x 10 m.  Nah tetangga lantai bawah kebagian halaman depan rumah.

Di halaman samping yang berbentuk segitiga itu seperti dibagi menjadi tiga bagian.  Bagian paling belakang yang berbatasan dengan lahar jalur kereta api dibatas dengan tembok dari batu ala bangunan kuno.  Nah mepet dengan pagar tembok itu  terletak bagian yang berlantai petak-petak semen.  Katanya dulu oleh pemilik lama dirancang untuk barberque.  Bagian tengah terletak bagian yang berumput yang sepertinya dipakai bermain.  Bagian depan yang berbentuk segitiga ditanami bunga.  Di antara masing-masing bagian itu dibuat seperti lahan pembatas yang lebarnya sekitar 2 meter dan ditanami sayuran atau buah-buahan.  Di samping itu, antara halaman miliki anak saya dengan lahan yang dipakai bersama juga ada pembatas berupa tanaman bunga dan buah-buahan dengan lebar sekitar 1 m.

Ketika tanggal 5 pagi-pagi terbang dari Bremen ke Edinbrugh via Paris, saya berpikir tinggal punya waktu 1 hari setengah di Edinbrugh, sehingga ingin sekali saya manfaatkan untuk membantu mengatur halaman samping itu. Sampai di rumah anak saya, mungkin sekitar pukul 12 siang dan pagi-pagi tanggal 7 sudah harus kembali ke Indonesia.  Pada hal, masih banyak pekerjaan di halaman belakang (saya sering menyebut kebun) anak saya yang harus saya kerjakan.  Oleh karena itu, saya bertekat untuk memanfaatkan waktu setengah hari itu dengan maksimal.

Untunglah tanggal 5 September cuaca sangat cerah, sehingga setelah datang dan istirahat sebenar, sekitar pukul 16 saya bersama isteri, anak dan menantu mulai ke kebun belakang rumah.  Saya kebagian membersihkan tanaman liar yang merambat memenuhi pagar batu di belakang.  Tanaman itu konon pada awalnya tumbuh di lahan  jalur kereta api di balik pagar batu, kemudian merambat ke pagar batu dan melewati bagian atas pagar masuk ke dinding pagar sebelah bagian halaman rumah anak saya.  Tanaman liar itu harus dibersihkan, sehingga saya memanjat pagar batu itu dan mulai memotong batang tanaman agar sebagian ditarik ke dalam halaman dan sebagian di buang ke lahan umum.  Ternyata batangnya sangat banyak dan kuat, sehingga saya harus memotong bagian demi bagian dan mendorongnya agar jatuh ke halaman umum. 






Tampaknya duduk saya kurang mapan, sehingga saya jatuh ke halaman umum di dekat rel kereta.  Untunglah lahan itu penuh dengan semak liar terutama brambel, sehingga saya tidak jatuh ke tanah.  Namun karena brambel itu berduri, tentu tangan dan kaki saya kena duri.  Tetapi tidak terlalu banyak, karena saya memakai training da duri di batang brambel juga jarang dan pendek-pendek.  Anak saya, Kiki yang justru berteriak dan minta saya berhenti bekerja.  Saya meyakinkan bahwa tidak apa-apa yang melanjutkan bekerja sampai sekitar pukul 19 (magrib di Edinbrugh saat itu pukul 20.30) dan ternyata hanya mampu menyelesaikan sekitar separuh pagar.

Malamnya, setelah mandi bekas goresan duri diberi alkohol dan kemudian diolesi minyak kelapa khusus.  Kiki meng-upload foto saya waktu di atas pagar  batu ke WA dan diberi keterangan “papa jatuh dari pagar”, sehingga Lala, anak saya yang di Jakarta yang ganti ribut.  Sambil membuat nasi goreng untuk makan malam bersama saya berkomentar di WA “biasa kok, tidak apa-apa, anggap saja seperti dulu waktu menyambil rumput di Ponorogo”.   Dan memang betul tidak apa-apa, karena goresan duri brambel hanya sedikit.

Besuk paginya, tanggal 6 September cuaca juga cerah, sehingga kami bisa menyelesaikan pekerjaan yang tersisa.  Saya menyelesaikan membersihkan tanaman liar di pagar, Roy-menantu saya kebagian memotong rumput, isteri saya dan Kiki yang meramut tanaman.  Sekitar jam 13an sudah selesai, dan kami istirahat untuk keluar makan siang bersama.

Tampaknya, anak saya ingin mengajak makan siang yang agak khusus di hari terakhir saya di Edinbrugh.  Kami bermobil meluncur ke kota dengan waktu tempu sekitar 15 menit.  Setelah melihat-lihat dan seperti biasanya membeli buku, kami makan di restoran Meksiko.  Lumayan bisa mencicipi masakah Meksiko, dengan alunan musik khas sana.

Sepulang dari makan siang dan istirahat sebentar, kembali kami berempat ke kebun belakang.  Roy menambal ban sepeda, Kiki dan isteri memotongi ujung bunga heither, sedangkan saya mencoba membongkar pokok batang tanaman liar yang batangnya yang merambat di pagar sudah saya habiskan.  Ternyata, akan tanaman liar itu masuk ke sela-sela batuan yang ditumpuk dan bercampur dengan tanah di lahan mepet pagar.  Untunglah Roy punya skrop yang ujungnya seperti sendok garpu, sehingga dapat saya pakai untuk menjugil batu besar-besar itu.

Satu demi satu, batu yang menjepit pokok batang dan akar tanaman liar itu saya ambil, tetapi ketika mendapat yang cukup besar, harus digulingkan karena tidak kuat mengangkat.  Nah, pas menggulingkan itu sepertinya saya tidak hati-hati.  Ujung jari manis tangan kanan saya tergencet, tetapi untungnya saya menggunakan sarung tangan.  Walaupun demikian, tetap saja keluar darah sedikit dan membiru.

Kembali Kiki yang ribut dan minta saya menghentikan pekerjaan.  Isteripun menimpali, “biasa papamu kalau bekerja terlalu semangat”.  Ujung jari yang berdarah saya celupkan cairan beralkohol yang biasa digunakan untuk membunug slug.  Perih tetapi darahnya segera berhenti.  Setelah itu, Kiki minta diguyur dengan air kran yang dingin agar mengurangi bengkak.

Setelah selesai dan mandi, kami duduk-duduk di ruang makan sambil memandangi kebun belakang yang sudah lumayan rapi.  Nah, waktu itu Kiki melihat jari saya yang bengkak karena tergencet batu.  Ributlah dia, dan minta Roy memberi obat.  Tetapi hari sudah jam 20an, sehingga apotek tentu sudah tutup. Akhirnya diputuskan mencari ke supermarket dan dapat obat antiseptik “detol”.  Lumayan, setelah saya bungkus kapas yang diberi detol, bengkaknya segera berkurang.

Sambil makan malam berupa bubur gandum dicampur dengan potongan daging ayam plus brokoli, saya katakan kepada Roy dan Kiki bahwa saya senang sekali dengan rumah kalian yang punya kebun.  Kompleksnya juga tertata rapi.  Moga-moga tahun depan dapat kesini lagi melihat hasil tanaman sayur dan bunga yang kemarin ditanam.  Semoga.




Tidak ada komentar: