Minggu, 20 November 2016

BELAJAR DARI KASUS PAK AHOK



Kasus Pak Ahok ternyata menguras enersi.  Saya tidak tahu berapa tenaga, waktu dan dana yang terkuras dalam kasus tersebut.  Oleh karena itu, kita perlu belajar dari kasus tersebut.  Atau memang Yang Maha Bijaksana memunculkan kasus itu untuk pelajaran bagi kita semua.  Saya tidak memiliki kompetensi untuk membahas kasus itu dari aspek hukum maupun dari aspek keagamaan.  Oleh karena itu saya ingin iur pendapat dari aspek pendididikan.

Bukankah proses pendidikan terjadi dimana saja dan kapan saja.  Orang, binatang, benda dan peristiwa dapat menjadi sumber belajar bagi yang mau belajar.  Jadi jika kasus Pak Ahok dijadikan bahan belajar, sebenarnya bukan hal yang istimewa.  Tentu itu hanya bagi yang mau belajar.

Lantas apa pelajaran yang dapat dipetik dari kasus itu?  Pertama. Ternyata masalah agama dan atau keyakinan itu sangat sensitif.   Orang segera merasa terganggu jika agama atau keyakinan yang dianut dibicarakan atau “dinilai tidak baik” oleh orang lain.  Saya punya pengalaman pribadi, pernah melihat dua sahabat bertengkar hebat gara-gara salah seorang tersinggung ketika “cara beragamanya” dinilai salah oleh temannya.  Pada keduanya menganut agama yang sama dan bertetangga.  Teman itu merasa apa yang dilakukan selama ini sudah tepat dan itu diyakini bersumber dari ajaran agama yang dianutnya.

Kedua, agama tidak selalu “sejalan” dengan logika ilmu pengetahuan.  Kembali pada contoh di atas, kedua sahabat itu berbeda pandangan karena yang satu mendasarkan pada logika keilmuan yang dia pelajari, sedangkan yang lain mendasarkan pada aturan “baku” yang dipelajari dari agama atau dari guru agamanya.  Nah, ketika dua pandangan itu tidak ketemu, terjadikan diskusi sengit yang berujung pada pertengkaran.

Menurut saya memang tidak tepat mendiskusikan masalah agama dengan pandangan dari keilmuan semata.  Apalagi dari cabang ilmu pengetahuan yang “jauh” dari prinsip keagamaan.  Karena belajar agama dimulai dari “yakin” dan baru setelah itu didalami.  Sementara dalam keilmuan, kita berangkat dari “ragu” kemudian dipelajari dan dari proses belajar itu diharapkan dihasilkan satu simpulan yang meyakinkan.  Apalagi tidak semua masalah keagamaan dapat dibuat eksperimen sebagaimana dalam ilmu pengetahuan.

Ketiga, kepekaan yang mungkin menimbulkan ketersinggungan itu menjadi lebih tinggi derajatnya ketika yang mendiskusikan dan atau menyampaikan dari teman atau orang yang berbeda agama. Seorang kawan yang kebetulan mendalami psikologi menjelaskan kalau setiap orang memiliki kerucigaan terhadap orang lain.  Tingkat curiga itu tergantung kesamaan atau perbedaannya.  Orang yang berasal dari satu daerah asal memiliki kecurigaan yang lebih rendah dibanding yang berasal dari daerah lain.  Orang yang berbeda agama memiliki tingkat kecurigaan yang lebih tinggi dengan yang sama agamanya.

Nah berangkat dari tidak hal tersebut, sebaiknya kita tidak membahas agama yang dianut orang lain, kecuali memang itu forum yang khusus diadakan untuk itu dan telah disepakati rambu-rambu pembahasannya.  Ketika membahaspun harus dihindari menyalahkan dengan sudut pandang agama kita (orang yang membahas yang berbeda dengan agama yang sedang dibahas) atau sudut pandang keilmuan yang mungkin berbeda dengan sudut pandang agama.

Dalam ranah taukhid, setiap agaman memiliki pedoman sendiri-sendiri, yang berbeda satu dengan lainnya, namun untuk ranah muamalah seringkali banyak persamaan.  Oleh karena itu, kalau toh “terpaksa” perlu diskusi keagamaan akan lebih baik di ranah muamalah.  Misalnya pandangan agama “A” terhadap bantuan bencana dan sejenis itu.  Sangat mungkin hal seperti itu lebih aman.

Tidak ada komentar: