Sabtu, 26 November 2016

BU KIKI DAN PROBLEM KEDELE



Dr. Kiki Yuliati, MSc. adalah dosen  Universitas Sriwijaya Palembang, yang sekarang menjadi Sekretaris BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).  Saya belum lama mengenal beliau.  Seingat saya pertama kali bertemu, ketika sama-sama mengikuti uji publik Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru SMK di Semarang sekitar bulan September lalu.  Itupun tidak bertemu secara intens, karena masing-masing sibuk dengan tugasnya sendiri. Saat itu, beliau juga belum menjadi sekretaris tetapi sebagai anggota biasa di BSNP.

Kami mulai intens bertemu dan berdiskusi, ketika saya diminta menjadi Tim Ahli Standar Kompetensi Lulusan SMK dan lebih intens lagi ketika saya ditunjuk sebagai Ketua Tim Ahli Standar Proses.  Beliau doktor dalam bidang pertanian, alumni S2 di Amerika Serikat dan S3 di IPB Bogor.  Orangnya cantik, berkulit sawo matang, berkerudung dan ramah.  Oleh karena itu mudah akrab dengan orang lain, termasuk saya.

Pada waktu dilaksanakan uji publik Standar Proses Pembelajaran SMK, saya kebagian tugas ke Semarang dan beliau hadir sebagai Sekretaris BSNP.  Karena saat itu saya baru pulang dari Jerman, setelah menjadi visiting scholar selama sekitar 1 bulan, saya sengaja menemui beliau untuk mohon informasi perkembangan penyusunan Standar Proses yang hari itu diuji publik.  Memang saya selalu mendapat informasi dari Dr. Ir. Syaad Padmatara, tetapi tentu sebagai Sekretaris BSNP beliau lebih tahu.

Dalam diskusi sambil makan malam bersama rekan-rekan lain itulah muncul cerita yang unik-unik.  Saat itu, beliau mengeluhkan munculnya beberapa kebijakan pendidikan yang dianggap “aneh-aneh”.  Bahkan beliau bertanya apakah Pak Menteri tidak mendapat masukan yang komprehensif, kok ide yang dimunculkan terkesan aneh dan membuat masyarakat bertanya-tanya. Setelah beliau bercerita dan menumpahkan keluhan, saya nyambung: “Kita ini biasa menanam jagung, belum panen-belum tahu apa baik buruknya, terus ganti acara menanam kedele.  Kedele belum panen, belum tahu baik-buruknya, terus ganti acara menanam padi.  Jadi yang tidak pernah panen dan muter-muter saja”. Saya sengaja menggunakan metapora itu, karena Bu Kiki berlatarbelakang doktor bidang pertanian.

Tampaknya beiau segera menangkap makna dibalik metapora yang saya muculnya, sehingga sambil tertawa lebar mengacungkan jempol dan berkata: “Itu ungkapan yang tepat. Akan saya gunakan nanti.  Akan saya quote sebagai ungkapan Pak Muchlas di Semarang”.   Setelah itu disambung diskusi yang diselingi dengan kelakar dan banyak menyinggung pengalaman selama ini ikut menangani dunia pendidikan.

Nah, ketika sedang makan tempe, saya nyelonong berkomentar “Saya sangat senang tempe, namun belum lama tahu kalau kedele untuk membuat tempe dan tahu ternyata import”.   Sebagai doktor bidang pertanian, tampaknya Bu Kiki terusik oleh “todongan saya”.  Namun dasar beliau suka bercanda, ungkapan itu justru direspons dengan cerita: “Tahun lalu, bekas promotor saya di IPB pensiun.  Saat pelepasan, beliau mengungkapkan kegundahannya di depan pada kolega muda, termasuk bimbingannya.  Beliau bercerita di akhir tahun 1960an beliau masuk IPB dan mengambil spesialisasi kedele, karena kepenasarannya.  Kita ini kan sejak kecil makan tempe dan itu dialami oleh banyak orang di Indonesia.  Tetapi kita import kedele untuk membuat tempe.  Beliau masuk IPB dan beobsesi menekuni kedele agar dapat swasembada. Nah, sampai menjadi doktor, menjadi profesor dan pensiun kok masih tetap saja import kedele.  Jadi satu masalah itu ternyata tidak dapat diselesaikan sampai pensiun”.

Tentu kami yang mendengar cerita itu ikut tertawa kecut.  Kasihan sekali profesor itu. Idealismenya sangat tinggi tetapi harus berbenturan dengan “tembok pembuntu” yang sengaja dipasang orang untuk menutupnya.  Akhirya pensiun dengan membawa fustrasi.  Negeri ini memang banyak misteri, yang sulit dijelaskan secara akademik.  Semoga Pak Profesor itu tidak lagi terlalu gundah, karena sudah berupaya.  Wilayah kita adalah berupaya sebaik mungkin, sedangkan hasil itu wilayah Tuhan yang punya wewengan untuk menentukan.

Tidak ada komentar: