Jumat, 18 November 2016

HOT PLATE



Beberapa hari lalu saya diundang dalam suatu acara oleh USAID di hotel Jogyakarta Plaza, dekat kampus UNY dan USD Jogyakarta.  Seperti tradisi selama ini, USAID tidak menyediakan makan malam.  Oleh karena itu, terpaksa saya mencari sendiri. Untungnya ada anak-anak alumni Unesa yang sedang menempuh S2 di Yogya, sehingga ada teman untuk makan malam.  Sore itu yang datang Zain yang sudah lulus S2 Manajemen tetapi sedang di Jogya dan Amir yang baru semester 1 di S2 Ilmu Ekonomi.

Karena tidak tahu harus makan kemana, saya minta Amir yang menentukan tempat makan malam.  Keluar dari pintu samping hotek, saya diajak berbelok kanan menyusuri jalan antara hotel dengan kampus USD.  Saya kaget ternyata sepanjang jalan itu berjejer warung-warung yang sangat banyak.  Saya bilang kepada Amir kalau saya agak batuk, jadi tolong cari warung yang ada makanan yang panas.  Kalau ada saya ingin makan mie rebus.

Setelah melewati cukup banyak warung yang rata-rata dipenuhi anak muda, Amir mengajak masuk ke sebuah warung yang pada spanduknya ada tulisan mie goreng/rebus.  Warungnya terbuka “ala mahasiswa” dan ternyata pengunjungnya sangat banyak.  Kami bertiga dapat tempat duduk di belakang, sehingga terpaksa melewati banyak meja yang lampir semua terisi anak-anak muda.  Dugaan saya mereka mahasiswa.

Sambil memesan makanan dan juga ketika menunggu makanan dihidangkan saya mengamati apa yang dimakan pembeli di sekeliling kami.  Rata-rata, mereka menghadapi hot plate.  Bahkan beberapa kali pelayan warung itu lewat di depat kami dengan membawa hot plate yang tentu saja bersuara khasnya barang panas dan dengan bau yang khas.

Terpancing oleh situasi itu, saya mengambil lagi daftar menu makanan yang ada di meja. Pada saat pesan, saya tidak melihat karena sejak awal sudah memutuskan ingin makan mie rebus.  Alangkah terkejut ketika pada daftar menu itu saya menemukan berbagai jenis makanan dengan label hot plate.  Ada hot plate ayam, hot plate sapi, hot plate tahu, hot plate jamur, hot plate sayuran dan juga ada hot plate lengkap.  Ternyata Amir juga pesan hot plate ayam.

Terdorong rasa ingin tahu, besuknya ketika kami makan bersama lagi, saya memesan hot plate ayam.  Porsinya besar ala mahasiswa, rasanya biasa saja seperti ayam bumbu rujak, penyajian juga sederhana.  Harganyapun hanya 20 ribu.  Benar-benar khas mahasiswa.  Yang membedakan dengan warung mahasiswa di Surabaya yang sering saya kunjungi adalah “pakaging-nya”.  Dengan bahan lokal, seperti daging sapi, daging ayam, tahu, wortel, sawi, kol, jamur dan sejenis itu, tetapi dimasak dengan pakaging “mewah” yaitu hot plate.

Sambil makan dan bahkan ketika membayar, saya mencermati kasir, juru masak dan tentu saja yang melayani. Sambil membayar saya bertanya, siapa “bos” warung itu dan mas yang menjadi kasir menunjuk seseorang yang duduk di dekat pintu.  Ternyata masih muda.  Dugaan saya berumur sekitar 30-40 tahunan.  Berpakaian sangat sederhana, dengan gaya anak muda.  Berkaos oblong putih dengan tulisan yang tidak terbaca, karena agak jauh.

Pulang dari makan malam itu, saya merasa belajar banyak dari para pengusaha warung, juru masak dan pelayannya. Menurut saya idenya sangat cemerlang.  Mereka mampu membaca peluang, memanfaatkan bahan mentah yang ada, diolah sesuai dengan selera konsumen, dikemas sesuai dengan konsumen.

Pengusaha warung itu tampaknya menemukan bahwa lokasi itu ditengah-tengah tiga kampus besar, yaitu UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), USD (Universitas Sanata Darma) dan UII (Universitas Islam Indonesia).  Dengan demikian, makanan dikemas ala mahasiswa, jenis makanan, porsi harga, maupun seting ruangan warungnya.  Jadilah deretan warung yang gaya warungnya ala anak muda, makananya ala anak muda dan harganya ala mahasiswa. Mungkin itu yang menjadi kunci betapa larisnya warung di lokasi itu.  Semoga kita dapat belajar kepada warung-warung itu.

Tidak ada komentar: