Kamis, 19 Januari 2017

MENJADI PEMIMPIN TERUS BERUBAH



Sabtu lalu saya berkunjung ke rumah kawan untuk mengerjakan sesuatu.  Seperti biasanya, di sela-sela pekerjaan, kami ngobrol “ngalor-ngidul”.  Nah, ketika itu ada cerita tentang kawan lain yang setahun lalu dipromosikan pada suatu jabatan tertentu.  Kawan yang bercerita itu kebetulan menjadi anak buahnya.  Menurut si empunya cerita, kawan yang mendapat jabatan baru itu seakan berubah 180 derajat.  Yang bersangkutan suka marah-marah, minta dilayani ini dan itu.  Bahkan kalau beliau tiba di kantor, satpam diminta baris dan memberi hormat.

Teman lain yang ikut hadir menambahi, jika ingin bertemu dengan anak buah, si bos baru itu meminta sekretarisnya untuk memanggih anak buah yang diperlukan.  Seakan tidak mau menghubungi langsung.  Kalau harus memberikan sambutan, si bos baru minta dibuatkan dan bahkan minta ada yang membawakan map sambutan dan memberikan saat si bos sudah di podium.   Teman yang bercerita itu mengatakan, anak buahnya sering rasan-rasan kalau di bos baru itu “gila hormat”.

Saya kaget dan setengah tidak percaya dengan cerita itu.  Saya mengenal teman yang digunjingkan itu sejak lama dan menurut saya yang bersangkutan termasuk “culun” dalam pergaulan keseharian.  Rasanya sangat aneh, kalau tiba-tiba minta dihormati termasuk oleh anak buah yang sebelumnya merupakan kawan akrab.  Ketika si empunya cerita mencoba meyakinkan saya dan minta teman lain yang hadir ikut memberikan kesaksian, saya tetap belum percaya.  Paling tidak, setengah percaya-karena di empunya cerita biasanya jujur, setengah tidak percaya-karena selama ini orang digunjingkan termasuk “culun”.

Memang di perguruan tinggi itu jabatan bagai mimpi semalam, karena secara praktis tidak ada penjenjangan karier.  Dapat terjadi seseorang yang semula dosen biasa, tahu-tahu langsung jadi ketua juruan, dekan, ketua lembaga dan sebagainya.  Seingat saya hanya rektor yang untuk mencalonkan diri harus pernah menduduki jabatan minimal setingkat ketua jurusan.   Sebaliknya, juga biasa saja seorang dekan atau rektor habis masa jabatannya.  Lebih dari itu tidak ada pelatihan untuk menjadi ketuan jurusan, dekan, rektor dan jabatan lainnya. Jadi memang bisa jadi orang kaget dengan menerima jabatan baru itu.

Gunjingan itu menyebabkan kami berhenti bekerja.  Ternyata kebiasaan bergunjing juga menjangkiti kami. Kami yang hadir saling menanggapi sambil berkelakar.  Karena sebagian diantara yang hadir juga pernah menjabat dan bahkan ada beberapa orang yang saat ini sedang menjabat, kami saling meledek.  Teman yang pertama mulai menggunjingkan bos baru, diledek jangan-jangan itu karena iri, karena merasa lebih pantas menduduki jabatan itu.  Tentu saja yang bersangkutan menyangkal, walaupun teman lain terus menggoda.

Sepulang dari kerja bareng itu, saya merenung.  Apa dahulu ketika menjadi birokrat, saya juga seperti itu ya?  Saya mencoba mengingat-ingat.  Seingat saya, pada awal menjabat saya juga sering marah karena banyak hal yang “tidak beres”. Waktu terjadi banjir saya marah, karena staf yang semestinya menangani itu enak-enak di kantor.  Pada hal saya menduga ada selokan yang buntu di pojok kampus.  Saya ajak staf tersebut melihat selokan di pojok kampus dan benar tersumbat oleh sampah.  Saya juga sempat marah kepada staf Bank BTN.  Saat itu mahasiswa harus lapor ke BAU ketika sudah membayar SPP, dengan membawa bukti bayar dari bank. Ketika saya tanya apakah BTN tidak bisa begitu ada mahasiswa membayar datanya masuk ke Unesa, jawaban staf tersebut berbelit-belit.  Saya menyampaikan, Bank Mandiri itu menjadi bank penerima uang pendaftaran SBMPTN di seluruh Indonesia dan begitu ada calon mahasiswa mmbayar, datanya langsung masuk ke panitian SBMPTN.  Dengan demikian panitia dapat mengetahui berapa jumlah pendaftar secara real time.  Akhirnya dengan agak marah, BTN saya ancam kalau sampai tanggal tertentu tidak dapat menerapkan sistem seperti di bank Mandiri untuk SBMPTN, Unesa akan pindah ke bank lain.

Mengingat itu, saya takut sendiri. Jangan-jangan saya dulu juga berperilaku seperti kawan yang digunjingkan tadi.  Apakah istilah OKB (orang kaya baru) dapat dilebarkan menjadi MPB (menjadi pemimpin baru)?  Apakah perilaku aneh pada OKB juga terjadi pada MPB?  Apakah ketika seseorang menjabat sebagai pemimpin kemudian perilakunya berubah, karena ingin menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah pemimpin?  Apakah semacam itu merupakan euforia yang hanya berlangsung sesaat atau terus berlanjut?  Apakah saya dulu juga mengalami sebagai MPB?

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Bapak memang luar biasa. Salut buat kepemimpinan bapak selama saya menimba ilmu di unesa. Sukses selalu

Kamarus Samsul Arif mengatakan...

Kalo Prof Muchlas jadi pejabat birokrasi tetap seperti biasa.........
Cuman bedanya sudah ndak pernah neraktir saya seperti waktu satu rumah di Jakarta dulu.......he he he......