Senin, 11 September 2017

Catatan untuk Perpres tentang Penguatan Pendidikan Karakter-2



Beberapa hari ini, di salah satu grup WA yang saya ikuti terjadi diskusi virtual yang ramai sekali tentang Perpres 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.  Sebagian besar anggota grup WA itu memang para tokoh yang dahulu malang melintang di dunia pendidikan, baik sebagai birokrat maupun akademisi.  Bahkan sebagian masih eksis sampai saat ini.

Diskusi itu dipicu oleh pertanyaan salah seorang anggota grup “bukankah substansi Perpres itu sudah ada di Kurikulum 2013?”.  “Mengapa tidak memperkuat saja implementasi Kurikulum 2013?”.  Seperti kebiasaan diskusi virtual, kemudian muncul berbagai pendapat, ada yang mendukung, ada yang mempertanyakan, ada yang konsisten berbicara pada topik itu, dan ada pula yang pembicaraannya bergesera kemana-mana.

Saya tidak mungkin menceritakan isi diskusi virtual yang seru itu, satu demi satu.  Saya sudah menjelaskan bahwa pendidikan karakter memiliki landasan yuridis yang sangat kuat, karena tertuang dalam UU Sisdiknas, SKL dan Kurikulum 2013. Juga memiliki landasan teori yang sangat kuat.  Konsep Ki Hajar Dewantara yang dicetuskan pada  tahun 1930 menyebutkan tidak titik penting pendidikan yaitu karakter, intelektual dan fisik.  Konsep serupa diajukan oleh Bloom pada tahun 1956 yang dikenal dengan taksonomi Bloom, yaitu afektif, kognitif dan psikomotor.  Pada tulisan singkat ini, saya ingin berbagi yang melandasi pemikiran Ki Hajar dan Bloom itu, sehingga pendidikan karakter dapat ditempatkan dalam konteks pendidikan secara utuh. 

Kalau kita runut, proses pendidikan itu sudah ada sejak ada manusia di bumi ini.  Ketika kehidupan masih sederhana, belum ada sekolah, belum ada pondok pesantren, belum ada padepokan, belum ada lembaga seperti itu, maka anak-anak didik oleh orangtuanya sendiri dan atau oleh orang dewasa di sekitarnya.  Apa isi pendidikan saat itu?  Paling tidak dua aspek, yaitu tentang bagaimana bertahan hidup dan bagaimana menjadi anggota keluarga/ masyarakat yang baik.  Aspek pertama berwujud belajar mencari makan, baik berburu maupun bercocok tanam dan menjaga keselamatan diri, baik dari binatang buas ataupun serbuan kelompok masyarakat lain.  Aspek yang kedua berwujud norma-norma kehidupan bersama, baik dalam keluarga maupun masyarakat (kelompok).  Kedua aspek itu harus ada, dengan prinsip ini dan itu secara seimbang.  Mengapa? Karena keduanya diperlukan dalam kehidupan dan karena kehidupan selalu utuh berisi kedua aspek tersebut.

Apakah konsep pendidikan kuno itu masih relevan di era digital sekarang?  Sangat relevan.  Mari kita tengok konsep 4-C yang diyakini banyak ahli merupakan kompetensi abad 21, yaitu critical thinking, creativity, communication, dan collaboration.  Studi majalah The Economist dengan sponsor Google juga menemukan hal serupa, yaitu problem solving, communication, collaboration, critical thinking dan creativity.   Bukankah keempat kompetensi dalam 4-C dan kelima kompetensi dalam studi The Econominst menunjukkan pentingnya karakter?  Tentu untuk mampu berkomunikasi dan berkolaborasi dengan orang lain diperlukan karakter yang baik.

Seperti catatan yang disampaikan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan karakter, intelektual dan fisik tidak boleh dipisahkan karena penyatuan ketiganya akan membentuk kesempurnaan hidup anak, maka ke 4 C dan kelima kompetensi ala The Economist tersebut harus dimaknai sebagai suatu kesatuan, karena masalah kehidupan yang dihadapi manusia tidak pernah parasial, tetapi holistik.  Menyelesaikan selokan buntu di depan rumah saja diperlukan berbagai kemampuan, karena harus dapat berkomunikasi dan bekerjasama dengan orang lain, paling tidak tetangga di kiri kanan rumah.  Diperlukan kemampuan menganalisis kenapa selokan menjadi buntu dan bagaimana dapat diatasi secara kreatif.

Nah, kemampuan menyatukan 4-C atau 5 kompetensi ala The Economist, tiga titik penting ala Ki Hajar, dan tiga ranah ala Blooom itu seharusnya diajarkan sejak dini.  Itulah maksud pembelajaran tematik di SD pada Kurikulum 2013. Matapelajaran harus difahami sebagai seperangkat alat, yang penggunaanya disesuiakan dengan kebutuhan yang seringkali secara berbarengan atau saling menguatkan.

Tidak ada komentar: