Kamis, 21 September 2017

Mbak Alfi



Saya tidak tahu nama lengkapnya, karena nama itu yang saya dengar ketika yang bersangkutan mengenalkan diri kepada isteri saya.  Usianya sekitar 30 tahunan, perawakan kecil, berkulit hitam manis.  Mbak Alfi adalah salah satu tukang potong rambut, yang bekerja di suatu salon di mal dekat rumah saya.  Mbak Alfi selalu memakai celana jin dan kaos berwarna hitam yang ditutup dengan baju seragam salon.  Seperti itulah pakaian seragam petugas salon tersebut.

Saya bertemu pertama dengan Mbak Alfi sekitar setahun lalu.  Waktu itu rambut saya sudah panjang dan ingin potong.  Tukang potong rambut langganan saya, Pak Muhsin, tidak buka.  Pada hal besuknya saya harus ke luar kota cukup lama.  Akhirnya isteri memaksa saya untuk potong rambut di salon dekat rumah.  Seumur-umur itulah pertama kali saya potong rambut di salon.

Pekerjaan Mbak Alfi sangat rapi. Saya sangat senang, walaupun agak risi ketika di dalam salon karena ada beberapa ibu-ibu atau mbak-mbak yang juga sedang potong rambut atau apa yang saya tidak tahu.  Yang pasti ibu-ibu atau mbak-mbak itu sudah dilayani (ditangani oleh petugas) tetapi sampai saya pulang masin belum selesai.  Tampaknya memotong rambut atau menggerjakan rambut wanita sangat lama.

Karena cocok dengan pekerjaannya, isteri saya meminta nomor HP Mbak Alfi dengan harapan suatu saat potong rambut kepadanya lagi.  Apalagi infonya tukang potong rambut di salon juga dapat dipanggil untuk memotong ke rumah, asal tidak jadwalnya dinas.  Sayangnya nomer HP itu hilang, sehingga kami tidak pernah dapat kontak dengan Mbah Alfi.  Apalagi Pak Muhsin sudah kembali ke Surabaya dan aktif buka stan potong rambut di gang kecil dengan rumah saya.

Hari ini pas liburan 1 Muharam saya ingin potong rambut.  Kebetulan rambut sudah panjang dan besuk sore akan keluar kota sampai minggu.  Oleh karena itu, isteri menghubungi Pak Muhsin bertanya buka apa tidak potong rambutnya.  Ternyata beliau sedang mudik ke Madura.  Akhirnya, setelah sholat dhuhur dan makan siang, saya bersama isteri menyusuri jalan di dekat rumah mencari tukang potong rambuat yang buka.  Ternyata tidak ada. Tiga tempat poting rambut semuanya tutup.  Akhirnya diputuskan ke salon tempat Mbak Alfi bekerja dengan harapan beliau pas tugas.

Ahamdulillah, begitu isteri masuk Mbak Alfi menyamutnya dengan hangat.  Seperti  ketika dahulu ketemu, Mbak Alfi mengenakan celana jin dan kaos hitam.  Rambutnya sekarang dipotong pendek sekali, seperti laki-laki dan berkacamata.  Ternyata isteri saya sudah pernah potong lagi setelah dengan saya dulu, sehingga keduanya tampak akrab.  Saya ditegur kok lama sekali tidak potong.  Tentu saya tidak bilang kalau potong ke Pak Muhsin, tetapi dengan agak berkelakar saya bilang “lha kalau kesini Mbak Alfi tidak ada”.  Beliau menjawab, mungkin pas giliran tugas sore hari.

Sambil memotong rambut saya, Mbak Alfi bercerita kalau salon itu akan ditutup nanti bulan Desember.  Sepertinya karena pelanggannya menurun. Saya bertanya “terus Mbak Alfi gimana”.  Beliau ya akan dipindah ke cabang lain, tetapi agak jauh.  Dari suaranya tampak sekali Mbak Alfi sedang gundah.  Mau ikut pindah ke cabang lain, jaraknya cukup jauh.  Mau ikut salon lain tidak mudah mendapatkannya.  Mbah Alfi bertanya apakah saya tidak punya ruang di depan rumah untuk membuka potong rambut. 

Mendengar keluh kesah Mbak Alfi saya menjadi bingung.  Di satu sisi saya kagum dengan dia, yang dengan membanting tulang menjadi tukang potong rambut demi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.  Di sisi lain, kok nasib tukang potong rambut sangat tergantung pada salon tempat kerjanya.  Apa yang terjadi jika Mbak Alfi tidak dapat kerjaan?

Ketika akan mengganti asesoris gunting sorok, sepertinya Mbak Alfi kesulitan menemukan dan kemudian membongkar tasnya.  Melihat itu isteri saya bertanya, perlengkapan potong seperti itu milik salon atau milik Mbak Alfi.  Mbak Alfi menjawab “semua milik pribadi”.  Saya kaget mendengar jawaban itu.  Berarti salon hanya menyediakan tempat ya.  Akhirnya saya beranikan diri bertanya, apakah Mbah Alfi tidak membuat layanan potong rambut di rumah pelanggan saja.  Mirip gofood dan go-massage-nya Gojek.  Tampaknya Mbak Alfi tertarik, karena sudah punya pelanggan seorang Bapak-bapak yang kebetulan menggunakan kursi roda.  Jadilah kami, Mbak Alfi dan saya, tukan pikiran bagaimana agar keinginan membuka layanan tukang potong rambut panggilan itu jalan dan Mbak Alfi tidak tetap dapat memperoleh penghasilan demi menghidupi keluarganya.  Kita dapat belajar dari kegigihan Mbak Alfi dalam menjalani hidup.

Tidak ada komentar: