Sabtu, 02 September 2017

TUWEK-TUWEKAN



Tanggal 1-2 September saya pulang kampung bersama isteri.  Sudah agak lama tidak pulang kampung, bahkann Idul Fitri yang lalu juga batal pulang kampung karena cucu sedang rewel karena sariawan berat.  Oleh karena itu, mumpung ada libur 3 hari dan kebetulan tidak ada acara saya sepakat dengan isteri memanfaatkannya untuk menengok keluarga di kampung dan nyekar ke makan almarhum bapak dan ibu.

Dua hari di kampung halaman juga saya manfaatkan ketemu teman-teman di Yayasan Pendidikan Sumoroto.  Sebuah yayasan yang berdiri 37 tahun lalu dan pernah mengelola SMA swasta yang kemudian tutup karena berbagai alasan.  Gedung sederhana bekas SMA tersebut sekarang digunakan untuk MIT Amaanatul Umah (MITAU) yang sangat unik.  Insya Allah akan saya ceritakan pada tulisan berikutnya.

Sepertinya teman-teman ingin bertemu engkap. Buktinya saya di-WA Kang Bari, bendahara yayasan, yang mengirimkan undangan resmi.  Saya lihat  undangan agak unik, karena yang tanda tangan Ketua, Dik Wito, dan Wakil Ketuanya, Pak Djarot.   Kang Bari juga memberitahu kalau Kang Min, teman pensiunan BRI yang sekarang tinggal di REWIN Waru juga pulang.  Dalam hati saya senang membayangkan akan ketemu teman-teman lama.

Tanggal 2 pagi-pagi Dik Wito ke rumah.  Maksudnya ke rumah keluarga saya di kampung dan bercerita lucu.  Katanya yang mengetik undangan Kang Bari.  Teman pensiunan BRI Takengon Aceh ini dengan gagah berani sanggup mengetik undangan, biar teman-teman lain datang.  Nah, setelah undangan jadi dan akan ditandatangani ternyata terulis rapat diadakan pada tanggal 31 September 2017.  Lha, rapatnya kan tanggal 2 kok ditulis tanggal 31.  Dan lagi Septemer kan hanya sampai tanggal 30.  Ketika itu disadari, muncul kelakar “yo ngene iki wong tuwek (ya begini ini orang sudah tuwa)”.  Ketika undangan dimintakan tanda tangan ke Pak Djarot, dengan semangat beliau segera tanda tangan dengan semangat.  Lah, setelah selesai ternyata Pak Djarot tanda tangan dengan ball point warna merah.  Ketika sadar kalau keliru, kembali muncul kelakar “wong tuwek ki orang isi mbedakno mangsi abang op ireng (orang tuwa tidak dapat membedakan tinta merah apa hitam)”.

Saya ikut tertawa mendengar cerita itu.  Ya, kami memang orang-orang tua yang 37 tahun lalu dengan semangat ingin mendirikan SMA, karena saat itu di kecamatan kami belum ada SMA, baik negeri maupun swasta.  Setelah itu, saya bertanya “kok sing teken ketua karo wakil iku piye (kok yang tanda tangan ketua dengan sekretaris)”.   Ternyata Dik Edi, sekretaris, meninggal beberapa bulan lalu.  Saya kaget, karena tidak mendapat kabar dan Dik Edi jauh lebih muda, baru saja beliau pensiun dari Pemda Ponorogo.

Setelah Dik Wito pulang, saya dengan isteri segera ke makam almarhum bapak dan ibu.  Selesai ke makan saya segera berangkat ke rapat dan sungguh menyenangkan karena yang hadir cukup banyak. Pak Isdi dan Bu Isdi, anggota yayasan yang dahulu memiliki lahan yang sekarang menjadi gedung MITAU juga hadir.  Juga hadir para “tokoh muda” dibalik berdirinya  MITAU, ustad dan ustadzah, dan beberapa wali murid.

Rapatnya santai dan tidak ada topik yang serius.  Sepertinya hanya ingin kangen-kangenan, sekaligus memperat persaudaraa antara teman-teman laskar tua dengan tokoh-tokoh muda pengelola MTAU.  Dik Wito yang memimpin rapat juga banyak bercerita tentang riwayat yayasan.  Dik Widodo, yang mewakili generasi muda pejuang MITAU juga menceritakan awal berdirinya MITAU sekaligus melaporkan perkembangannya.

Ketika Dik Wito mengucapkan penghargaan yang sangat tinggi kepada Pak Isdi dan Bu Isdi, para anak muda pejuang MITAU tampak geleng-geleng kepala.  Bagaimana tidak, Pak Isdi bukanlah orang kaya raya.  Secara ekonomi memang cukup lumayang untuk ukuran orang desa.  Tetapi tokoh yang saat ini berumur 85 tahun itu sangat unit cara beramalnya untuk yayasan.  Kebetulan, rumah beliau mepet dengan lahan yayasan.  Nah ketika yayasan mulai membangun gedung dan tampak lahannya kurang memadai, beliau minta agar membeli sebagian tanahnya yang mepet itu.  Namun, yayasan kan tidak punya uang.  Beliau yang usul, sertifikat tanah itu dipinjamkan kepada yayasan untuk agunan meminjam uang ke bank.  Nah uangnya untuk membayar tanah itu.  Sungguh keiklasan yang luar biasa.

Kelucuan mulai terjadi ketika Dik Wito mengajukan gagasan perlunya regenerasi yayasan.  Beliau mulai dengan mengatakan kalau sudah tidak sanggup rapat malam-malam seperti dulu, karena takut masuk angin.  Saya menimpali hal yang sama, karena usia saya sudah masuk 66 tahun dan 1 tahun lebih tua dibanding Dik Wito.  Kang Bari yang duduk di sebelah saya tampak tidak mau kalah, “lha aku wis 70 (lha, saya sudah 70 tahun).  Pak Djarot seperti juga tidak mau kalan, “lha aku wis 80 ning isih speda motoran deww (lha, saya sudah 80 tahun tetapi masih naik motor sendiri)”.  Jadi sangat bagus ide Dik Wito, lha pengurus yayasan sudah tua-tua.  Apalagi menurut Dik Wito perintis yayasan yang dahulu berjumlah 39 orang saat ini tinggal 9 orang.  Itupun beberapa orang sedang sakit.

Ketika rapat selesai, kami makan siang dengan nasi krawu ala Sumorot, yaitu nasi dengan sayuran yang dicampur dengan kelapa diparut.  Sambil makan dan mencoba membuat draf regenerasi kelakar terus bermunculan di sekiat “tuwek-tuwekan (terkait dengan orang-orang tua)”.  Siapa saja yang sudah meninggal, termasuk Dik Edi yang sudah meninggal pada hal tergolong yang “yunior” karena baru 60 tahun.   

Namun juga ada informasi menarik tentang Bu Diah, notaris yang membantu pengurusan sertifikat lahan sekolah.  Beliau memang putri Kang Tutuko, salah seorang anggota yayasan yang juga hadir. Bu Diah tidak mau dibayar dan bahkan ingin menjadi donatur tetap serta setiap bulan agar ada petugas yang mengambil donasinya.  Tidak hanya itu, beliau tampaknya berhasil meyakinkan Kepala BPN agar “orang-orang tua” yang sedang mengurun sertifikat diberi kemudahan.  Konon ketika Pak Isdi dkk yang sudah “tuyuk-tuyuk” itu datang mengurus sertifikat tanah yayasan, diminta ke ruang kepala BPN dan disuguhi jajanan.  Kalimat yang diucapkan juga sungguh baik, “bapak-bapak sudah berbuat untuk anak bangsa, sementara kami ini belum”.

Tidak ada komentar: