Minggu, 03 September 2017

MITAU-PROFIL SEKOLAH PEDESAAN



Bahwa gedung milik Yayasan Pendidikan Sumoroto yang dahulu dipakai SMA, sekarang dipakai Madrasah, saya sudah tahun sejak tahun lalu.  Seingat saya Kang Min yang memberitahu dan meyakinkan saya untuk ikut mendukung.  Pertimbangan utama, agar amal para perintis yang sebagian sudah “pulang ke zaman kelanggengan”, begitu Kang Min menyebutnya, tidak mubazir.  Namun nama madrasah yaitu Madrasah Ibtidaiyah Terpadu Amaanatul Umah (MITAU), saya baru tahu saat pulang kampung awal bulan ini.

Saat Dik Wito datang pagi-pagi sebelum rapat, saya menanyakan nama itu.  Pertama istilah “terpadu”, karena biasanya sekolah Islam terpadu digunakan oleh teman-teman yang berafilisasi dengan partai tertentu.  Saya juga pernah beberapa kali diminta untuk memberikan pembekalan pada acara Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT).  Saya tanyakan karena afiliasi Yayasan Pendidikan  Sumoroto adalah “partai merah putih”, meminjam istilah Dik Wito.  Artinya tidak berafilisasi dengan partai atau organisasi tertentu dan sejak awal ditujukan untuk ikut memajukan pendidikan di eks Kawedanan Sumoroto.

Saya gembira saat mendapat penjelasan bahwa MITAU tidak berafilisasi pada organisasi tertentu.  Istilah terpadu digunakan semata-mata ingin memadukan pendidikan umum dengan pendidikan keagamaan dengan kesadaran pendidikan keagamaan di daerah itu memerlukan perhatian khusus.  Itu sebabnya diterapkan pola full day.  Anak MITAU masuk pukul 07.00 dan pulan setelah sholat Ashar.  Siang hari anak-anak mendapat makan siang dan istirahat.  Setelah itu ada pelajaran lagi diakhiri dengan mandi, sholat Ashar berjamaah baru pulang.  Jadi anak-anak pulang dalam keadaan sudah mandi sore dan sholat Ashar.

Pertanyaan kedua adalah nama Amaanatul Umah.  Setahu saya nama itu sudah digunakan oleh sekolah di bawah asuhan Kyai Asep yang berlokasi di Siwalankerto Surabaya dan kini memiliki “cabang besar” di Pacet.  Saya gembira lagi ketika mendapat penjelasan nama itu sudah mendapat ijin dari Kementerian Agama, karena berbeda lokasi dan berbeda logo. Digunakan nama itu dengan maksud generasi muda perintis MITAU ingin meneruskan amanah para pendiri yayasan.

Ketika mengunjungi madrasah dan mengikuti penjelasan Pak Widodo, perintis MITAU, sungguh saya terkesima.  Ternyata mereka perintis MITAU itu para guru MIN di desa Bogem, yang berjarak sekitar 5 km dari lokasi MITAU.  Memang mereka pada umumnya bertempat tinggal di sekitar lokasi MITAU.  Nah, ketika melihat ada gedung cukup baik dan nganggur, muncul keinginan untuk memanfaatkannya dengan bekal pengalaman mengelola MIN.

Di awal rapat, seperti azimnya, ada bacaan ayat suci Al Qur’an.  Yang membacakan anak kelas 2 bernama Ines dengan menggunakan seragam olahraga.  Pak Widodo menjelaskan, semula yang akan membaca Al Qur’an ustadzah, tetapi kebetulan yang bersangkutan “berhalangan syar’i, sehingga Ines yang sedang olahraga dipanggil untuk menggantikan.  Ines membaca surat Al Waqiah dengan cukup baik.  Sangat membanggakan, masih kelas 2 awal sudah mampu membaca Al Waqiah tanpa teks, dengan tajuit cukup baik, dengan penampilan tatak (tidak takut dan tidak ragu-ragu).   Menyimak itu, saya melihat suatu awal yang baik bagi pendirian MITAU.

Setelah itu Pak Widodo menjelaskan perjalanan MITAU selama 1 tahun 2 bulan.  Tahun pertama mendapat murid 14 orang dan tahun kedua mendapat murid 26 orang plus tambahan pindahan untuk kelas 2 sebanyak 2 orang.  Dengan demikian jumlah murid saat ini 42 orang.  Karena full day MITAU diasuh oleh 4 orang ustad/ustadzah.  Berapa SPPnya?  Saya terkejut ketika Pak Widodo menyebutkan tahun ini SPP tidak naik, tetap sama dengan tahun lalu sebesar 25 ribu rupiah.  Terbayang di benak saya, berarti pendapatan MITAU hanya 1 juta rupiah per bulan dengan 4 pengasuh.  Lantas berapa gaji mereka?  300 rb/bulan, pada hal lulusan S1 dan sekolahnya full day.

Di samping SPP, siswa membayar 4 rb/per hari sekolah untuk makan siang dan snack.  Luar biasa, para ustad/ustadzah dapat mengatur uang 4 rb untuk snack setelah sholat duha dan makan siang setelah sholat dhuhur.  Bahkan menurut Dik Wito yang mengintip catatan keuangan, masih ada sisa karena seringkali ada wali murid yang menyumbang beras dan sayur.

Mendengar uraian itu, Kang Tutuko segera mengajukan ide agar ada donatur tetap untuk mendukung MITAU.  Memang sudah ada kesepahaman bahwa operasional madrasah harus dapat didukung oleh “penghasilan madrasah”, tetapi dengan kondisi itu tentu tidak mampu menangani perawatan fasilitas apalagi menambah ini dan itu.  Oleh karena itu, dana dari donatur itu yang akan dimanfaatkan untuk keperluan di luar operasional madrasah.  Di luar dugaan, hampir semua peserta rapat mendukung gagasan itu.  Bahkan seorang ibu wali murid ikut angkat bicara mendukung dan akan ikut menjadi donatur plus mengajak orang lain.

Segera saja, Mas Bangkit-putra Kang Brendil, salah satu pendiri yayasan, ditugasi untuk menyiapkan ini dan itu terkait dengan penggalanagn donatur tetap.  Karena ada kemungkinan donatur yang bertempat tinggal di luar Sumoroto sehingga tidak dapat diambil, dirancang dapat langsung mentrasfer ke rekening Yayasan dengan catatan mengirim sms agar dapat diadministrasikan.  Hal itu dimaksudkan agar setiap bulan dapat dibuat laporan berapa dan dari mana saja dana donatur diperoleh dan digunakan untuk apa saja.  Transparasi harus dijaga sejak awal.

Sepulang rapat dan sempat mengunjungi Pak Fendi, salah satu pendiri yayasan yang sedang sakit, saya merenung.  Betapa gigihnya Pak Widodo dan kawan-kawan dalam merintis MITAU. Betapa “senjangnya” sekolah kita.  MITAU dengan SPP 25 ribu tanpa uang sumbangan lainnya, pada hal full day dan ustad/ustadzah bergaji 300 ribu per bulan.  Sementara itu di kota besar banyak SD yang SPPnya lebih dari 1 juta per bulan dengan uang sumbangan awal mencapai 15 juta.  Moga-moga MITAU segera mendapatkan BOS agar para ustad/ustadzah dapat hidup layak.

Tidak ada komentar: