Minggu, 17 September 2017

PENGUNGKIT PERADABAN KITA



Minggu tanggal 17 September 2017 pagi saya naik kereta api Maharani dari stasiun Pasar Turi ke Bojonegoro.  Naik kereta pagi-pagi, pukul 06.00, dengan harapan dapat sampai di Bojonegoro sebelum pukul 08.00, sehingga dapat mengikuti pelatihan guru yang ditangani beberapa teman.  Seperti saya ceritakan sebelumnya, pelatihan telah dimulai hari Sabtu tanggal 16 September.  Namun hari itu saya terlanjur janji mengisi acara di Universitas Atmajaya Jakarta, sehingga baru dapat bergabung hari Minggu.

Memasuki stasiun, mengeprint tiket, masuk pintu penjagaan, naik kereta sampai kereta api berjalan dan membeli nasi goreng untuk sarapan, saya sungguh bangga.   Stasiun sangat bersih, mengeprint tiket sendiri seperti di negara maju, masuk dengan antrean rapi, tiket diperika dengan scanner, gerbong berAC dan sangat bersih, penumpang masuk dengan antre rapi.  Walaupun kereta ekonomi, gerbong Ekonomi 1 yang saya naiki sunggug nyaman. Bahkan ada colokan untuk meng-charge HP atau laptop di dinding gerbong di dekat setiap tempat duduk.

Ketika kereta mulai berjalan, diumumkan agar penumpang duduk di kursi sesuai dengan tiket dan pemeriksaan tiket akan segera dimulai.  Kebetulan dua tempat duduk di samping saya  saya kosong (di kelas ekonomi satu deret terdiri dari tiga tempat duduk), demikian juga tiga tempat duduk di depan saya.  Namun tidak ada orang yang pindah ke kursi itu, sampai akhirnya ditempati penumpang yang naik dari stasiun Lamongan.  Sungguh tertib.  Kondektur juga tidak memeriksa tiket secara konversional, tetapi hanya mencocokkan duduk penumpang dengan alat yang dipegang.  Sepertinya, di alat itu tampak mana kursi yang  kosong dan mana yang isi.  Sungguh sudah modern.  Kereta api kelas ekonomi kita tidak kalah dengan trem di negara maju.

Ketika kereta api sampai menjelang Lamongan, ada mbak-mbak restorasi yang menawarkan nasi goreng.  Mbak tersebut memakai celana panjang dan baju lengan panjang warna biru toska, rambut disanggul mirip pramugasi Garuda, memakai topi mirip songkok sewarna dengan bajunya dengan diberi strip warna ping.  Mbaknya cantik, berkulit hitam manis dan menawarkan nasi goreng dengan sopan tanpa ada kesan memaksa atau merengek agar penumpang membeli.

Saya membeli karena berangkat dari rumah pukul 04.30 dan belum sarapan.  Nasi goreng dengan tambahan telor mata sapi, sepotong ayam goreng, potongan mentimun kecil-kecil, kerupuk udang dan sambal ABC sasetan. Nasi goreng dan perlengkapannya itu dimasukan dalam kotak plastik berwarna coklat, bertutup plastik transparan sehingga kita dapat melihat apa isinya.  Dilengkapi dengan sendok dan garpu plastik plus tisu dan tusuk gigi yang dimasukkan dalam kantong plantik.

Sambil makan nasi goreng yang lumayan enak, saya berpikir “ternyata kereta api kita sekarang bagus dan penumpangnya sangat tertib”.  Saya jadi teringat pengalaman yang mirip ketika beberapa waktu lalu pulang kampung dan naik kereta api Gaya Baru, Surabaya-Madiun.  Sama bagus dan tertibnya penumpang. Bahkan waktu itu, saya tertegun melihat penumpang yang sangat tertib saat menunggu kereta datang di stasiun Gubeng.  Sungguh berbeda dengan situasi di kereta api dan stasiun masa lalu, yang sangat bising, gerbong yang panas dan kotor, penumpang berjubel dan pedagang masuk gerbong dengan setengah memaksa penumpang untuk membeli dagangannya.

Mengagumi perubahan peradaban kita di stasiun dan dalam gerbong kereta api, saya teringat diskusi kami di Gedung Rektorat Unesa beberapa minggu lalu.  Saat itu ada diskusi tetang Pendidikan Vokasi dengan menghadirkan Pak Gosee, orang Jerman yang ditugasi membantu program Revitalisasi Pendidikan Vokasi di Indonesia.  Sambil menunggu acara, Pak Gosee, Pak Agus-dari Kadin Jawa Timur berdiskusi dengan Pak Rektor, Bu WR-1, Pak WR-2, Pak Direktur Pascasarjana dan beberapa orang lain.  Ketika saya datang bersama Pak Dekan FT untuk bergabung, Pak Gosee menyampaikan pendapat kalau orang Barat itu pada dasarnya individual tetapi kalau sudah berada dalam tim, perasaan individual itu hilang karena merasa bagian dari tim dan harus tunduk pada aturan tim.  Pak Gosee heran, mengapa orang Indonesia yang pada dasarnya komunal dan katanya berjiwa gotong royong, kalau berada dalam satu tim seringkali tidak toleran dengan orang lain dan bahkan cederung memaksanakan pendapatnya dan kepentingannya.

Pak Rektor Unesa yang doktor sosiologi menanggapi dengan mengatakan, fenomena seperti itu bukanlah terkait dengan sifat individualis atau komunalis, tetapi sifat egois yang ingin mementingkan diri.  Saya yang tidak punya bekal sosiologi ataupun antropologi tentu tidak dapat memberikan pendapat.  Saya hanya menimpali dengan memberi gambaran apa yang saya amati terhadap perilaku orang, khususya penumpang pesawat di Terminal 1 dan Terminal 2 bandara Juanda.  Saya merasa ada perbedaan yang menyolok.  Fenomena serupa juga terjadi di Terminal 1 dan Terminal 3 bandara Cengkareng.  Penumpang di Terminal 2 Juanda dan Terminal 3 Cengkareng lebih tertib ketika antre dan tidak bising ketika ngobrol dengan temannya.  Sementara penumpang di Terminal 1 Juanda dan Terminal 1 Cengkareng cenderung kurang tertib, seringkali ada yang menyerobot saat antre pemeriksaan (scanning bagasi) maupun check in.

Mendengar fenomena yang saya sampaikan, Pak Rektor mengemukakan karena penumpang di Terminal 2 Juanda dan Terminal 3 Cengkareng adalah penumpang Garuda yang relatif lebih terdidik, lebih baik ekonominya (tiket Garuda lebih mahal).  Apakah itu berarti tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku seseorang, khususnya ketika berada di bandara?  Apakah tingkat ekonomi yang mempengaruhi perilaku?  Atau ada faktor lain?

Bagaimana dengan kereta api?  Apakah penumpangnya berbeda saat masih “rungsep” dengan sekarang yang sangat tertib?  Rasanya tidak ya.  Pagi ini saya mencoba mencermati dan ngobrol dengan penumpang di dekat saya.  Ada ibu-ibu yang sama-sama naik dari Surabaya dan turun di Bojonegoro dan tidak faham cara mengeprint tiket.  Ada ibu-ibu yang turun di stasiun yang saya lupa namanya tetapi kata penumpang lain itu daerah Purwodadi dan juga minta tolong mengeprintkan tiket.  Kalau tingkat pendidikan penumpang belum banyak berubah, apa yang menyebabkan perubahan perilaku mereka ketika naik kereta api?  Apakah karena sistem atau aturan yang diterapkan yang mengubahnya? Apakah karena semua penumpang punya tempat duduk, sehingga mereka tertib?  Apakah karena kereta bersih dan berAC, sehingga penumpang terdorong berperilaku bersih?  Apakah karena stasiun bersih dan hanya penumpang yang boleh masuk ruang tunggu, sehingga situasi ruang tunggu menjadi rapi?  Atau ada faktor lain?

Jika perubahan atau perbedaan perilaku penumpang pesawat dan kereta api itu dapat dianggap sebagai perubahan atau perbedaan peradaban atau budaya dan kita menganggap peradaban atau budaya itu penting bagi pembangunan bangsa ini, perlu ada pakar yang dapat menganalisis, sehingga ditemukan faktor penyebab perubahan atau perbedaan tersebut.  Dengan ditemukan faktornya, kita dapat melakukan rekayasa sosial untuk memperbaiki peradaban kita.  Faktor penyebab itu dapat difungsikan sebagai pengungkit agar peradaban bangsa ini cepat berubah maju. Semoga.

Tidak ada komentar: