Rabu, 13 Desember 2017

DARI DISCIPLINARY MIND SAMPAI ETHICAL MIND



Akhir-akhir ini diskursus tentang kemana arah pendidikan kembali marak.  Sampai-sampai Balitbang Dikbud, sebagai lembaga pemikir bidang pendidikan dan kebudayaan menyelenggarakan serangkaian diskusi untuk membahasnya.  Banyak kalangan pendidikan, baik dari para akademisi maupun praktisi terlibat di dalamnya.  Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro, dosen ITB dan jga mantan Dirjen Pendidikan Tinggi, yang kini menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan ditunjuk untuk mengomandani aktivitas itu.

Seperti biasanya diskusi berlangsung secara terbuka dan bahkan disambung secara virtual melalui WA Group.  Sungguh menarik mengikutinya.  Karena yang terlibat dalam diskusi itu memiliki latar belakang sangat beragam, maka sudut pandang, pola pikir dan cara berargumentasipun juga sangat beragam. Kemandirian masing-masing peserta juga sangat terasa, sehingga forum itu menjadi ajang mengekspresikan gagasan tanpa dibatasi ras ewuh-pakewuh.

Mengikuti diskusi virtual itu, saya teringat tahapan berpikir yang diajukan pada pakar, dari disciplinary mind - synthesizing mind - creative mind-respectiveful mind - ethical mind.  Pemikiran matang dalam bidang yang ditekuni (disciplinary mind) itu penting tetapi tidak cukup, karena masalah kehidupan sangat kompleks sehingga tidak dapat difahami dan dipecahkan dengan hanya menggunakan satu disiplin ilmu.  Oleh karena itu diperlukan pola pikir multi disiplin, inter displine dan transdisiplin, sehingga kita dapat mensintesikan berbagai disiplin ilmu untuk memahami dan memecahkan masalah.

Synthesizing mind bukan sekedar memandang masalah dengan dua atau lebih keahlian, bukan pula sekedar menggabungkan dua atau ilmu bidang keahlian tetapi mensintesakan dua atau lebih bidang keahlian sehingga menjadi suatu keutuhan pandangan dalam memahami masalah.  Dalam konteks inilah diperlukan keterbukaan berpikir untuk menerima kerangka pikir bidang keahlian lain, yang mungkin sangat berbeda bahkan berseberangan dengan bidang keahlian kita.

Apa synthesizing mind cukup? Ternyata tidak.  Untuk dapat memecahkan masalah kehidupan dengan baik, diperlukan berpikir kreatif (creative problem solving).  Semakin kompleks persoalan semakin perlu kreativitas untuk dapat menyelesaikannya.  Tentu kreativitas yang telah didasari oleh pemehaman yang baik terhadap permasalahan yang terjadi.  Itulah sebabnya, creative thinking selalu dibarengi dengan critical thinking.   Dalam konteksi ini creative thinking tidak selalu merupakan out of the box, tetapi juga sangat mungkin in-side the box, sebagaimana dicontohkan oleh Drew Boyd.

Berpikir kreatif artinya berpikir non linier, sehingga setiap orang memiliki kreativitas yang berbeda-beda.  Oleh karena itu diperlukan kemauan dan kemampuan untuk menghargai pendapat orang lain yang berbeda dan mungkin bertolak belakang dengan pendapat kita.  Itulah yang disebut respectiveful mind, yaitu pola pikir yang menghargai perbedaan.

Jika di satu sisi kita dituntut memiliki respectiveful mind, di lain pihak bagi yang mengeluarkan gagasan dan kreativitas diperlukan etika agar daya kreatif yang terjadi tidak bertentangan dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku.  Itulah yang disebut ethical mind. Di era keterbukaan yang memberi peluang luas kepada setiap orang untuk mengekspresikan pendapatnya, maka ethical mind semakin penting.

Saya sangat gembira, karena kelima jenjang pola pikir itu terasa berimbang selama terjadi diskusi baik pada forum tatap muka, maupun virtual.  Mungkin karena mereka yang terliba relatif “sudah matang”.  Moga-moga itu gambaran personal kita, paling tidak mereka yang menekuni atau perhatian pada bidang pendidikan.  Semoga.

Tidak ada komentar: