Senin, 04 Desember 2017

GURU DI SABANG



Akhir bulan November 2017 saya mendapatkan kesempatan mengunjungi 3 sekolah di Kota Sabang Aceh yaitu SMPN 1, SMAN 2 dan SMP-SMA Al Mujaddid.  Kunjungan beralngsung dalam waktu yang sangat singkat, karena hanya setengah hari untuk tiga sekolah.  Fokus kunjungan juga sangat kecil yaitu mengetahui kondisi guru di Sabang.  Apalagi hari itu hujan turun terus, sehingga kunjungan terfokus di dalam ruangan.

Rombongan yang berkunjung ke Sabang sangat lengkap, mulai Direktur yang membidangi pembinaan guru Sekolah Menengah (Ir Renani Pantjastuti, MPA), beberapa kasubdit (a.l. Dra. Santi Ambarrukmi, MEd) dan staf.  Kunjungan tersebut dirangkai dengan dengan kegiatan FGD tentang sosialisasi PPG dan juga adanya pernikahan putri Drs. Anas M. Adam, MPd. (Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Dasar).  Juga dikaitkan dengan monitoring Pretest calon peserta PPG tahun 2018.

Mengunjungi tiga sekolah tesebut, khususnya sekolah negeri (SMPN1 Sabang dan SMAN 2 Sabang) saya mendapatkan informasi sangat menarik dan sangat berbeda dengan daerah lain.  Kota Sabang mengalami kelebihan guru. Pada hal umumnya, sekolah di daerah terpencil selalu kekurangan guru.  Pengalaman mengunjungi sekolah di daerah 3 T, bahkan akan sekolah (SD) yang hanya memiliki seorang guru, yang merangkat sebagai kepala sekolah, tata usaha, tukang kebon dan sebagainya.

Mengapa?  Apakah Sabang memiliki karateristik khusus?  Kota Sabang terletak di Pulau Weh, bagian paling barat dari Indonesia.  Lagu “Dari Sabang Sampai Merauke” menggambarkan kalau Sabang berada di ujung barat dan Merauke berada di ujung timur.  Namun, walaupun berada di ujung barat, kondisi pulau Weh sangat baik.  Jalan-jalan berasal halus dan rapi.  Kondisi rumah di kanan-kiri jalan umumnya juga cukup baik.  Kondisi fisik sekolah yang kami kunjungi juga sangat baik.

Kota Sabang hanya terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sukajaya dan Kecamatan Sukakarya.  Saya kurang tahu, apakah ada keistimewaan pulau itu, sehingga pemerintah daerahnya disebut “kota” dan bukan “kabupaten”.  Dan itupun hanya terdiri dari dua kecamatan.  Apakah karena berada di Daerah Istimewa Aceh (Nangroe Aceh Darussalam/NAD). Sebagaimana diketahui Propinsi  NAD memiliki beberapa ciri khusus, misalya menerapakan hukum Islam, DPRD disebut DPRA (DPR Aceh) dan sebagainya.

Ketika mengunjungi SMPN 1 Sabang, kami mendapat informasi kelebihan guu cukup besar.  Misalnya untuk matapelajaran IPA sudah memiliki guru PNS cukup bahkan berlebih, sehingga tidak semua guru mendapatkan alokasi jam mengajar minimal 24 jam/minggu (syarat mendapatkan tunjangan profesi), namun juga memiliki guru honorer.  Fenomena seperti itu sudah terjadi lama, sehingga kepada sekolah saat ini tidak dapat menjelaskan mengapa itu terjadi.

Kondisi guru di SMAN 2 Sabang juga tidak jauh berbeda.  Karena guru-guru tidak mendapatkan jam mengajar sebanyak 24 jam/minggu, mereka “mengatur jadwal” agar secara  bergilir sehingga ada guru yang mendapat jam mengajar 24 jam/minggu, sehingga memperoleh tunjangan profesi.  Tunjangan profesi itu kemudian dibagi bersama.  Menurut kepada SMPN 1 Sabang dan SMAN 2 Sabang, pola itu cara terbaik, sehingga tidak terjadi kecemburuan diantara para guru.

Bagaimana dengan guru honorer?  Ternyata mereka lapang dada menerima honor “seadanya”.  Karena jam mengajar yang tersedia hanya sedikit atau bahkan sebenarnya tidak ada.  Kalau toh diberi itu karena guru PNS yang ada “rela”.  Kedua sekolah itu juga hanya mengandalkan dana BOSS untuk memberi honor, karena tidak ada pungutan dari siswa maupun dana dari Pemerintah Kota Sabang.  Konon guru honor hanya menerima honor sekitar 300 ribu.   Bahkan di SMAN 2 Sabang ada guru yang rela tidak merima honor sama sekali, walaupun mengajar 2 jam/minggu.  Bagi mereka yang penting namanya tercacat sebagai guru, sehingga memiliki NUPTK (nomr unik pendidik dan tenaga kependidikan).

Sungguh fenomena menarik.  Daerah “di ujung” tetapi kelebihan guru.  Guru PNS sudah berlebih, tetapi masih memiliki guru honorer.  Kalau mereka itu ibu rumah tangga dan suaminya PNS atau TNI atau wiraswasta suskes, mungkin dapat difahami, tetapi ternyata ada diantara mereka yang sebagai penopang kehidupan rumah tangga.  Apakah karena mereka berharap dapat tunjangan yang konon akan diberikan oleh pemerintah daerah?  Apakah karena mereka berharap punya NUPTK, sehingga dapat ikut PLPG atau PPG?  Atau masih ada alasan lain?  Diperlukan kajian yang lebih mendalam untuk mengungkap fenomena menarik itu.

Tidak ada komentar: