Jumat, 15 Desember 2017

KKM-NBL-STANDARD SETTING



Sejak kemarin lusa sampai pagi ini di WAB teman-teman Vokasi sedang ramai mendiskusikan KKM (kriteria ketintasan minimal).  Beberapa hari lalu ada perdebatan seru ketika menentukan NBL (nilai batas kelulusan) suatu pendidikan profesi.   Seperti biasanya, diskusi berjalan seru, bercampur antara argumentasi teoritik, praktik lapangan dan pendapat pribadi.

Ada teman yang membandingkan KKM dan NBL dengan alat ukur di dunia keteknikan.  Mengapa kita tidak memiliki alat ukur dan kriteria standar seperti di dunia keteknikan?  Di dunia keteknikan kita punya alat untuk mengukur panjang (meteran), suhu (termoteter) dan sebagainya.  Kita juga punya kriteria penggunakan alat, misalnya untuk pelumas mesin sepeda motor honda, diperlukan oli dengan kekentalan sekian.

Mengapa untk KKM dan NBL seperti ruwet?  Ya, karena: (1) kita tidak atau belum memiliki alat ukur yang standardized seperti termometer, meteran yang terkalibrasi, (2) kita tidak atau belum punya kriteria baku seperti apa kinerja/kemampuan minimal siswa/mahasiswa yang dianggap menguasai bidang/sub bidang keahlian tertentu.

Saya sering membandingkan dengan dunia keteknikan yang relatif telah memiliki keduanya. Kita memiliki termometer untuk mengukur suhu dan bahkan berbagai jenis termometer yang masing-masing dirancang untuk mengukur suhu benda tertentu.  Kita punya timbangan untuk mengukur berat dan bahkan banyak jenis timbangan yang masing-masing dirancang untuk mengukur benda tertentu.  Untuk memastikan kelayakannya (masih standar), alat ukur tersebut dapat dikalibari dan untuk itu ada lembaga yang bertugas melakukannya.

Pada mobil ada indikator suhu, kecepatan dan putaran mesin.  Biasanya pada indikator tersebut ada garis atau batas berwarna merah yang artinya jika suhu mencapai itu, putaran mesin mecapai itu, kecepatan mobil mencapai itu, sudah melewati batas aman, sehingga harus dihindari.   Batas aman itu menunjukkan mesin atau desain mobil sudah tidak mampu menahan suhu/putaran/kecepatan itu.

Jadi untuk menentukan KKM diperlukan dua tahapan penting.  Pertama, tentu disusun tes yang ditujukan untuk mengukur pencapaian kompetensinya.  Kedua, berdasarkan tes tersebut ditentukan just qualified candidate (JQC) yaitu kemampuan minimal seseorang yang dianggap menguasai kompetensi yang diujikan.  Proses seperti itu disebut proses standard setting untuk menentukan NBL maupun KKM.

Beberapa hari lalu, dilaksanakan standard setting untuk PPG (Pendidikan Profesi Guru), khususnya uji teori. Untuk itu sejumlah pakar menyusun tes berdasarkan CP (capaian pembelajaran) yang telah disusun oleh Tim Dikti.  CP itu juga yang dijadikan dasar penyusunan kurikulum PPG dan penyusunan bahan ajarnya.  Dengan demikian, apa yang dipelajari selama PPG dan apa yang diujikan merupakan hal yang sama.

Setelah tes selesai disusun, divalidasi, diujicoba dan disempunakan sehingga memenuhi standar tes, selanjutnya dilaksanakan proses standard setting.  Diundang sejumlah pakar bidang yang relevan.  Ada pakar yang mewakili “kelas tinggi” yang cenderung idealis dan biasanya minta standar tinggi, ada pakar yang mewakili “kelas pragmatis” yang biasanya cenderung menentukan standar rendah, ada yang mewakili pengguna lulusan dan sebagainya.

Pada tahap pertama, para pakar tersebut menyepakati indikator apa yang menunjukkan kemampuan minimal guru yang baik (JQC).  JQC bukanlah indikator guru ideal, tetapi kemampuan minimal guru yang layak mengajar sesuai bidangnya.  Tahap ini ternyata memakan waktu cukup panjang, karena masing-masing pakar memiliki pandangan yang berbeda.  Nah setelah diskusi cukup lama, baru mereka menyepakati.

Setelah JQC disepakati, para pakar mencermati setiap butir tes.  Pada setiap butir tes, mereka memperkirakan probalilitas mahasiswa JQC mampu menjawab benar.  Secara sederhana membayangkan jika ada 100 orang mahasiswa yang kemampuannya sama dengan JQC, kemudian mereka diberikan butir soal tertentu, berapa orang yang mampu menjawab benar.  Setelah itu setiap pakar menjelaskan mengapa memberi skor itu yang mungkin berbeda dengan pakar lain.  Catatannya setiap pakar tidak harus mengikuti pendapat pakar lain.  Seluruh rangkaian mulai mencermati butir tes, memberi skornya dan menjelaskan alasan pemberan skor tersebut disebut satu putaran.

Setelah putaran pertama selesai, dimulai putaran yang kedua dengan cara yang sama.  Setelah itu dilakukan putaran ketiga, tetapi tanpa penjelasan alasan pemberian skor.  Skor dari masing-masing pakar anggota panel kemudian dirata-rata, dan itulah yang disebut dengan cutting off atau NBL atau untuk keperluan lain disebut KKM. 

Jadi cutting off atau NBL atau KKM dapat berbeda setiap matapelajaran, berbeda setiap KD (kompetensi dasar).  Mengapa demikian, karena kita tidak atau belum memiliki soal yang benar-benar standar.  Mungkinkah kita punya NBL dan KKM yang sama untuk semua matapelajaran dan semua KD?  Mungkin saja, tetapi setelah kita menyusun soal yang standar dan memang tingkat kesulitannya sama.  Dan tentu untuk itu diperlukan usaha keras dan waktu yang lama.  Kalau tidak, NBL dan KKM yang dipatok sama akan menjadi “sesuatu yang membingungkan”.

Tidak ada komentar: