Minggu, 22 April 2018

MIRIS DENGAN KELUHAN PENGAWAS


Rabu lalu, tanggal 18 April 2018, saya bertemu dengan 58 orang pengawas SD/MI dalam acara re-training asesor BAP Jawa Timur.  Di sela-sela acara break, salah seorang peserta menyampaikan kerisauannya tentang kepedulian kita terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan.  Menurut beliau banyak kebijakan dan kegiatan sekolah yang tidak terkait langsung dengan peningkatan mutu pendidikan dan itu menyita energi guru.  Akibatnya proses belajar mengajar justru terbengkelai.

Sebenarnya saya sudah beberapa kali mendapat informasi seperti itu dengan istilah bermacam-macam.  Apa yang menyebut politisasi pendidikan, ada yang menyebut program pendidikan lebih menekankan hal-hal administratif, ada yang menamakan program pendidikan gonta-ganti sehingga guru kebingunan dan sebagainya.  Namun, kali ini yang menyampaikan adalah pengawas yang biasanya pernah menjadi guru, menjadi kepala sekolah dan bahkan ada yang pernah menjadi pejabat di Dinas Pendidikan Kab/Kota.  Oleh karena itu saya miris mendengarnya. Apalagi keluhan tersebut di-amini oleh beberapa pengawas yang lain.

Betulkah keadaan seperti itu?  Tentu saya tidak dapat menjawabnya.  Namun jika pengawas yang menyampaikan tentu harus mendapat perhatian kita.  Apalagi pengawas SD/MI, semenara SD/MI adalah pondasi pendidikan.  Ibarat membangun rumah, jika pondasinya kokoh maka mudah membangun tembok sampai atap.  Jika pendidikan di SD/MI bermutu bagus, rasanya lebih mudah melanjutkannya di SMP/MTs dan SMA/SMK/MA.  Namun jika mutu pendidikan di SD/MI tidak baik, sangat sulit memperbaikinya di jenjang selanjutnya.  Pendidikan itu sifatnya irreversible, apa yang telah terjadi sebelumnya tidak dapat dikembalikan.

Mengapa itu terjadi dan bagaimana mengatasinya?  Mungkin justru pertanyaan ini yang lebih penting untuk didiskusikan.  Walaupun semua orang pernah sekolah, sehingga merasa tahu bahkan merasa ahli dalam bidang pendidikan, tampaknya banyak hal yang pemahamana seperti itu sebatas di permukaan, sehingga seringkali menyederhanakan masalah.  Teman saya pernah bercerita bahwa semua orang merasa tahu tentang pendidikan karena pernah sekolah.  Persis seperti orangtua yang sudah punya cucu dan biasa menasehati anaknya bagaimana mengasuh buah hati.  Saya sendiri juga berbuat seperti itu.  Saya sering menasehati anak saya bagaimana mengasuh bayinya.  Pada hal mereka tentu sudah tahu atau bahkan lebih faham dibanding saya.

Bahwa pendidikan itu sebuah proses terus menerus dan guru menjadi aktor utama tampaknya belum banyak difahami orang.  Bahwa guru harus terus menerus fokus pada pembelajaranan dan juga terus menerus berinovasi untuk meningkatkan kutu pembelajaran juga belum difahami.  Sangat mungkin banyak orang menganggap pekerjaan sebagai guru sama dengan sebagai administrasi yang setiap saat dapat ditinggal dan nanti diteruskan lagi.  Oleh karena itu, seringkali terjadi mendadak guru harus meninggalkan kelas karena mengikuti acara tertentu, yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan tugasnya mendidik siswa-siswanya.

Dalam peristiwa seperti itu, proses belajar siswa akan menjadi terputus. Untuk melanjutkan guru harus memulai lagi dari “nol”, karena pemahaman yang belum utuh terhadap sebuah konsep akan sangat mudah hilang.  Bahkan yang lebih berbahaya pemahaman yang belum utuh seperti itu menyebabkan terjadinya salah konsep atau mis-konsepsi yang tidak mudah diluruskan. Mirip istilah dalam bahasa Jawa “mogol” yaitu singkong yang dibakar setengah matang yang kalau dibakar lagi rasanya tetap tidak enak.

Inovasi di sekolah juga sulit berkembang karena seringkali guru dikungkung dengan aturan-aturan administratif yang penuh penyeragaman.  Pada hal, setiap saat guru harus berimprovisasi mengatasi siswa yang kurang semangat belajar dan atau siswa yang sulit memahami materi ajar.  Mirip seperti pelawak yang harus selalu melakukan improvisasi agar penonton tertawa.  Penonton yang berbeda memerlukan lawakan yang berbeda.  Lawakan di saing hari mungkin tidak cocok di sore hari walaupun penontonnya sama.  Mirip seperti itulah posisi guru dalam mengajar.

Proses pembelajaran itu terjadi di ruang kelas atau di laboratorium atau di lapangan, ketika siswa belajar dan berinteraksi dengan guru maupun sesama siswa.  Bukan di lembar kertas dalam bentuk RPP atau sejenisnya.  RPP memang penting untuk memandu guru dalam mengajar, tetapi proses pembelajaran di kelas jauh lebih penting.  Lebih dari itu RPP tidak boleh menghalangi guru untuk berimprovisasi ketika siswanya kurang bersemangat atau sulit memahami materi ajar.

Tidak ada komentar: