Jumat, 27 April 2018

MOTOR LAMA 50 CC MOTOR BARU 200 CC

Tanggal 24 April 2018 sekitar pukul 10 pagi, saya ikut menghadiri pertemuan antara TF (Tanoto Foundation) dan pimpinan UNRI (Universitas Riau).  Dari UNRI hadir  Wakil Rektor III yang hari itu bertindak sebagai Plh Rektor karena Pak Rektor tugas ke Jakarta, Wakil Rektor IV (Prof Mashadi), Wakil Dekan III FKIP (Dr. Mahdum) dan Wakil Dekan III FMIPA.  Dari TF hadir Pak Stuart Weston (Director of Basic Education), Bu Ari (deputi-nya Pak Stuart), Pak Budi Kuncoro (Koordinator TTI/LPTK) dan Provincial Coordinator untuk Riau.  Pertemyan bertujuan menawarkan kerjasama untuk Basic Education yang kemudian dikaitkan dengan LPTK yang menyiapkan calon guru.

Ketika diskusi, Prof Mashadi yang kebetulan guru besar Matematika menjelaskan bahwa kompetensui guru.  Dengan memberikan contoh UKG (Uji Kompetensi Guru), beliau menjelaskan aspek yang terlemah dari guru kita adalah penguasaan materi ajar atau dalam UU Guru dan Dosen disebut kompetensi profesional.  Oleh karena itu, Prof Mashadi mengusulkan penguatan kompetensi profesional bagi calon guru ketika mengikuti PPG (Pendidikan Profesi Guru) atau program pelatihan guru.  Itulah sebabnya dalam pertemuan tersebut diudang Wakil Dekan III FIMPA yang diharapkan dapat berkolaborasi dengan FKIP.

Bahwa kompetensi guru pada kompetensi profesional kurang menggembirakan memang betul.  Tetapi data UKG maupun ketika mereka ikut UTN (Ujian Tulis Nasional) PLPG dan UKM PPG (Uji Kompetensi Mahasiswa PPG) menunjukkan kompetensi pedagogik mereka juga rendah.  Jadi yang rendah tidak hanya penguasaan materi ajar tetapi juga penguasaan pedagogik atau cara mengajar.

Mendengar uraian Prof Mashadi, saya menyampaikan permohonan agar tidak selalu menyalahkan guru, apalagi mengolok-olok.  Semestinya justru kita berterima kasih dan mengharagai mereka.  Mengapa?  Karena mereka sudah mau menjadi guru, pada saat sebagian besar orang tidak mau menjadi guru.  Saya mengingatkan, di masa lalu IKIP itu perguruan tinggi “kelas dua”.  Lulusan SMA/SMK/MA baru masuk IKIP kalau tidak diterima di perguruan tinggi lain.  Anak muda yang sudah kuliah di IKIP-pun banyak yang tidak mau menjadi guru dan memilih pekerjaan lain.  Saya teringat, teman-teman saya kuliah di IKIP Surabaya juga banyak yang berkerja di bidang lain dan tidak mau menjadi guru.

Begitu rendahnya persepsi masyarakat terhadap profesi guru, saya menyampaikan kelakar kalau di Surabaya ada orang tua yang mengancam anak gadisnya yang nakal, dengan kalimat “awas kalau kamu tetap nakal nanti tak nikahkan dengan guru”.  Semua yang hadir jadi tertawa mendengar contoh tersebut.

Karena yang mau masuk IKIP tidak banyak, maka seringkali tidak ada saringan atau dengan kata lain, siapapun yang mendaftar pasti diterima.  Bakan joke-nya, yang mendaftar 10 orang yang diterima 12 orang.  Nah, jika seperti itu kondisinya dapat dibayangkan seperti apa mutu mahasiswa IKIP  di masa lalu, dan itulah yang saat ini menjadi guru di sekolah-sekolah kita.  Tentu juga banyak yang baik, tetapi seperti itulah gambaran umumnya.

Oleh karena itu saya menganalogkan secara umum guru kita, khususnya guru generasi lama itu ibarat motor 50 cc, sehingga diberi bahan bakar pertamax dan diberi olie fastronpun tidak akan mampu lari cepat.  Yang berubah tetapi tidak banyak, karena memang cc-nya kecil dan mungkin bodinya juga tidak kokoh.  Jelasnya, jangan terlalu banyak berharap peningkatan mutu guru setelah sertifikasi dan mendapatkan tunjangan profesi, karena memang kemampuan dasarnya memang terbatas.

Lantas apakah sertifikasi dan pemberian tunjangan profesi itu tidak ada manfaatnya?  Apakah tulisan Bank Dunia dengan judul “Double for Nothing” itu memang benar? Menurut saya tidak sepenuhnya benar.  Memang tidak terjadi perubahan signifikan terhadap guru yang saat ini sudah di sekolah, khususnya generasi “senior”, tetapi dengan adanya sertifikasi dan tunjangan profesi guru, minat lulusan SMA/SMK/MA masuk IKIP (sekarang disebut LPTK) meningkat tajam.  Persaingan masuk LPTK menjadi sangat ketat, bahkan untuk prodi tertentu mencapai 1:80, yang artinya 1 kursi diperebutkan 80 orang.  Akibatnya mutu mahasiswa LPTK saat ini menjadi sangat baik.  Perubahan itu terjadi mulai tahun 2010 dan kira-kira lulus tahun 2015. 

Jika fenomena itu terus berlanjut, pelan tetapi pasti kita akan memiliki guru-guru baru dengan mutu yang baik.  Ibarat motor cc mereka bukan lagi 50 cc, tetapi 200 cc, sehingga dapat dipacu dengan baik.  Itulah dampak dari sertifikasi dan tunjangan profesi guru.  Bukan terhadap guru yang saat ini sudah di sekolah, tetapi terhadap guru di masa depan. Semoga.

Tidak ada komentar: