Senin, 30 April 2018

INDUSTRI 4.0 DAN ADI SASONO


Industri 4.0 kini menjadi topik pembicaraan dimana-mana, khususnya saat membahas masalah sosial ekonomi ke depan.  Menurut berbagai sumber, industri 4.0 bercirikan integrasi siber-fisik, internet untuk pada segala hal, komputasi cloud, dan komputasi kognitif.  Sebagai orang yang awam dalam bidang siber, saya menduga kemunculan era industri 4.0 disumbang oleh teknologi digital, yang mampu menjadi fasilitator berbagai aktvitas. Berkat teknologi itu pula perusahaan Alibaba telah menjadi raksasa retail tanpa memiliki toko.  Disusul oleh Tokopedia dan Bukalapak.  Gojek dan Grab telah menjadi perusahaan taksi tanpa memiliki mobil.  Gojek sekarang telah merambah ke Go food, seakan menjadi penyedia berbagai makanan tanpa memiliki warung apalagi restoran.

Membaca berbagai penjelasan tentang Industri 4.0, saya lantas teringat sosok almarhum Adi Sasono.  Aktivis LSM, salah satu tokoh ICMI dan kemudian menjadi Menteri Koperasi di era Presiden Habibie itu, sudah menyuarakan gagasan itu pada tahun 1990an.  Pada saat itu, Mas Adi-begitu beliau disapa oleh koleganya, mendorong anak-anak muda untuk memfasilitasi petani agar mampu menjual produknya secara on-line.  Melalui LSM, seingat saya bernama PUPUK, Mas Adi sangat gigih untuk merintis pola penjualan on-line, khususnya untuk produk pertanian.  Beliau menjelaskan harga sayur, buah dan sebagainya sangat murah di tangan petani tetapi menjadi mahal di tangan pembeli, karena panjangnya rantai distribusi.  Jika penjualan produk pertanian dapat dilakukan on-line maka petani dan pembeli dapat kontak langsung, sehingga menguntungkan kedua belah pihak.

Saat ini, teman-teman yunior banyak yang tidak faham bagaimana pola pikir Mas Adi.  Termasuk saya, yang katanya sudah agak senior saat itu, doktor lagi.  Kami sering bertanya, apakah gagasan itu tidak terlalu muluk-muluk.   Maklum saat itu, internet masih merupakan barang langka.  HP juga belum dikenal dan kalau ada yang punya masih kalangan elite saja. Oleh karena itu, kami mempertanyakan bagaimana mungkin petani apel di Batu diajari dan didorong menawarkan panenannya melaui on-line.  Bagaimana mengajari nelayan di Pantura yang tidak mengenal teknologi untuk menjual ikan secara on-line.  Saya itu muncul kelakar, jangan-jangan petani desa dan nelayan kecil mengira “internet” itu jenis “eternit” model baru.

Memang saat itu, Mas Adi belum menyinggung akan adanya fenomena seperti Alibaba yang dikomandani Jack Ma dan Gojek yang dirintis Nabiel Makarim, tetapi paling tidak sudah menggabungkan barang-barang fisik (hasil pertanian dan perikanan) dengan dunia siber.  Penjualan on-line yang saat ini sudah menjadi kehidupan sehari-hari.  Saat itu Mas Adi baru fokus ke bidang pertanian (dan perikanan/nelayan), karena sebagai aktivis LSM, beliau sangat prihatin terhadap dua bidang itu.  Selalu disebut-sebut, petani dan nelayan itu penghasil kebutuhan dasar kita, tetapi kehidupannya sangat memprihatinkan. Jasa petani dan nelayan itu sangat besar karena merekalah yang mengisi perut kita.

Merenungkan itu, saya bertanya-tanya bagaimana Mas Adi memiliki pikiran seperti itu, ketika orang lain belum membayangkannya.  Orang seperti itulah yang menurut saya akan “mengubah” situasi.  Mirip, siapa yang membayangkan Ancol yang dulu merupakan pantai kumuh dapat disulap menjadi tempat rekreasi yang bagus.  Konon berkat gagasan Ciputra, Ancol menjadi seperti yang kita lihat sekarang.  Siapa yang membayangkan air mineral kemasan kini lebih mahal dibanding teh?

Dari aspek pendidikan, perlu dipikirkan bagaimana model pendidikan yang mendorong tumbuhkan ide, gagasan dan terobosan seperti itu.  Memang untuk mewujudkan gagasan tentang air mineral menjadi minuman kemasan, mengubah pantai Ancol menjadi tempat rekreasi, merintis Alibaba dan sebagainya diperlukan modal.  Namun, menurut saya, yang lebih penting adalah adanya gagasan dan keberanian untuk mewujudkan gagasan itu.

Pertanyaannya, bagaimana pendidikan mampu menumbuhkembangkan anak-anak agar memiliki ide, gagasan, kreativitas dan kemudian memiliki keberanian memujudkannya menjadi suatu produk barang atau jasa.  Jangan sampai, anak-anak kita pandai tetapi akhirnya menjadi “disuruh” dan “dipekerjakan” oleh mereka yang memiliki ide dan gagasan tersebut.  Semoga. 

Tidak ada komentar: