Kamis, 12 April 2018

Sekali lagi tentang Grand Design Guru

Minggu lalu saya diundang rapat di Kemdikbud untuk membahas pengadaan guru.  Sebelum undangan diemail, ada staf Kemdikbud yang menilpun memberitahukan kalau saya diudang rapat pada Kamis tanggal 5 April 2018 pukul 14.00.  Karena kebetulan sedang di Jakarta, saya menyanggupinya.  Tidak beberapa undangan dikirim via email dan membuat saya bertanya-tanya, karena yang diundang adalah para pejabat, mulai dari eselon 1 (dirjen), eselon 2 (direktur dan kepala biro), dan eselon 3 (kasubdit dan kepala bagian).  Yang bukan pejabatn hanya saya.

Ketika rapat dibuka oleh Sekjen Kemdikbud dan dijelaskan apa yang ingin dibahas, saya baru faham bahwa rapatnya sangat penting.  Menurut Pak Sekjen, Wakil Presiden memerintahkan agar Kemdikbud menyiapkan rekruitmen guru baru sejumlah 100.000 orang pada tahun ini, 90.000 untuk guru umum dan 10.000 untuk guru agama. Bahkan mungkin naik menjadi 120.000 orang, dengan rincian 100.000 orang untuk guru umum dan 20.000 orang untuk guru agama.

Bahkan Indonesia kekurangan guru dalam jumlah besar, saya sudah sering mendengar.  Namun mengadakan rekruitmen guru baru sebanyak 100.000 orang pada tahun in, membuat saya kaget. Apalagi menurut informasi orang dapat diangkat menjadi guru PNS kalau sudah memiliki sertifikat pendidik.   Pada hal, infomasi alumni PPG yang belum terangkat hanya sekitar 27.000 orang dan sangat mungkin mereka sudah bekerja walaupun bukan sebagai PNS.  Sementara jumlah mahasiswa PPG yang saat ini sedang kuliah dan diperkirakan lulus hanya 17.000 orang.  Jadi jika semua mereka mau mendaftar jumlahnya hanya 44.000 orang.  Lantas bagaimana jalan keluarnya?  Mengangkat lulusan S1 yang belum ikut PPG sehingga belum memiliki sertifikat?  Melonggarkan usia penerimaan PNS, sehingga alumnsi PLPG yang rata-rata usianya di atas 35 tahun dapat mendaftar?

Saya yakin kapa pada akhirnya akan ditemukan jalan keluar.  Namun yang saya bingung mengapa kita tidak bosan melaksanakan crash program yang sudah pasti hasilnya tidak ideal.  Bukankah kita sudah tahun kalau kekurangan guru?  Bukankah kekurangan guru dapat dihitung dengan relatif rinci, sampai per matapelajaran, per kabupaten/sekolah, bahkan sampai setiap tahun ketika memperhitungkan usia pensiun.   Tentu hasilnya tidak betul-betul tepat, tetapi saya yakin cukup sebagai patokan bagaimana menyiapkan calon guru.

Dengan data-data tersebut, maka penyiapkan calon guru dapat dilakukan dengan baik.  Tidak hanya pada jenjang PPG, bahkan jika dikehendaki dapat disiapkan sejak jenjang S1.  Jika diketahui kekurangan guru pada tahun T, maka pada tauhun T-1 dapat dilakukan penerimaan mahasiswa PPG yang sesuai dengan jumlah dan jenisnya.  Pada tahun T-5 dapat dilakukan penerimaan mahasiswa S1/D4 sesuai dengan jumlah dan jenisnya.   Tentu dengan memperhitungkan prosestasi yang tidak lulus dan juga memperhitungkan lulusan S1 non Dik yang masuk PPG.

Jika perhitungan seperti itu dapat dilakukan, muncul pertanyaan mengapa kita tidak melakukannya?  Pada hal  UU no. 14/2005, pasal 24 ayat (1), (2), (3), dan (4) menyatakan Pemerintah pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Penyelenggara pendidikan wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi dan kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan, sesuai dengan kewenangannya.  Dengan demikian jika ada sekolah kekurangan guru, orang dapat mempertanyaan pelaksanaan UU tersebut.

UU tersebut telah berusia 13 tahun tetapi tampaknya kita belum juga melaksanakan dengan sungguh-sungguh.  Sudah saatnya dibuat grand design guru, mulai dari penyiapan calon (S1/D4 dan PPG), rekruitmen, penempatan, pengembangan karier mereka ketika sudah bekerja sampai pada pensiun.  Dengan demikan kita tidak perlu dibuat kaget untuk merekrut dengan jumlah sangat besar, sementara calonnya belum ada. 

Tidak ada komentar: