Senin, 09 April 2018

TERPERANGKAP DI KERETA BIMA


Tanggal 6 April 2018 saya diundang dalam seminar di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), bersama dengan Prof Zulkifli bin Muhammad dari UPSI Malaysia.  Sebenarnya hari itu ada wisuda di Unesa dan ada TOT calon asesor BAN-SM.  Namun surat permintaan untuk mengisi seminar itu sudah dikirimkan Agustus tahun lalu dan saya terlanjur menyanggupi dan apalagi foto saya dan Prof Zulkifli sudah dipajang di spanduk maupun liflet.  Jadi tentulah saya harus memenuhinya.  Apalagi tema seminarnya sedang hangat, yaitu bagaimana mengintegrasikan literasi dalam pengembangan karakter.

Seminat berjalan seperti biasanya dan ternyata setelah selesai saya diminta memberi kuliah umum bagi mahasiswa PPG di FKIP.  Jadi jadwal saya baru selesai jam 15an.  Itupun karena terdengar kumandang adzan ashar.  Jika tidak, pasti masih terus berlanjut, karena banyak pertanyaan dari mahasiswa.  Mungkin terprovokasi ungkapan moderator agar mahasiswa memanfaatkan kesempatan ketemu Prof Muchlas yang ikut membidani PPG.

Pak Ahmad, beberapa hari sebelum seminar bertanya, untuk pulang dari Purwokerto ke Surabaya saya pengin naik apa?  Kalau naik pesawat dari Jogya ada Wings Air jam 21.15, sehingga masih terkejar kalau jam 16 dari Purwokerto.  Jika diantar dengan mobil UMP, perjalanan Purwokerto-Jogya sekitar 4 jam.  Atau ingin naik kereta, yang ada kereta BIMA berangkat dari Purwokerto pukul 21.30 sampai Surabaya pukul 05.30.  Saya memutuskan naik kereta api BIMA dengan pertimbangan kasihan teman UMP harus mengantar ke Jogyakarta.

Sehari sebelum pelaksanaan seminar ada berita ada kecelakaan kereta api di Madiun. Kereta api Sancaka nabrak trailer.  Infonya jalur kereta akan terhalang selama 2 hari.  Isteri saya juga mengirimi kabar seperti itu.  Saya jadi bimbang, akan tetap naik BIMA atau berubah naik Wings Air. Oleh karena itu saya minta tolong ke teman di UMP untuk mencarikan informasi apakah jalur kereta sudah dapat dilewati.  Informasinya sudah, sehingga saya memutuskan tetap naik BIMA.

Setelah makan malam bersama teman-teman UMP dan Prof Zukifli dari UPSI, saya diantar ke setasiun kereta.  Sampai setasiun saya bertanya kepada pertugas di pintu masuk, apakah jalur Madiun yang kemarin terjadi kecelakaan sudah beres.  Beliau bertanya saya naik apa dan saya jawak naik BIMA.  Beliau mengatakan kalau BIMA ke Surabaya sudah normal.  Saya tenang, sehingga setelah mengepak barang agar lebih ringkes segera check in masuk ruang tunggu.

Ketiak duduk di ruang tunggu, ada pengumuman 3 atau 4 kereta (saya tidak ingat namanya, tetapi BIMA tidak disebut) akan mengalami keterlambatan lebih dari 1 jam dan penumpang yang ingin mengubah atau membatalkan diminta ke loket 1. Selesai pengumuman itu, kebetulan ada petugas setasiun yang lewat, sehingga saya bertanya bagaimana dengan BIMA yang ke Surabaya. Beliau bertanya “BIMA yang ke Surabaya?”.  Saya jawab “betul pak”.  Petugas itu mengatakan “Tadi BIMA berangkat dari Gambir tepat waktu, sehingga diperkirakan sampai Purwokerto juga tepat waktu.  Saya tenang.

Betul info tadi, beberapa saat ada pengumuman kalau kereta api BiMA akan masuk setasiun Purwokerto jalur 3 dan penumpang yang akan menyeberang ke jalur 3 diminta sabar menunggu kereta Serayu yang sedang berhenti di lajur berangkat.  Setelah kereta Serayu berangkat, saya segera bergeser ke jalur 3.  Ternyata tidak banyak yang naik BIMA dari Purwokerto.  Dugaan saya hanya sekitar 10 orang.  Saya dapat tempat duduk di gerbong 2 nomer kursi 7D.  Kebetulan yang duduk di 7C juga naik dari Purwokerto, seorang ibu yang ternyata tinggal di Prapen Mas.  Jadi tetangga kampung saja, sehingga kami sempat ngobrol.

Karena saya capek, saya bilang ke ibu tersebut kalau saya mau tidur.  Dan ketika saya terbangun, ternyata ibu tersebut pindah ke kursi 7 A dan B karena kebetulan kosong.  Jadi saya dapat tidur nyaman karena dapat 2 kursi (7 C dan D) , ibu tersebut juga dapat 2 kursi (7A dan B).  Saya tidur kembali dengan sembujung di 2 kursi, sambil kaki saya numpang di tas untuk menjaga karena ada lamptop di dalamnya.

Ketika terbangun sekitar pukul 03, saya merasa kereta berhenti. Saya ke toilet sehingga sempat membaca  kalau kereta berhenti di setasiun Palur, dekat Solo.  Ternyata berhentinya lama.  Mungkin sekitar 1 jam.  Saya penasaran, sehingga ingin mencari tahu apa yang terjadi.  Kebetulan ibu di kursi 7 A dan B juga bangun, sehingga saya titip tas karena ingin cari informasi.  Di kereta makan saya betemu dengan kondektur yang di saku bajunya tertulis nama KATON.  Beliau menjelaskan kalau kereta harus antre karena hanya 1 lajur yang harus digunakan bergantian akibat kecelakaan kemarin.  Saya menyarankan agar hal itu diumumkan agar penumpang tidak bingung.  Beliau juga cerita kalau di depan masih ada 2 kereta yang jugan antre.

Pukul 04.30an kereta BIMA baru mulai bergerak dan ternyata berhenti lagi di setasium Gambiran selama sekitar 1 jam.  Setelah itu bergerak lagi dan berhenti lagi setasiun Masaran.  Berarti sampai pukul 07.30an kereta BIMA masih di Jawa Tengah. Jam 09an saya merasa lapar dan informasinya restorasi kehabisan makanan.  Akhirnya saya turun ke setasiun bertanya jam berapa kira-kira kereta BIMA akan berangkat dan dijawab sekitar jam 10an.  Nah, masih cukup waktu mencari makan. Saya tanya lagi adakah warung makan yang dekat dan dijawab ada di seberang jalan, “di bawah rel”.  Saya mengikuti pentunjuk beliau dan memang menemukan “warung” di teras sebuah rumah sederhana yang lokasinya memang di pinggir rel tetapi agak ke bawah.

Ketika saya datang, tidak ada penjaga warung di situ.  Saya ketok-ketok pintu rumahnya juga tidak ada yan menyahut.  Saya melihat apa makanan yang ada. Ternyata hanya telor ceplok atau telor mata sapi, sayur oseng-oseng tempe dicampur kacang panjang, dan semacam kare ayam tetapi dagingnya tinggal leher sebanyak 3 potong.  Tidak beberapa lama ada seorang ibu sepuh keluar dan saya yakin itu yang punya warung, sehingga saya bertanya “wonten sekul nopo bu?” (apa nasi dengan lauk apa bu?).  Akhirnya saya makan dengan nasi panas, telor ceplok dan oseng-oseng tempe plus kacang panjang, ditemani teh manis.  Lumayan untuk mengisi perut kosong.  Apalagi semua tahi hanya 10 ribu rupiah.

Seingat saya, Masaran masih masuk Jawa Tengah dan baru masuk Jawa Timur dengan setasiun pertama Walikukun, terus Kedunggalar, Paron, Barat dan baru Madiun.  Jadi kalau masing-masing setasiun akan berhenti 1 jam kereta baru akan sampai Madiun sekitar pukul 12an.  Jika dari Madiun ke Surabaya lancar, BIMA akan sampai Surabaya pukul 15.30an.  Bukan main.  Tidak terbayang, jika kereta yang mestinya tiba di Surabaya pukul 05.30 baru sampai pukul 15.30 yang berarti terlambat 10 jam.

Penumpang tidak dapat berbuat apa-apa, karena waktu kereta berhenti berada di lokasi yang jauh dari jalur umum. Sewaktu di Palur, kalau penumpang mau turun mencari bus harus naik taksi ke Solo sekitar 30 menit.  Sewaktu di setasiun Gambiran, Masaran dan seterusnya lebih parah karena lebih jauh dari kota yang mudah mencari bus.  Jadi penumpang semaca terperangkap dan terpaksan ikut saja kereta BIMA.

Alhamdulillah jam 10an kereta BIMA mulai berjalan dari Masaran, terus ke Walikukun dan berhenti di Kedunggalar.  Jam 11an berangkat lagi dan betul sampai Madiun jam 12an.  Dari Madiun kereta berjalan lancar dan sampai di setasiun Gubeng ja, 14.30.  Sambil berkemas-kemas saya mengatakan kepada ibu dari Prapen Mas itu, kita diberi bonus 9 jam, dari 05.30 menjadi 14.30.  Namun tetap alhamdulillah, semua berjalan dengan baik.  Tidak ada yang salah, terlambat karena petugas kerata api harus hati-hati.

Tidak ada komentar: