Senin, 23 April 2018

TERNYATA DI KELAS BISNIS GARUDA JUGA ADA PRAMUGARINYA


Hari minggu kemarin saya terbang dari Jakarta ke Medan dengan pesawat Garus kelas bisnis.  Hebat bukan?  Bukan karena sedang punya uang, tetapi karena dibelikan oleh sebuah lembaga yang mengundang saya untuk ke Unimed dan UIN Sumatra Utara.  Menurut Pak Budi Kuncoro yang mengatur perjalan saya, itupun karena tiket kelas ekonomi habis sehingga “terpaksa” menggunakan kelas bisnis.

Begitu dapat informasi kalau naik kelas bisnis, saya langsung ingat Pak Baedowi.  Mantan Sekjen Kemdikbud dan mantan Dirjen PMPTK itu bercerita kalau di kelas bisnis Garuda tidak ada pramugarinya.  Semula saya kaget dengan ungkapan itu, masak iya, lha di kelas ekonomi saja ada.  Jika tidak ada siapa yang melayani penumpang?   Ternyata itu hanya joke, karena pramugari di kelas bisnis biasanya senior sehingga oleh Pak Baedowi disebut “ibunya pramugari”.  

Nah kali ini saya ingin melihat apakah betul ungkapan Pak Baedowi tersebut. Ternyata tidak betul.  Ketika baru baik dan pintu pesawat ditutup, seperti biasanya seorang pramugari menawari minuman.  Saya lihat name tag-nya tertulis  Tika. Orangnya hitam manis dan saya duga usianya sekitar 25 tahun.  Pasti belum 30 tahun, sehingga belum pantas disebut “ibunya pramugari”.   Cara menawari koran/majalah,  minuman, memberikan handuk kecil panas, menawarkan makan dan juga menawari minuman panas sangat baik, mungkin karena itu terpilih melayani di kelas bisnis.

Pramugari di kelas bisnis mungkin tidak sesibuk rekannya yang bertugas di kelas ekonomi.  Kursi di kelas bisnis hanya 12 buah, sehingga kalau toh penuh yang bersangkutan hanya melayani 12 orang.  Apalagi saat saya terbang dari Jakarta ke Medan, 12 kursi itu hanya terisi 3 orang, sehingga Mbak Tika mungkin lebih santai.  Ketika sedang tidak melayani tamu, saya lihat Mbak Tika duduk santai sambil ngobrol dengan temannya, pramugara senior yang saya duga pimpinan crew.

Keramahan dan kualitas layanan tampaknya menjadi salah satu kriteria penting.  Walaupun penumpang mungkin tidak merasa terganggu dengan cahaya luar, begitu pesawat sudah stabil Mbak  Tika menutup tirai jendela, agar penumpang lebih nyaman istirahat.  Setiap saat, Mbak Tika selalu bertanya apakah penumpang memerlukan sesuatu.   Ketika ada penumpang yang akan ke toilet, dengan ramah Mbak Tika memandung arah ke toilet.

Senyum mungkin salah satu “menu” yang harus disuguhkan oleh pramugari.  Setiap menawarkan sesuatu dan juga mengambil “sisa” makanan dan minuman, pramugasi selalu pasang senyuman.   Sambil sedikit membungkuk, mungkin untuk menunjukkan penghormatan kepada penumpang, Mbak Tika selalu tersenyum saat menawarkan sesuatu atau mengambil sesuatu.  Saya sebagai penumpang, mungkin juga penumpang lain jadi  merasa dihormati.

Mungkin layanan pramugari menjadi salah satu andalam Garuda untuk mengimbangi harga tiket yang relatif lebih mahal dibanding pesawat lainnya.  Misalnya dengan Batik Air yag sama-sama merupakan penerbangan bukan LCC (low cost carier).   Selisih harga tiket antara Garuda dan Batik bisa mencapai 500 ribu rupiah untuk Jakarta-Surabaya.  Pada hal harga makanan yang disuguhkan selama penerbangan saya yakin tidak mencapai 200 ribu rupiah.  Jadi selisih 500 ribu rupiah itu tampaknya untuk membayar keramahan yang senyum manis dari pramugari.

Saya menduga ada SOP bagi pramugari/pramugara ketika melayani penumpang.  Selalu tersenyum, selalu membungkuk atau bahkan jongkok saat berbicara dengan penumpang yang duduk, menawari apakah penumpang perlu tambahan minuman dan sebagainya.  Sepertinya ada “do” dan “don’t” yang harus dipenuhi ketika melayani penumpang.   Dan itulah yang dibayar penumpang penumpang pesawat sekelas Garuda yang harga tiketnya jauh lebih mahal dibanding   

Tidak ada komentar: