Minggu, 14 April 2013

DEFI BAGUS SATRIYO


Seperti saya ceritakan terdahulu, di hari pertama saya bersama dengan tim monev datang ke Desa Bulude Kecamatan Essang.  Sampai di lokasi (rumah tokoh masyarakat, sekaligus Ketua Komite Sekolah) disambut oleh Komandan Koramil, Kepala Desa Bulude dan Bulude Selatan, Kepala SMP Satu Atap Negeri 1 Essang di Bulude, Kepala Negeri 3 Essang di Mamahan, Kepala SDK Nazari Bulude, para siswa SD dan SMP serta warga sekitar.

Sungguh diluar dugaan. Walaupun kami datang sudah gelap (sekitar pukul 18.30an), tetapi mereka menunggu.  Halaman Pak Ketua Komite Sekolah dipenuhi para undangan, termasuk anak-anak SD dan SMP yang memakai seragam.  Halaman rumah dipasangi terop lengkap dengan janur.  Jadi mirip dengan orang punya hajat.  Ada upacara penyambutan secara adat, dengan bahasa daerah, sehingga diterjemahkan.  Artinya kurang lebih ucapan selamat datang.

Acara diisi dengan sambutan dan hiburan berupa tarian dan paduan suara anak-anak SD dan SMP.  Dan tentu saja sambutan tuan rumah dan tim monev.   Sungguh menarik, anak-anak itu sudah sejak pukul 15an menunggu dan tetap bersemangat saat menari.  Anak-anak SD menari tempurung yang diiringi lagu daerah yang dinyanyikan oleh gurunya.  Sangat khas.  Ketua Komite yang mewakili masyarakat menyampaikan “baru kali ini Bulude didatangi pejabat dari luar Talaud”.

Selesai acara “resmi” kami semua, tim monev dan semua yang hadir menikmati hidangan makan malam.  Konon makanan tersebut dimasak oleh masyarakat sekitar secara gotong royong.  Masakannya khas daerah dan dipenuhi oleh sea food.  Ada lobster besar-besar yang banyak di Talaud, ada ketam kenari yang sangat khas, berbagai jenis ikan laut, dan sayur-sayuran khas Talaud. 

Setelah selesai makan malam, kami minta waktu untuk ketemu dengan peserta SM3T.  Maksudnya untuk menerima laporan, apa yang sudah dilaksanakan dan apa masalah yang dihadapi, agar kami dapat membantu memecahkan.  Secara umum tidak ada masalah yang berat.   Seperti biasa, masalah utama adalah kekurangan guru sehingga peserta SM3T seringkali harus mengajar rangkap matapelajaran dan juga rangkap kelas untuk SD.  Kemampuan anak-anak SD dan SMP juga sangat “terbatas”, sehingga peserta yang mengajar di SMP takut bagaimana nanti anak-anaknya menghadapi Ujian Nasional.

Sambil mendengarkan peserta menyampaikan laporan, saya mencoba mengamati raut muka mereka.  Umumnya cerah dan tampak gembira.  Oleh karena itu, di sela-sela laporan saya menyela: “Kok sepertinya sudah para kerasan ya.  Apa lagi sudah pada bisa bahasa daerah”.  Dan serempak, mereka menyatakan kerasan.  Mungkin, karena masyarakatnya sangat ramah, terbuka dan ekonomi masyarakat baik, sehingga tidak ada hambatan yang terkait dengan makan, tempat tinggal dan interaksi mereka denga para guru serta masyarakat sekitar sekolah.

Tiba paga giliran Defi Bagus Satriyo, laporan yang disampaikan agak berbeda.  Alumni FIK ini bertanya bagaimana dapat membantu anak-anak Talaud yang memiliki prestasi bagus, agar dapat sekolah “keluar” Talaud.  Menurut dia, ada beberapa anak yang prestasinya bagus.  Anak-anak itu tidak akan berkembang maksimal kalau tetap sekolah di sekitar Bulude.  Defi ingin anak-anak tersebut dapat bersekolah di Jawa.  Namun, dia belum tahu caranya membawa anak-anak itu ke Jawa.  Bagaimana cara pindah dan mungkin terbayang siapa yang akan membiayai.

Saya terharu bercampur bangga mendapat pertanyaan itu.  Pertanyaan itu menunjukkan kepekaan Defi untuk membantu anak-anak Talaud yang berprestasi.  Dan jika anak-anak pandai yang dimaksud Defi memang ingin melanjutkan ke sekolah yang tinggi, maka ada indikator “sepasang” harapan saya terhadap program SM3T mulai tampak hasilnya.  Melalui SM3T saya berharap, di satu sisi, peserta yang nantinya menjadi guru mengenal Indonesia tidak hanya Jawa.  Banyak daerah lain yang keadaannya belum sebaik Jawa.  Namun di daerah itu pasti ada “mutiara” berupa anak-anak cerdas yang perlu pembinaan.  Saya yakin di kemudian hari, diantara peserta SM3T ada yang menjadi kepala sekolah, kepala dinas pendidikan kabupaten atau propinsi, bahkan akan menjadi bupati atau menteri.  Moga-moga setelah menjadi pejabat, mereka ingat daerah tempat mereka melaksanakan SM3T dan tetap ingin membantu.

Disisi lain, kehadiran peserta SM3T dapat menjadi “jendela” bagi anak-anak SD/MI, SMP/MTs dan SMK/SMK/MA setempat untuk melihat “dunia lain”.  Dunia yang lebih menjanjikan.  Melalui interaksi dengan peserta SM3T, diharapkan pada anak-anak setempat muncul keinginan untuk sekolah sampai keluar daerahnya.  Diharapkan dari anak-anak setempat muncul keinginan untuk kuliah di pergutuan tinggi dan paling tidak menjadi “orang-orang seperti peserta SM3T”.

Nah, pertanyaan Defi merupakan indikator kepedulian peserta SM3T untuk membantu anak-anak setempat.  Jika ternyata anak-anak setempat juga ingin sekolah ke Jawa, berarti “jendela” SM3T juga telah berfungsi.  Program SM3T telah menjadi wahana untuk mempercepat kemajuan SDM di Indonesia, khususnya bagi daerah tertinggal.

Merespons pertanyaan Defi, saya sampaikan bahwa peluang itu sangat banyak.  Di Jawa banyak sekolah yang mau menerima anak-anak pandai dari daerah.  Bahkan banyak yang mau memberikan beasiswa dan asrama.  Saya memberi contoh beberapa nama sekolah.  Memang pada umumnya sekolah swasta yang memiliki misi membantu masyarakat kurang mampu. Namun umumnya sekolah swasta yang bermutu bagus.  Oleh karena itu saya sampaikan kepada Defi dan peserta lainnya, tolong bertemu dengan anak tersebut, orangtuanya dan juga guru di sekolah setempat untuk merundingkannya. Jika mereka setuju dan bertekat kuat, kita siap membantu.  Semoga banyak Defi-Defi yang lain, sehingga tidak hanya menjadi “jendela” tetapi menjadi katalisator kesuksesan anak-anak cerdas dari daerah SM3T.  

Tidak ada komentar: