Kamis, 25 April 2013

SAYEMBARA MELUKIS RAJA


Tanggal 18-19 April saya menghadiri workshop yang diadakan oleh Insperktorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di hotel Novotel Solo.  Topik workshop adalah Menuju Lembaga yang Bebas Korupsi.  Maksudnya mendiskusikan langkah-langkah untuk menjadi lembaga (universitas, LPMP, P4TK dsb) yang bebas dari korupsi.

Workshop dihadiri oleh pimpinan PTN, LPMP, P4TK, Lembaga Bahasa, Lembaga PAUDNI dan lainnya, khususnya yang berada di wilayah Sumatra dan Jawa.  Hadir memberi paparan pembicara dari Kementerian PAN dan RB, Bappenas, KPK, TII, Biro PIH dan pihak Inspektorat Jenderal sendiri.  Pada umumnya paparan sangat menarik dan memberi pemahaman baru terhadap beberapa kasus.

Setelah itu, peserta dibagi menjadi dua kelompok.  Masing-masing ditugasi mereview konsep “Langkah-langkah Menuju Lembaga Bebas dari Korupsi” yang disusun pada workshop tahun lalu. Konsep tersebut memiliki 15 tahapan/komponen.  Saya masuk ke kelompok A yang ditugasi membahas komponen/tahapan 1 s.d. 8. 

Saya tidak tahu  mengapa ditunjuk menjadi ketua kelompok dengan sekretaris Kepala LPMP Sumatra Barat (Prof. Jamaris Jamak).  Pada waktu proses penunjukkan/pemilihan saya berada di luar ruang, karena ada telepon penting yang harus saya terima.  Begitu masuk ruang sidang saya duduk di kursi paling belakang agar tidak mengganggu jalannya sidang.  Tiba-tiba teman dari Inspektorat Jenderal yang memandu awal sidang mengumumnya bahwa saya dipilih menjadi ketua kelompok.

Saya kaget, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa, karena waktu proses penunjukkan/pemilihan saya di luar ruangan.  Ya, terpaksa dengan langkah gontai maju ke meja pimpinan.  Untung saya sudah mengena Prof. Jamaris Jamak, dosen UNP yang saat ini menjabat kepala LPMP Sumatra Barat.  Beliau yang menjelaskan apa tugas kami berdua sebagai ketua dan sekretaris kelompok.

Membaca dengan cepat draft yang harus kami review, saya tidak faham beberapa pengertian atau definisi dari istilah yang ada.  Oleh karena itu, saya mengusulkan kita menyamakan pengertian itu lebih dahulu, baru mulai bekerja.  Saya tidak yakin semua peserta juga faham.  Saya kawatir diskusi kita akan melingkar-lingkar karena adanya perbedaan pengertian terhadap beberapa istilah tersebut.  Peserta setuju.

Setelah itu saya menanyakan, siapa yang ikut pada waktu workshop tahun lalu yang tentunya sudah faham tentang beberapa istilah tersebut.  Beruntung ada beberapa peserta yang ikut di workshop tahun lalu dan ditambah penjelasan dari teman Inspektorat Jenderal, sehingga penyamaan persepsi terhadap beberapa istilah tersebut segera tercapai.

Setelah itu saya usulkan kelompok dibagi menjadi delapan sub-kelompok dan masing-masing sub-kelompok mengerjakan merivew satu komponen/langkah.  Saya ajukan alasan waktu bekerja sangat pendek, hanya sekitar satu jam.  Usul tersebut disetujui dan sub-kelompok dengan cepat dapat dibentuk.  Selanjutnya saya dan Prof. Jamaris berkeliling untuk mendorong setiap sub-kelompok memilih ketuanya. Terpilihlah para ketua sub-kelompok, misalnya sub-kelompok 1 diketuai Prof. Tian Belawati (Rektor UR), kelompok 5 diketuai Drs. Suparman, M.Hum (Kepala P4TK PKn dan IPS Malang), kelompok 8 diketuai Prof. Ibnu Hajar (Rektor Unimed).

Ketika sub kelompok mulai bekerja, saya dan Prof. Jamaris menyusun skenario untuk pengendalian kerja, termasuk mengatur laporan sub-kelompok.  Prof. Jamaris nyeletuk: “Pak Muchlas banyak akalnya”. “Semula saya mengira akan sulit memandu sidang”. “Sekarang kita tinggal memantau”.  Saya komentari sambil berseloroh: “Itu keuntungan menjadi pimpinan sidang, karena berhak memerintah anggota”.

Pada acara penutupan ternyata saya dapat tugas lagi, yaitu mewakili peserta menyampaikan kesan-kesan selama mengikuti workshop.  Tugas itu disampaikan dengan catatan di kertas pada saat acara penutupan akan dimulai.  Jadinya saya bingung apa yang harus saya sampaikan.  Saya juga tidak sempat minta masukan kepada teman-teman peserta lain.

Karena yang akan menutup Pak Irjen (Prof Haryono Umar) saya terpikir untuk menyampaikan “keluhan” tentang DIPA PTN yang sampai saat ini masih dibintang.  Tentu cara menyampaikannya harus santun.  Oleh karena itu, saya sampaikan dalam bentuk simbolik, kurang lebih sebagai berikut: 

Konon di jaman dulu ada seorang raja pendiri sebuah kerajaan.  Sebagai pendiri kerajaan , raja tersebut sekaligus juga panglima perang.  Dan pernah memimpin peperangan yang menyebabkan telinga sebelah kanannya hilang karena tertebas pedang musuh.  Intinya raja tersebut kehilangan telinga kanan.

Raja tersebut memiliki dua orang anak, seorang laki-laki dan seorang perempuan.  Ketika usianya sudah mulai uzur, raja tersebut bermaksud untuk menyerahkan tahta kepada anak laki-lakinya.  Niat itu disampaikan saat makan bersama permaisuri dan kedua anaknya.  Mendengar maksud itu, kedua anaknya ingin rakyat tetap mengenang sang raja sebagai Raja Agung.  Oleh karena itu, ingin dibuat lukisan yang indah dan dipasang di ruang yang biasanya digunakan untuk raja menerima punggawa kerajaan dan menerima tamu agung.

Untuk itu dibuatlah sayembara untuk membuat lukisan raja.  Lukisan yang terbaik akan dipasang dan pelukisnya mendapat habiah besar.  Pelukis yang pertama ternyata dari UT dan lukisannya berupa raja dengan pakaian perang, memegang pedang dan tameng.  Dilukiskan raja tersebut hanya memiliki satu telinga, sebelah kiri saja.  Menerima lukisan tersebut, putera mahkota tersenyum, tetapi puteri raja marah.  Ia mengatakan pelukis dari UT telah menghina raja.  (Saya sebut UT, karena Prof Tian Belawati tampak serius sekali mendengarkan cerita).  Dia katakan, telinga kanan raja memang hilang tetapi itu karena perang dan bukan aslinya.  Apa kata rakyat dikemudian hari yang tidak mengetahui sejarah hilangnya telinga kanan raja.  Jangan-jangan rakyat di masa datang mengira raja memang cacat sejak lahir.  Intinya puteri raja marah dan pelukis dari UT tersebut dihukum karena dianggap menghina raja.

Setelah beberapa minggu, datanglah pelukis dari USU Medan (Saya sebut USU, karena rektornya baru masuk ruang sidang).   Pelukis dari USU menggambarkan raja sedang duduk di singgasana dengan pakaian kebesaran.  Telinganya digambarkan dua buah dan memakai sumping.  Melihat gambar tersebut, puteri raja tersenyum simpul.  Namun, putera mahkota kaget.  Setelah itu sang putera mahkota memanggil sang pelukis dan marah.  Dia takut dikira keluarga kerajaan sebagai pembohong, karena menyuruh pelukis untuk menggambar raja dengan telinga dua buah.  Dia takut, suatu saat kelak, masyarakat tidak tahu bahwa itu kehendak murni di pelukis dan mengira sbagai  “pesanan” keluarga kerajaan.  Karena dianggap menjerumuskan keluarga kerajaan dalam fitnah, pelukis dari USU itu dimasukkan penjara.

Agak lama tidak ada lagi pelukis yang datang menyerahkan lukisan.  Mungkin pelukis bingung, bagaimana cara melukis raja.  Dilukis dengan telinga dua buah salah. Dilukis dengan satu telinga juga salah.  Akhirnya datanglah pelikus dari Jember (karena rektor Universitas Jember duduk di barisan paling depan).  Pelukis tersebut menggambarkan raja sedang menengok ke kanan.  Tentu telinga yang tampak hanya telinga sebelah kiri.  Sedang telinga sebelah kanan yang tertebas pedang tidak tampak.  Dengan begitu, gambar tersebut jujur dan juga tidak membuat puteri raja terhina.

Peserta tertawa mendengar akhir cerita tersebut. Setelah itu, saya sampaikan: Pak Irjen, seperti itulah kira-kira posisi rektor PTN saat ini.  Anggaran PTN sampai saat ini masih dibintang, sehingga belum dapat dicairkan.  Sementara kuliah harus tetap jalan.  Penerima beasiswa, termasuk Bidik Misi, juga harus tetap kuliah.  Dari mana uang untuk memberli bahan praktikum dan untuk memberi beasiswa Bidik Misi?  Mau menalangi dengan uang PNBP takut disalahkan.  Namun jika tidak ditalangi, sangat mungkin mahasiswa Bidik Misi akan drop out karena tidak punya uang untuk makan dan kost.  Praktikum juga akan berhenti karena tidak ada bahan.

Mendengar keluhan itu pesera bertepuk tangan dan saya sengaja diam sejenak.  Saya tidak mengharapkan Pak Irjen memberi jawaban.  Yang saya harapkan (dan saya yakin juga diharapkan oleh peserta lain) adalah, pihak Inspektorat Jenderal tidak menyalahkan, jika ada PTN menalangi kebutuhan praktikum dan beasiswa Bidik Misi, agar perkuliahan tetap jalan dan mahasiswa Bidik Misi tidak kelaparan.  Semoga.

Tidak ada komentar: